Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (31)
“Lu tahu dari siapa?”
“Ada deh!”
“Kalau iya gimana?”
“Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma penasaran saja…”
“Penasaran apa?”
“Apa yang membuat lu tertarik dengan Vita?”
Aku diam saja.
“Orangnya lembut, manis, sikapnya… atau apa?”
“Semuanya. Tambahannya, cerdas…”
“O, gitu…”
“Iya begitu. Jadi, lu ngajak gua jalan cuma mau nanya-nanya kek gitu ya?”
“Ya, nggak juga. Cuma kepengin aja jalan berdua denganmu.”
“Walah…”
Aduh, kenapa pula aku kok jadi terjebak dalam pusaran hati ini. Aku merasa Elatri punya sebentuk perhatian khusus denganku. Sebenarnya, sedari awal sudah mulai menangkap isyarat itu. Tapi, sungguh aku bukan orang yang suka memanfaatkan atau mempermainkan perasaan perempuan. Aku selalu menghormati mereka, walau terkadang mesti menekan perasaanku sendiri. Aku terkadang tidak terlalu percaya diri jika sudah berhadapan dengan getar-getar hati, dari seorang gadis atau sebaliknya dariku terhadap seorang cewek. Maka, aku pun berpura-pura tak mengerti dengan isyarat-isyarat yang diperlihatkan Elatri.
Biarlah, begitu saja. Aku tak mau mengkhianati Vita.
Kami terus berjalan dan sampailah di sebuah rumah di Jalan Swadaya X di bilangan Gunung Terang, Langkapura, Bandar Lampung. Lumayan jauh aku mengikuti Elatri berjalan sejak dari kampus. Terasa pegal kakiku. Gondok benar hatiku. Ngerjain betul! Entah… kalau Elatra, mungkin dia sih senang-senang saja.
Di rumah Mbak Nita, yang ternyata bukan kakak kandung, melainkan saudara jauh saja dari Elatri, dia penuh semangat memperkenalkanku. Apa biar aku dikira pacarnya kali. Ya, biarlah. Sesukamu Elatri, kataku dalam hati. Cuma aku tak mau membuat Elatri tersinggung dan marah padaku.
Ya, cukuplah. Aku sudah punya Vita!
16/
Bila Bumi Diguncangkan
Pitha yang baik,
Sudah lama juga aku tak pulang ke kampung kita, kampung yang penuh kenangan yang menyimpan segala ingatan yang tidak mungkin terlupakan. Entah, aku selalu punya segudang alasan untuk tidak pulang dengan mengaku ‘sok sibuk’ dengan kuliah, pers mahasiswa, kelompok studi, dan berbagai aktivitas kemahasiswaan dan non kemahasiswaan lainnya. Sampai kemudian, terdengar kabar bahwa kampung kita mendapat musibah.
Pagi itu keluar dari kuliah, aku ke redaksi Teknokra.
“Nah, ini orang Liwa,” kata Rudi.
“Liwanya di mana?” tanya Tina.
“Di pasarnya,” sahutku tanpa mengerti apa masalahnya.
“Nah, di daerah itu yang paling parah dan paling banyak korban meninggal,” sambut Sensen.
Aku kaget.
“Ada apa?” aku benar-benar tidak tahu.
“Ini gimana sih. Wartawan kok ketinggalan berita?”
“Liwa diguncang gempa. Ratusan bangunan ambruk, ratusan orang meninggal dan luka-luka.”
Aku terperangah seperti tak percaya. Kabar yang sungguh mengguncang hati. Orang tua, adik-adik, kakek-nenek, dan sanak familiku, semua ada di lokasi gempa yang dibilang tadi paling parah dilanda gempa.
“Hehh… kamu cepat pulang sana!”
“Ooh… iya,” aku gelagapan dan langsung berjalan cepat, mencari angkot, dan ke tempat kosan.
Semalam aku tak pulang dan tidur di PKM. Sesampai di kosan, sepi karena sudah pada pulang kampung karena memang sedang libur Ramadan. Aku belum pulang kampung karena, seperti yang aku katakan tadi tadi, sok sibuk dan berencana pulang dekat-dekat Lebaran.
Tak ada teman pulang kampung!
Setelah membawa beberapa potong baju yang dimasukkan ke ransel kecil, aku pun langsung berangkat menuju Terminal Rajabasa untuk memesan tiket untuk ke Liwa.
Aku seperti kehilangan kesadaran. Aku bahkan lupa bilang ke Vita kalau aku mendadak pulang ke Liwa. Yang terbayang kini adalah bagaimana penderitaan keluarga, sanak-famili, dan saudara-saudaraku yang menjadi korban gempa.
Ya, Bumi Sekala Brak terguncang hebat saat penduduk terlelap pada Rabu, 16 Februari 1994 bertepatan dengan 5 Ramadan 1416 Hijriah.
Ibu-ibu baru saja saya mempersiapkan menu sahur dan memejamkan mata, tiba-tiba saja kaget karena bumi seperti disentak, bergoncang hebat, dan kayak digoyang-goyang. Yang paling besar dan agak lama yang pertama. Kemudian disusul guncangan kedua, ketiga, dan seterusnya.
Betapa kalang-kabutnya orang-orang. Suasana keheningan dini hari pun berubah menjadi jerit dan tangis warga. Sedikitnya, 207 orang meninggal dunia dan 2 ribu lebih masyarakat luka-luka akibat musibah ini. Tak kurang dari 75.000 penduduk kehilangan tempat tinggal. Dampak gempa berkekuatan 6,5 pada skala Richter ini terasa sampai 40 kilometer dari ibu kota Kabupaten Lampung Barat.
Sesampai di Terminal Rajabasa, sudah banyak penumpang yang senasib denganku yang hendak pulang ke Liwa hendak menengok kampung halaman yang dilanda gempa, tetapi bus jurusan Liwa sudah kosong. Waduh, bagaimana ini? Untungnya, ada armada jurusan Muara Dua-Palembang yang mungkin karena simpati atas musibah yang menimpa Lampung Barat menyatakan bersedia mengangkut para penumpang.
Maka, aku menjadi bagian penumpang yang berangkat dengan bus ini. Perjalanan pun dimulai, bus berangkat dengan kecepatan sedang, dengan seisi bus yang dilanda ketegangan. Mendekati Sekincau, mulai pecah tangis satu persatu dari para penumpang yang melihat kerusakan bangunan rumah, sekolah, dan kantor di kiri-kanan jalan akibat gempa. Aku pun tak kuasa menahan kesedihan yang menyergap.
“Tenang-tenang,” kata sang kenek meskipun percuma karena kondisi yang sangat rawan.
Bus pun sampai di Batu Kebayan, Belalau. Sopir menghentikan busnya dan bikin pengumuman, “Kendaraan kita hanya bisa sampai sini! Bus tak bisa lewat lagi. Di depan jalanan tertutup longsoran di beberapa titik sampai ke Liwa.”
“Masa gak bisa! Teruskan busnya, Pak Sopir!” teriak seorang penumpang setengah marah setengah frustasi.
“Tidak sanggup, Bu! Terlalu riskan…” sahut Sang Sopir.
>> BERSAMBUNG