Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (36)
Sebagai pers alternatif, pers mahasiswa memberikan informasi alternatif yang tidak harus berkiblat dengan cara pandang media arus utama. Namun, masalah yang dihadapi pers mahasiswa adalah kontrol yang sangat ketat, baik oleh penguasa melalui Surat Tanda Terbit (STT) yang dikeluarkan Menteri Penerangan dan oleh pihak kampus. Soalnya, nasib pers alternatif sama saja dengan pers umum, sama-sama dikontrol pemerintah Orde Baru. Hanya ada pilihan untuk pers alternatif yang tak kuat untuk terus melawan: tutup atau bersedia dijinakkan. Pers yang tetap berupaya bersikap radikal menggunakan siasat untuk bertahan dan menghindari cengkeraman penguasa. Ini juga menunjukkan bahwa untuk melanggengkan keberadaan pers alternatif tidaklah mudah.
Tapi mahasiswa ya mahasiswa yang tidak mudah patah hanya karena sedikit rintangan. Bagi mereka, berbagai bentuk pembatasan dan pembelengguan kebebasan berpendapat ini malah menjadi tantangan tersendiri. Temanku, Anton Bahtiar Rifa’i, Pemimpin Redaksi Teknokra (1994-1996) berkata, “Suasana hati para aktivis mahasiswa diliputi semangat perlawanan atas pembungkaman pers yang dilakukan penguasa, terutama menyusul pembreidelan tiga media massa—Tempo, DeTIK, dan Editor—pada 21 Juni 2024. Kami betekad untuk menjadi pers mahasiswa sabagai pers alternatif. Maksudnya, ketika pers umum banyak dibatasi, maka pers mahasiswa harus mengisi segala keterbatasan itu. Bagi Teknokra, pilihan menjadi pers alternatif merupakan suatu bentuk kesadaran atas situasi zaman. Dengan menjadi pers alternatif, Teknokra pun mengalami perubahan yang cukup penting. Bila sebelumnya pemberitaan Teknokra hanya memfokuskan pada peristiwa dan isu internal kampus, maka selanjutnya Teknokra juga mengangkat tema-tema umum di luar kampus.”
Maka, setelah mengangkat gerakan mahasiswa yang bikin heboh, Teknokra mulai mengangkat masalah-masalah kerakyatan di Lampung seperti ambisi Pemerintah Kota Bandar Lampung meraih Adipura yang sampai harus menggusur rumah warga. Kasus Talangsari 1989, Way Jepara, Lampung yang berbau pelanggaran hak asasi manusia dibuka kembali di Teknokra. Salah satu jurnalisnya, yang kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Teknokra 1997—1998 , Ila Fadilasari sampai menjadikan kasus Talangsari ini bahan skripsi dan lalu menerbitkannya dalam bentuk buku. Suksesi nasional yang masih dianggap tabu pun diulas Teknokra secara gamblang.
Aku sendiri masih terus menulis untuk untuk pers mahasiswa dan sesekali di pers umum. Terasa sekali perbedaan bahasa dan pemaparan artikel dalam pers mahasiswa dengan pers umum. Jika dalam pers mahasiswa, berita atau artikel bisa lebih lugas, sering tanpa tedeng aling-aling, dan langsung menohok ke persoalan, di pers umum berita atau artikel lebih “sopan”, tidak boleh ada “kritik telanjang” yang langsung ditujukan kepada pihak yang berkuasa, dan sering-sering fakta yang sesungguhnya malah ditutupi.
19/
Renungan Suci di Taman Makam Pahlawan
SESIBUK apa pun ikut demo, diskusi politik atau apalah, aku tak boleh lupa dengan Vita sayang geh. Kebetulan tadi baru mencairkan honor tulisan di koran. Tadinya, cuma mau mengajak Vita seorang cari bakso di kantin FKIP. Maunya dua-duaan saja. Tapi, begitu tahu mau ke kantin, Tya dan Ella minta ikut.
“Aih… tahu aja kalau mau makan-makan,” kata Vita.
“Loh, kan saya cuma ngajak Vita,” timpalku.
“Kita betiga selalu kompak loh Kak…,” ujar Tya.
“Apa lagi soal makan-makan,” sambung Ella.
“Hahahaa…” semua tertawa.
“Ya, ayoklah,” ajakku.
Tapi, aih… ada saja yang mengganggu keasyikan kami. Kami sedang menyantap makanan dan masih berbincang santai di kantin ketika terjadi kehebohan di PKM. Unila kedatangan tamu dari luar kampus. Warga Desa Way Huwi, Lampung Selatan tiba-tiba saja mengunjungi Unila untuk mengadukan masalah yang mereka hadapi.
Aku terpaksa pamit dengan Vita, Tya, dan Ella menuju PKM. Mau meliput atau lebih tepatnya sekadar tahu apa yang terjadi.
Aku terlambat. Warga Way Huwi ternyata hanya sebentar saja berorasi di lapangan Rektorat-PKM. Setelah itu mereka langsung menuju ke kampus FISIP. Dan, aku pun bergegas menuju FISIP.
Beberapa belas orang berpakaian ala petani, berbaju compang-camping, memakai topi caping, dan atribut kemiskinan lainnya tengah berdiri di depan gedung F. Dalam orasi mereka, mereka menuntut keadilan atas perlakuan pengusaha yang dideking pemerintah dan aparat Polri-TNI yang hendak merebut lahan mereka. Mereka minta kepada mahasiswa FISIP untuk membantu mereka memperjuangkan hak mereka.
Warga Way Huwi ini kemudian diminta bertemu dengan para pimpinan organisasi mahasiswa di FISIP. Dalam dialog itu, para petani mengeluhkan perlakuan yang mereka terima dari perusahaan yang memaksa mereka menyerahkan lahan mereka untuk keperluan pembangunan.
“Kami sangat keberatan. Tanah itu kan hak milik kami. Tanah itu adalah sumber penghidupan kami. Di tanah itu kami bercocok tanam. Dan dari sinilah kami makan sehari-hari,” kata seorang warga.
“Dari mana kami mendapatkan penghasilan kalau lahan kami diambil perusahaaan?” timpal yang lain.
“Ada ganti rugi. Tapi, ganti ruginya sangat tak berperikemanusian. Masa tanah kami dihargai dengan lima rupiah per meter persegi.”
“Kami minta tolong agar mahasiswa FISIP membantu kami memperjuangkan nasib kami. Mahasiswa FISIP jangan hanya mau bergerak atau berdemonstrasi untuk keperluan internal. Pikirkan kami juga rakyat kecil. Bela kami yang tak berdaya menghadapi penindasan penguasa yang dibekingi pemerintah dan TNI-Polri.”
>> BERSAMBUNG