Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (37)
Sebuah provokasi yang sungguh tidak disadari mahasiswa. Belakangan aku mendengar bahwa petani-petani Way Huwi itu digerakkan oleh sebuah lembaga bantuan hukum yang memang konsen membela rakyat kecil yang tertindas, yang menderita oleh kebijakan negara atau mendapat perlakuan yang tidak adil dari pemilik modal yang biasanya dibeking penguasa dan tentara. Tapi, tak mengapa. Tujuannya bagus juga untuk kemaslahatan rakyat yang lemah, tak berdaya, dan disingkirkan oleh kekuasaan.
Setelah mendengarkan berbagai keluhan, pengaduan, dan pernyataan dari para petani Way Huwi ini, para mahasiswa, yang diwakili para pemimpin organisasi mahasiswa fakultas, baik intrakampus maupun ekstrakampus, menyatakan keprihatinan atas penggusuran lahan petani dengan mengatasnamakan pembangunan. Padahal, hal itu hanya akal-akalan pengusaha yang hendak menguasai lahan petani dengan cara-cara yang tidak manusiawi untuk investasi dan mengeruk keuntungan tanpa harus banyak mengeluarkan modal atau setidaknya dengan modal seminimal mungkin.
Ganti rugi tanah dihargai hanya lima rupiah per meter persegi. Bayangkan!
Oleh karena itu, mahasiswa FISIP berjanji akan ikut bergerak untuk memperjuangkan hak-hak para petani.
“Jangan cuma janji! Mahasiswa harus punya sikap dan tindakan konkret. Kami menunggu!” kata salah satu petani Way Huwi itu.
Dari gaya bicaranya, sebenarnya tampak jika yang bicara terakhir ini bukanlah petani atau warga biasa. Bisa jadi dia adalah salah satu aktivis organisasi nonpemerintah yang disusupkan dalam kelompok petani yang menggugat keadilan atas penggusuran lahan di Desa Way Huwi. Mahasiswa mana tahu. Mereka menanggapi itu dengan serius, merasa kasihan pada rakyat yang ditindas, peduli dengan nasib jelata, dan merasa harus terlibat dalam konflik pertanahan tersebut.
“Ya, kami janji. Kami akan segera melakukan sesuatu!” tegas pemimpin mahasiswa.
Sepeninggal para petani Way Huwi dari Kampus Oranye, tinggallah para aktivis mahasiswa yang pening. Yang tidak pedulian, yang merasa bodok amat, yang tidak tahu atau tidak mau tahu sih, tak ada masalah.
Ini zaman Orde Baru! Kalau macam-macam bisa berhadapan langsung dengan aparat, baik sipil, polisi maupun tentara. Terlalu riskan untuk mengadakan aksi secara terbuka. Berdasarkan rapat gelap, sebenarnya tidak gelap amat karena masih ada lampu listrik di Gedung F FISIP diputuskan untuk mengadakan renungan suci di Taman Makam Pahlawan (TMP) Tanjungkarang, Kedaton, Bandar Lampung. Agak konyol juga gagasan ini. Alasannya, kalau berunjuk rasa ke pemerintah atau pihak perusahaan yang menggusur tanah warga Way Huwi, aparat jelas akan bertindak karena dianggap mengganggu ketertiban dan stabilitas keamanan negara. Karena itu, daripada mengadu pada yang masih hidup yang tidak mau mendengar dan tidak bisa membantu apa-apa, lebih baik melapor apa arwah para pahlawan bahwa telah terjadi penindasan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan di tanah yang mereka perjuangkan dulu.
Inspirasinya, film semacam “”Malam Satu Suro”. Film yang dirilis pada tahun 1988 silam ini berkisah tentang Suketi (Suzanna) yang menjadi sundel bolong dan gentayangan akibat dibangkitkan dari kubur oleh dukun Jawa bernama Ki Rengga. Suketi lalu ditancapkan paku keramat dan dibangkitkan karena Ki Rengga menginginkan anak angkat. Cerita semakin menegang ketika paku di kepala Suketi dicabut yang membuat ia kembali menjadi hantu. Merasa kebahagiaannya dirusak, Suketi perlahan mulai balas dendam kepada orang-orang yang mengganggu keluarganya.
Film “Lukisan Berdarah” (1988) bercerita tentang pasangan suami istri baru bernama Agus dan Hanna yang membeli rumah angker milik Diarsi. Kejadian-kejadian aneh pun mulai bermunculan, mulai dari rubuhnya pohon beringin dan mimpi-mimpi yang menyeramkan. Ternyata malapetaka itu diakibatkan oleh sebuah lukisan yang ada di dalam rumah. Lukisan itu menjadi tempat berdiamnya roh Diarsi yang menuntut balas kepada pembunuhnya.
Ada juga film-film dan sinetron seperti “Sundel Bolong”, “Malam Jumat Kliwon”, “Beranak dalam Kubut”, “Telaga Angker”, “Si Manis Jembatan Ancol”, dan banyak film atau sinetron yang mengisahkan hantu atau arwah penasaran yang membalaskan dendamnya setelah meninggal karena semasa hidup sungguh tidak berdaya melawan perlakuan dari orang-orang biadab yang telah membunuh mereka.
Dengan latar pemikiran seperti itu disepakatilah renungan suci akan dilakukan Kamis malam. Malam Jumat dipilih merujuk pada sakralitas malam ini. Rencana semua sudah matang, mulai dari siapa yang bertugas meminjam kunci makam, jadwal acara, bagaimana kedatangan peserta renungan suci, dan sebagainya. Mahasiswa masuk ke TMP dari pintu samping, bukan dari pintu utama di depan untuk menghindari kecurigaan aparat atau masyarakat. Agar rencana ini lancar, diwanti-wanti agar jangan ada yang membocorkannya ke pihak-pihak yang tidak sejalan dengan aksi ini.
>> BERSAMBUNG