Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (40)
Dalam kesendirian, aku mengenang teman-teman seperjuangan, obrolan-obrolan tentang negeri kita, dan aktivitas-aktivitas yang serba menyenangkan. Dalam kesunyian, aku tak bisa melupakan wajah, senyum, dan canda Vitaku sayang. Teringat saat romantisme yang gagal di Desa S, kejadian kecelakaan saat pelatihan jurnalistik di vila Puncak Sai Indah, makan-makan di kantin FKIP hingga kesenanganku membantu Vita mengerjakan tugas kuliah. Ah, sungguh kenangan yang begitu melekat di diriku. Tapi, kini hanya bisa mengenangnya saja. Ingin menemui Vita, tetapi apa daya badanku terkurung.
Introgator menyodorkan sebuah kliping koran yang memuat tulisanku. Ditandai dengan spidol merah, tulisan itu berjudul “Karena Harus Terlibat, Mahasiswa Harus Berpolitik (Praktis)!” Pada alinea yang dilingkari, tertulis: “Larangan mahasiswa berpolitik praktis sungguh memuakkan. Kebijakan rezim penguasa ini harus dilawan! Bagaimana pun mahasiswa merupakan kekuatan politik yang terus memperjuangkan demokrasi (dalam segala bidang) dan hak asasi manusia. Ini terutama di negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, yang situasi sosial-politiknya belum mantap karena negara kita sedang bergerak menuju ke arah kemajuan. Kemakmuran, dan keadilan. Mahasiswa Indonesia mempunyai peran besar dalam setiap awal hingga puncak gejolak sosial politik.”
Bagiku tulisan ini biasa-biasa saja. Tapi, bagi aparat, tulisan ini dituduh sebagai provokasi untuk mahasiswa untuk bergerak, melawan pemerintah. Ketika aku membantah dan menjelaskan maksud baik dari tulisan tersebut, disodorkan lagi tulisan-tulisan lain yang dikatakan bernada ajakan untuk melawan pemerintahan yang sah antara lain berjudul “Mahasiswa, Ngomong Dong Ngomong!”, “Quo Vadis Gerakan Mahasiswa?”, “Integrasi!”, dan sejumlah sajak yang berisi protes sosial.
Astaga! Aku tak pernah menyangka kalau tulisan-tulisanku sedemikian berbahayanya bagi negara sehingga aku penulisnya perlu diamankan dan dihentikan agar tidak meneruskan upaya mengungkap kebenaran sembari mengajak mahasiswa menjadi kritis, bersuara, lalu bergerak memperjuangkan kebebasan dan keadilan bagi semua rakyat negeri ini. Penggambaran kemiskinan, penderitaan, dan penindasan yang dialami rakyat dianggap sebagai sesuatu yang bisa mengganggu stabilitas karena bisa menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat yang pada gilirannya akan menyebabkan terhambatnya pembangunan.
Dengan argumen-argumen yang lebih mirip prasangka-prasangka dan tuduhan-tuduhan inilah aku diculik dan ditahan di markas tentara ini. Entah, untuk beberapa lama. Sekarang saja sudah dua mingguan aku berada di ruangan ini dan proses pemeriksaan diriku belum juga selesai. Rasa capek sekali. Apa pun yang aku jawaban tak pernah mendapatkan pengakuan sebagai sebuah pendapat yang patut didengar apalagi hendak disebut sebagai kebenaran. Untungnya, aku tidak disiksa secara fisik. Tidak ada pukulan tangan, tendangan atau siksaan apa pun sebagaimana gambaran jika seorang tahanan diinterogasi yang pernah aku dengar atau baca.
Kini, aku benar-benar lelah. Aku benar-benar pasrah… Terserah, apa yang bakal terjadi padaku. []
21/
Kehilangan-Kehilangan
Pitha yang baik,
Aku pikir aku hanya sebentar saja ditahan di kantor tentara. Pemeriksaan atau masa-masa interogasi terhadap diriku hanya berlangsung paling lama dua bulan. Setelah itu, aku dibiarkan saja, tidak ada yang bertanya-tanya lagi dan sama mungkin, tidak ada yang bisa lagi aku katakan pada yang bertanya. Tak lama setelah itu aku dipindah ke ruang yang agak sempit, agak gelap, dan tidak ada lagi sofa empuk yang bisa aku gunakan untuk tidur dengan agak enak. Makanan dan minuman masih sering diantar untukku. Aku mulai merasakan keadaan yang sebenarnya sebagai seorang tahanan.
Aku tak bisa mengasihani diriku sendiri. Aku juga tak bisa merutuki diriku sendiri. Ini semua adalah pilihan. Semua adalah konsekuensi dari apa yang aku yakini sebagai kebenaran yang harus aku kabarkan kepada semua. Bukan! Itu bukan kebodohan. Aku menolak apa yang aku lakukan adalah sebentuk ketololan yang hanya merugikan diri sendiri. Segalanya adalah kekonsistenanku dalam memperjuangkan hak dari mereka yang telah ditindas oleh pihak yang merasa punya kekayaan dan kekuasaan, sehingga merasa boleh berbuat apa pun termasuk merugikan pihak yang lemah.
Tak dinyana… aku ditahan sampai 10 bulan. Kasusku tak sampai ke pengadilan. Entah, mungkin tidak ada kesalahan fatal atau perbuatan pidana yang bisa membawaku ke meja hijau. Atau, jangan-jangan penangkapan dan penahanan diriku justru sebuah kesalahan.
***
Kini, aku bebas. Aku diantar oleh Mas Danu Wirya, yang sampai sekarang aku tahu apa pangkat dan jabatannya di ketentaraan, ke kosanku. Setelah itu, orang tuaku datang dari desa untuk melihat keadaanku. Jelas saja, badanku menjadi lebih ramping kalau tidak mau dibilang kurus.
Namun, dalam kenyataannya kebebasan setelah sepuluh bulan lebih dikungkung dalam sebuah ruangan, dijauhkan dari informasi, dijauhkan dari komunikasi dengan keluarga, teman, dan semua orang, justru membuatkan berada dalam situasi asing, ya semua orang memandangku dengan pandangan aneh, curiga, dan agak lain.
Setelah kangen-kangenan dengan keluarga, teman-teman kos, teman-teman kampus, dan orang-orang yang peduli denganku tuntas, keinginanku hanya satu: bertemu Vitalita Davia. Apa kabar dia sekarang?
>> BERSAMBUNG