Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (32)
Terpaksa, kami penumpang turun dari bus di Batu Kebayan ini. Terpaksa jalan kaki. Jauh… entah berapa kilometer lagi untuk sampai di Liwa.
Beberapa meter berombongan menelusuri jalan yang ditutupi tanah dan material longsoran di sana-sini atau jalan yang putus karena rekah dan tanahnya masuk ke jurang di sisinya. Kalau memasuki perkampungan, pemandangan memilukan karena rumah-rumah yang rusak dari ringan hingga berat, bahkan ada yang rata dengan tanah.
Tak terasa air mataku menitik. Aku belum mendapat kabar tentang rumah dan keluarga besar di Liwa.
Saat berjalan itu, ada panggilan dari sebuah mobil Toyota di belakangku, “Nut… Nut…”
Aku menengok. Romzi, teman kecilku di SD melambaikan tangannya dan begitu mobil lewat di dekatku dan berhenti.
“Ayo naik, Nut!” katanya.
Aku pun naik mobil yang berjalan perlahan dan kadang terhenti karena harus antre di jalan yang tertimbun tanah dan menunggu alat berat membuka jalan. Sepanjang jalan tetap banyak—banyak juga yang aku kenal–yang berjalan kaki karena tidak ada kendaraan yang bisa ditumpangi. Tak enak juga hatiku pada mereka. Tapi, mau bagaimana lagi, aku pun menumpang.
Liwa di kunci oleh longsoran tanah dari arah Tanjungkarang, Krui, dan Ranau. Tentara dan polisi menggunakan helikopter untuk menembus pusat kerusakan yang paling parah dari gempa di Liwa. Bantuan pun disalurkan lewat udara.
Semakin mendekat ke Liwa, semakin tampak kerusakannya. Hati semakin cemas dan gelisah. Benar saja di pusat Kota Liwa ratusan rumah ambruk di sepanjang jalan.
Hampir gelap malam ketika sampai di Negarabatin. Begitu dekat rumah aku langsung berlari menuju rumah. Dan… astaghfirullah. Aku menemukan rumah tempat aku dilahirkan ambruk rata dengan tanah seperti juga rumah-rumah di kiri kanannya.
Sepi! Tak ada sesiapa di situ. Di mana ayah, ibu, adik-adik, kakek, dan nenekku?
Aku bertanya-tanya. Aku menemukan jawaban bahwa semua mengungsi ke lapangan. Aku langsung berlari ke sana. Dan, lapangan penuh dipasang tenda. Termasuk yang rumahnya tidak rusak tetap diminta tinggal di tenda karena dikhawatirkan akan gempa susulan.
Setelah bertanya-tanya, aku menemukan tenda keluargaku. Semua selamat… Ayah, ibu, adik, kakek, nenek ada. Tapi, adik perempuan yang nomor tiga, yang sedang duduk di SMA, Tiara … mana?
“Tiara… sudah berpulang. Adikmu terkena tembok besar yang hancur dan menimpa kepala hingga badannya. Sempat dirawat tapi… tak tertolong,” kata ibu sambil terisak.
“Tadi dimakamkan bersama-sama yang lain di pemakaman massal!” kata ayah.
“Ya Allah, Tiara… Adikku yang cantik. Mengapa engkau lebih lebih duluan pergi. Seharusnya saya yang lebih tua. Ah, aku tak berguna. Harusnya aku ada dan melindungimu…. ” aku seperti gila.
“Sudah suratan takdir, Nut. Jangan disesali. Biarkan adikmu tenang di alamnya.”
Meskipun aku laki-laki, aku tak kuasa menahan lelehan air mataku. Aku menangis! Aku ingat sikap manjanya padaku. Minta diantar ke mana-mana. Suka minta ini itu kalau aku sedang pulang kampung. Kini, Tiara sudah pergi untuk selamanya…
Dari ayah, ibu, adik, kakek, dan nenek, aku juga mendapatkan berita duka tentang meninggalnya anak, ibu, bapak, paman, bibi, kakek, nenek, dan banyak sanak-famili yang dekat yang jauh karena tragedi ini. Sungguh memilukan dan hatiku menjadi tak karu-karuan dibuatnya
“Saya mau menengok kuburan Tiara,” ujarku.
“Besok kita tengok makamnya. Sekarang sudah gelap.”
Ya, benar. Gelap menyelimuti Kota Liwa. Hanya lampu minyak kecil. Rumah-rumah dan bangunan juga tak berlistrik karena gempa merusak instalasi listrik. Apalagi rumah yang roboh atau rusak parah. Saluran telekomunikasi seperti telepon juga terganggu. Benar-benar menyedihkan!
Untuk beberapa bulan orang-orang terpaksa hidup di tenda. Yang muslim tetap berpuasa, sahur, dan berbuka di tenda. Meskipun tidak sedikit juga yang tidak berpuasa. Bahkan, saat Lebaran tiba, kami masih merayakannya di tenda dengan penuh keprihatinan.
>> BERSAMBUNG