Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (41)
Menghubungi Vita lewat telepon umum di bilangan Enggal, aku mendapati kabar tidak mengenakkan.
“Oo… ini Nak Kenut ya. Vita sedang ke Sukadana,” ujar ibunya Vita di ujung telepon.
“Lampung Tengah[1] ya Bu?”
“Iya.”
“Kapan berangkatnya?”
“Dari kemarin. Katanya minap dua malam.”
“Ada acara apa, Bu di sana?”
“Dak tahu, Nak Kenut. Mau liat acara adat gitu, katanya. Saya dak paham.”
“Vita bareng siapa ke sana, Bu?”
“Bareng temannya.”
“Tya dan Ella ikut?”
“Nggak tahu, Nak.”
“Oh, ya sudah, Bu. Kirain Vita ada. Assalamualaikum…”
“Waalaikum salam.”
Agak aneh juga. Vita berangkat kemarin hari Jumat. Hari ini Sabtu, dia masih di sana sampai besok Minggu. Acara adat apa? Vita tak pernah cerita ada saudara di Sukadana. Ada teman di sana? Siapa? Aduuh… jadi curiga. Dan, Ella dan Tya, aku tahu kemudian, ternyata tidak ikut Vita tidak ikut ke Sukadana. Jadi, bersama siapa dan ke mana Vita selama tiga hari di Sukadana.
“Enggak tahu, Kak. Vita enggak kasih tahu juga,” kata Ella dan Tya. Entah benar-benar tidak tahu atau sekongkol dengan Vita untuk tidak memberitahuku.
Duh, ngeselin! Delapan bulan lebih tak mendapati kabar Vita karena memang aku ditutupi dari semua informasi dari luar ruang tahanan, sekarang aku malah menerima cerita yang membuat hatiku tak karu-karuan.
Lebih tak karu-karuan lagi hatiku manakala aku tanpa sengaja mendengar rumpian tentang betapa eloknya rupa dan pekerti seorang gadis yang menjadi pacar sepupunya. Sabtu kemarin sepupunya itu membawa pacarnya untuk dikenalkan dengan keluarganya di Sukadana. Aku malas menyebut nama yang cerita dan nama sepupunya yang beruntung dapat cewek cantik itu.
Tadinya, aku tak peduli dengan cerita seseorang ini. Aku juga tak kenal dia. Tapi, ketika ia menyebut nama, “Vita… Vitalita apa gitu…”, aku tersentak kaget. Tapi, mana mungkin pula memperkenalkan diri dan dengan nada marah bilang aku pacar Vita dan bertanya-tanya lebih jauh. Jelas, hatiku panas. Cemburu telah membakarku.
“Vita memang tidak punya perasaan khusus dengan Kakak,” ujar Tya ketika kutanyakan mengenai hubunganku dengan Vita selama ini.
Jawaban serupa keluar dari mulut Ella.
Bangsaat! Jadi, apa arti semua perhatian, kepedulian, dan kebaikan Vitalita padaku selama ini? Apa pun yang telah aku lakukan sebagai bentuk rasa sayangku padanya tidak bermakna apa-apa. Ah, mengapa aku begitu tololnya menganggap Vita segalanya bagiku, menjadi seorang yang menjadi tempatku untuk menapaki hari depan bersama dengan segala kasih dan sayangku?
“Kak Kenut sudah saya anggap kakak sendiri,” kata Vitalita saat aku akhirnya bertemu dengannya di kampus dan memaksanya ke Sekretariat Majalah Republica untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya perasaannya padaku.
“Kakak sendiri?” aku menggumam benar-benar frustasi mendengar jawaban semacam ini.
“Ya, Kakak sangat baik denganku. Vita tidak tahu harus bagaimana….”
Vita tak meneruskan kalimatnya. Suasana menjadi sahdu. Aku memandang lekat mukanya yang berubah kelam. Air mata menggenang dan kemudian menitik.
“Kok jadi begini, Vita? Apa salahku?”
“Maafkan aku, Kak. Maafkan aku, Kak… Kakak tak salah apa-apa.”
“Tak salah, kok Vita jadi begitu?”
“Kaaakkk… Vita begitu cemas dan khawatir ketika Kakak ditangkap dan ditahan. Vita bertanya-tanya kepada siapa pun yang bisa Vita tanya untuk mendapatkan kabar berita Kakak. Tapi, tak ada yang tahu. Aku menunggu Kakak yang penuh ketidakpastian….”
“Hanya delapan bulan. Tak sampai setahun. Kau sudah berubah Vita…”
Aku tak sanggup lagi membubuhinya dengan kata ‘sayang’ atau ‘sai’ seperti biasa sebelum aku tertangkap dan ditahan tentara. Suasana menjadi kaku. Vita masih terisak. Air matanya mengalir deras. Aku biarkan. Ya, aku merasa tak lagi punya hak hendak sekadar mengusap air matanya atau memeluknya kini. Vita bukan milikku lagi. Meskipun duduk berhadap-hadapan antara aku dan Vita, kini seakan tercipta jarak yang jauh sekali antara aku dan Vita.
Terngiang kata-kata Vita dulu dalam menanggapi berbagai aktivitas yang aku lakukan sebagai mahasiswa, meskipun dalam nada-nada bercanda, “Kakak sih gak mutu”, “Ala puisi… memangnya puisi bisa laku”, “Nggak mikir…” Ya, inilah maksud dari apa terjadi dalam hubunganku dengan Vita. Pada akhirnya, aku aku sadar bahwa selama ini sejak mengenal Vita, aku hanya membuat Vita penuh dengan kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan. Terutama, soal masa depanku atau bersamaku yang penuh ketidakpastian.
>> BERSAMBUNG
[1] Sukadana sekarang ibu kota Kabupaten Lampung Timur. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999, Kabupaten Lampung Tengah mengalami pemekaran menjadi dua kabupaten dan satu kota yaitu Kabupaten Lampung Tengah sendiri, Kabupaten Lampung Timur dan Kota Metro.