Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (39)
Aku kini sendirian di ruang ini. Masih pagi ini rupanya. Semalaman agaknya aku tertidur atau lebih tepatnya pulas akibat obat bius yang digunakan Danu Wiryo sekitar pukul 22.00 ketika membawa paksa aku ke sini. Mungkin kalau diajak baik-baik, mungkin aku tak kan mau. Ya, siapa pula mau datang ke markas tentara. Mana pula mungkin mengajak tentara berdiskusi atau berdebat. Mereka tak dibekali ilmu semacam itu. Mereka jelas diajari perang atau menghadapi musuh yang hendak mengganggu keamanan negara. Untuk itu mereka dibekali senjata dan menggunakan senjata itu saat dibutuhkan.
Aku membayangkan betapa hebohnya di luar sana ketika keluarga, teman-teman, kampus, dan orang-orang yang kenal atau tidak kenal denganku mengetahui aku ditangkap dan ditahan tentara. Dan, Vita sayang… bagaimana reaksi dia begitu aku ditahan di markas tentara? Aduh, kasihan. Barangkali, dia histeris memanggil namaku, meminta bisa melihat keadaanku, dan membuktikan aku dalam keadaan baik-baik, tidak mendapat perlakuan buruk, dan memperoleh makan dan minum yang cukup selama ditahan. Mungkin Vita sayang menangis tersedu-sedu, makan tak enak, tidur tak nyenyak memikirkanku seorang selama berhari-hari. Ah, entah. Sejak aku ditahan aku sama sekali tak bisa mendapatkan kabar mengenai apa yang terjadi di luar ruang tahananku ini. Sebaliknya, yang lain tidak akan tahu keadaanku saat ini. Komandan tentara akan mengatakan keadaaanku baik-baik saja kepada pihak sana agar semua tenang dan juga menjadi peringatan agar tidak berbuat macam-macam jika tidak ingin mengalami seperti yang terjadi padaku.
Ah, aku tak mau cerita menceritakan bagaimana perlakuan militer terhadapku. Boleh dibilang tidak ada siksaan fisik padaku, walaupun bentakan, intimidasi, dan ancaman tak putus-putusnya aku terima sejak malam kedua aku ditahan. Apa benar yang menyebabkan aku mesti ditangkap dan ditahan, terjawab sudah saat interogasi. Kadang dalam keadaan mata tertutup, kadang di bawah sorotan sinar lampu yang sangat terang di tengah ruangan yang sekelilingnya gelap. Kondisi ini membuatku tersiksa secara psikis dan lelah secara mental.
Setelah berkali-kali diinterogasi dan berkali-kali pula aku tak memahami arah pertanyaan dan–lebih tepatnya—tuduhan kepadaku, aku mulai bisa meraba-raba mengapa aku ditahan. Rupanya, ada yang mengadukanku sebagai aktor intelektual, provokator atau orang yang paling kritis dalam melihat perikehidupan sosial-politik di daerah ini, yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi maraknya demonstrasi mahasiswa. Lo, apa pasal? Bukankah aku bukan pemimpin mahasiswa atau orator hebat yang bisa membakar semangat massa?
“Iya benar. Bung memang tidak melakukan itu, memimpin demo atau berpidato di tengah unjuk rasa. Tapi, kami tahu Bung sering terlibat dalam beberapa diskusi. Di dalam diskusi itu, Bung bicara macam-macam yang berisi kebencian Bung kepada pemerintah dan juga tentara dan polisi. Ini jelas memanas-manasi mahasiswa dan peserta diskusi untuk memusuhi pemerintah dan polisi-tentara. Provokasi Bung seperti membakar mereka untuk membenci dan melawan pemerintahan yang sah. Ini subversif, Bung,” begitu kata interogator.
Aku tersentak. Hampir tak percaya. Bagaimana bisa mereka tahu? Bukankah selama ini semua diskusi itu boleh dibilang steril dari aparat keamanan atau pihak-pihak yang antikritik, antiperubahan, dan penjaga status quo?
“Kami punya rekaman suara Bung dalam beberapa diskusi. Bung benar-benar berbahaya bagi stabilitas negara dan ketertiban masyarakat!”
Aku pun diperdengarkan satu per satu rekaman suaraku ketika berdiskusi dengan teman-teman di berbagai kesempatan. Ya, benar itu suaraku. Tapi, apa yang aku katakan itu adalah kebenaran. Begitulah perilaku pengusaha tiran di bawah rezim yang otoritarian. Masalahnya, bagaimana aku bisa menjelaskan kebenaran ini kepada tentara yang menjadi alat utama dari penguasa itu. Rasanya sulit berdebat dengan tentara, bagaimana pemikiran kritis berhadapan dengan tentara yang dilatih untuk berperang dan karena itu dibekali dengan senjata. Maka, hampir pasti semua jawaban, tanggapan, atau bantahanku akan rontok manakala berhadapan dengan konsep “ketertiban, stabilitas, dan keamanan demi kelancaran pembangunan negara”.
Rupanya, bukan hanya soal diskusi yang menyebabkan aku memang perlu “diamankan” atau ditarik dari kelompok kritis. Kepadaku, interogator menunjukkan beberapa kliping tulisanku di beberapa media alternatif seperti pers mahasiswa atau news letter beberapa kelompok mahasiswa yang bernada kritis dan—lagi-lagi—dianggap sebagai pemikiran liar, yang memprovokasi, dan membangkitkan perlawanan kaum muda terhadap penindasan, perlakuan kesewenangan, dan ketidakadilan, yang dialami masyarakat yang tak berdaya. Namun, semua itu dianggap sikap subversif pembangkangan, dan perlawanan terhadap pemerintah yang sah. Sikap seperti ini juga dianggap bisa mengganggu ketertiban dan stabilitas negara, yang kemudian merembet menghambat jalannya pembangunan nasional.
>> BERSAMBUNG