Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (38)
Malam itu, aku tak ingat tanggal dan bulannya di tahun 1994, tak berselang lama setelah demo mencegat Mendikbud di Kampus Oranye, sembilan mahasiswa diangkut dengan mobil tentara dari TMP Tanjungkarang ke Markas Polisi Kota. Kesembilan mahasiswa itu Saipul, Yudha Budi Abadi, Roy Rulianto, Hardy R Hermawan, Sapta Iwan Nulkair, Zulkarnain Zubairi, Feri Irawan, dan Faisol dari FISIP Unila Satu lagi Bambang Ekalaya dari FISIP Universitas Bandar Lampung (UBL).[1]
Acara renungan suci belum lagi dimulai. Tapi, polisi dan tentara sudah mengepung TMP dari segala arah lengkap dengan berbagai jenis senjata. Dari atas mobil tentara yang membawa mahasiswa, mereka menyaksikan wajah-wajah tegang aparat keamanan dengan senjata di tangan masing-masing yang siap digunakan jika terjadi sesuatu. Gila benar!
Di Kantor Polisi Kota, beberapa di antara dari mahasiswa tadi–untuk sampel saja, katanya—diinterogasi satu per satu. Lalu, sembilan mahasiswa itu di sebuah ruang besar. Di situ sudah lengkap ada Kepala Polisi Kota, Komandan Tentara Kota, Kepala Polisi Provinsi, Komandan Tentara Provinsi, dan petinggi sipil negara lainnya. Mahasiswa difoto satu-satu. Setelah itu, para mahasiswa mendengarkan petuah petinggi-petinggi itu tentang bagaimana caranya mahasiswa yang baik-baik, bertindak sebagaimana yang telah digariskan oleh pemilik kuasa, dan bagamana menciptakan ketertiban dunia. Intinya, mahasiswa tak usahlah berunjuk rasa, berdemo, atau melawan pemerintah kalau tidak mau menerima akibatnya.
Sebuah bentuk teror atau minimal peringatan keras bagi mahasiswa agar tidak terlalu peduli dengan sekitarnya. Jangan terlalu kritis jika tidak menginginkan hal buruk bakal terjadi pada diri mahasiswa.
Hampir subuh ketika sembilan mahasiswa yang dianggap aktor penggerak aksi protes kepada pemerintah dalam bentuk renungan suci di TMP diperbolehkan pulang. Mereka tidak ditahan. Tapi, semalaman mahasiswa itu di Kantor Polisi Kota diinterogasi dan diceramahi cukup membuat sivitas akademika Unila, terutama dosen dan teman-teman mereka, menjadi was-was. Mereka bersiaga dan merencanakan untuk melakukan pembelaan atas kesembilan mahasiswa yang diangkut kendaraan tentara.
20/
Ditahan atawa Pindah Kos di Markas Tentara
AKU membuka mataku. Terasa masih berat. Tapi, aku paksakan. Lalu, perlahan bangkit untuk duduk. Oh, aku tertidur di sebuah sofa empuk. Terasa tempat yang asing bagiku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aku berada di sebuah ruangan rupanya.
“Oh, sudah bangun, Nut?” sebuah suara menyapaku.
Lelaki yang mengenakan bercelana jean dan kaos putih bersih ini rupanya menungguku siuman. Tidak jauh dari lelaki ini duduk seorang pria juga. Tapi, yang satu ini lengkap memakai seragam tentara lengkap dengan tanda pangkat, dan lain-lainnya. Dia agaknya pimpinannya.
Aku diam saja. Aku masih paham apa yang terjadi padaku.
“Ingat saya?” tanya pria yang berkaos putih.
Aku menggeleng karena belum ingat apa pun dan belum juga sadar mengapa aku bisa di tempat aneh ini.
“Saya Danu Wiryo yang menjemputmu tadi. Sekarang ingat tidak? Ini komandan saya, Kolonel Suhardjo,” ujar lelaki itu lagi.
Astaga, jadi aku ingat kini. Lelaki ini memperkenalkan diri sebagai mahasiswa dan menjadi aktivis yang sering ikut dalam berbagai diskusi dan aksi mahasiswa. Kami tak mencurigainya karena ia bersikap seperti layaknya mahasiswa pada umumnya. Rupanya, dia intel. Dan, kini aku yang kena.
“Mohon maaf, saya membiusmu saat engkau keluar dari gedung PKM ke semalam . Lalu, diam-diam teman-teman saya mengangkatmu ke mobil dan membawamu ke sini,” kata Danu.
“Jadi, …” aku mulai panik.
“Tenang saja. Teman-temanmu dan pihak universitas sudah kami beri tahu bahwa kamu baik-baik saja di sini,” timpal Kolonel Suhardjo.
“Aku diculik?” tanyaku lagi.
“Ah… enggak. Kami hanya memerlukan beberapa informasi darimu mengenai maraknya aksi mahasiswa beberapa bulan terakhir ini,” ujar Kolonel Suhardjo.
“Tapi, aku mahasiswa biasa saja, Pak.”
Kolonel Suhardjo dan Danu Wiryo tertawa.
“Ya, nanti kita ngobrol. Santai saja. Sekarang kau istirahat dulu saja. Mau mandi boleh, kami sudah siapkan sabun dan perlengkapan mandi lainnya. Pakaian ganti juga sudah kami siapkan. Anggap rumah sendiri saja.”
Kolonel Suhardjo berkata dengan ramah disertai senyum. Sama sekali tak ada nada ancaman untukku. Tapi, aku sadar sudah bahwa aku ditangkap dan ditahan di Markas Tentara ini. Tapi, aku bingung apa kira-kira kesalahanku. Aku bukan siapa-siapa. Pemimpin demo bukan. Orator ulung tidak. Apanya yang berbahaya dari diriku? Sementara ini, aku hanya bisa menebak-nebak apa yang menyebabkan aku perlu ditangkap dan ditahan.
“Ini sebenarnya ruang tamu. Tapi, sudah kami siapkan untuk tempat tinggalmu sementara ini. Kalau perlu apa-apa, bilang saja ke Pak Danu ini,” Kolonel Suhardjo kembali menjelaskan padaku.
Kayak pindah kosan saja. Malah lebih enak karena dikasih fasilitas macam-macam. Tapi, masalahnya, ini markas tentara! Kalau macam-macam, bisa berabe.
>> BERSAMBUNG
[1] Tidak ada catatan apa pun dan tidak ada media yang memberitakan peristiwa renungan suci di Taman Makam Pahlawan (TMP) Tanjungkarang pada tahun 1994. Nama-nama ini benar diangkut malam-malam dengan mobil tentara dari TMP ke Markas Kepolisian Resor Kota (Polresta) Bandar Lampung.