Cerita Bersambung

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (30)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis

“Vita… di mana?” tiba-tiba ada suara laki-laki membuat kami tersentak melepaskan pelukan dan ciuman.

“Bapak!” bisik Vita.

Aku pun berdiri, tetapi tetap di situ.

“Aku di kamar, Bapak!” sahut Vita.

Sesosok pria melongokkan kepala ke kamar.

“O iya, Pak…. Ini Kak Kenut  yang antar Vita dari Puncak,” kata Vita menjawab tatapan ayahnya padaku.

“Terima kasih atas pertolongan Nak Kenut pada Vita,” kata sang ayah sambil mengulurkan tangan bersalaman.

“Ya, Pak. Memang seharusnya begitu…” sahutku kikuk.

“Gimana keadaan Vita? Katanya habis kecelakaan. Tadi ada yang kasih tahu Bapak,” kata ayah Vita.

“Ya ini, Pak. Kaki Vita kayaknya keseleo….”

Vita pun bercerita tentang kejadian di vila sampai diantar pulang olehku. Tak lama, Mbak Rika pulang yang kemudian disusul lagi ibu Vita juga pulang.

Vita bercerita lagi dan lagi setiap ada yang bertanya. Aku juga menjawab jika ada yang ditanyakan padaku. Tapi, tentu saja aku dan Vita tak cerita kan bagian-bagian yang agaknya perlu ditutupi. Malu kalau sampai bocor…. Hahai…

Untuk beberapa minggu, Vita hanya di rumah saja. Perlu waktu untuk memulihkan kakinya yang keseleo. Aku telah beberapa kali menjenguknya di rumah. Hampir selalu ada yang datang sebelum, bersamaan atau setelah aku. Vita memang banyak teman. Meski acap diliputi rasa cemburu, aku berusaha bersikap biasa dan menganggap hal yang wajar terjadi pada Vita.

Yang jelas, setelah itu, setelah peristiwa kecelakaan itu, hubunganku dengan Vita kiat erat, kian mesra, dan kian hot. Entahlah, kalau itu cuma perasaanku saja.

15/ Gunung Terang

Pitha yang baik,

Pada dasarnya aku seorang setia. Aku hanya mau menjaga hubungan baik dengan seorang cewek saja. Dan, cewek itu namanya Vita. Vitalita Dania lengkapnya. Itu sudah aku ceritakan padamu.

Tapi, sebagai mahasiswa, tentu saja aku tak hanya melulu tenggelam dalam urusan asmara. Kuliah sudah pasti, aktivitas di dalam dan di luar kampus sebagai konsekuensi dari apa yang disebut sebagai agent of change, penjaga moral bangsa, garda terdepan kemajuan negeri, dst yang dilekatkan pada mahasiswa, aku terlibat pula dalam berbagai kelompok diskusi dan pergerakan mahasiswa di samping ikut mengelola pers mahasiswa. Tak selalu ada Vita di saat-saat mengikuti berbagai kegiatan itu. Vita tak terlalu suka diskusi atau berwacana sana-sini seperti aktivis pada umumnya. Dia pula tak senang-senang amat berorganisasi, kecuali organisasi seni di tingkat universitas dan ikut pers mahasiswa seadanya—karena ada temannya dan barangkali karena ada aku di situ. Menulis… hahaa… lebih mudah, Vita meminta tolong padaku agar dibikinkan kalau ada tugas membuat paper atau makalah dari dosen. Demo… apalagi, Vita paling ogah. Ya, sudah. Aku tak bisa mengatur-atur maunya Vita. Tak apa-apa. Yang penting, Vita mau jadi pacarku. Yang penting, Vita tetap sayang padaku. Yang penting, Vita sekalu perhatian denganku. Yang penting… Pokoknya, Vita segalanya untukku!

Setelah terlibat dalam Kelompok Studi Merah Putih dan Fordima, aku dan Afdal dari kalangan mahasiswa terlibat dalam pendirian Forum for Information and Developmen Studies (FIRDES), sebuan forum yang berisikan para inteklektual, cendekiawan, penulis, dan pemikir di Bumi Ruwa Jurai, yang kemudian secara berkesinambungan memberikan sumbangan pendapat, saran, dan kritik terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan di daerah dan negeri tercinta. Aku tak tahu, aku dan sebagian mahasiswa semakin bergelora dan bersemangat untuk bicara, menulis, dan bergerak menentang setiap kebobrokan, kesemena-menaan, dan berbagai tindak-tanduk yang mengarah pada penyalahgunaan kewenangan.

***

Aku sedang bengong di depan Gedung E, kuliah kosong karena memang sudah habis teori, dan hendak ke sekretarian Republica dan Teknokra lagi malas-malasnya ketika Elatri, cewek kuliahan seangkatan, menghampiriku.

“Lagi ngapain, Nut?”

“Nggak ngapa-ngapain…”

“Jalan yuk…”

Vita lagi tak ada. Dia tak kuliah. Jadi, iseng-iseng aku sambut ajakan ini, “Ayuk! Ke mana?”

“Ikut saja…”

“Ya, ke mana dulu.”

“Rewel amat! Ngikut aja kenapa? Nggak bakal gue bikin sesat.”

“Aih. Ya, udah… Ayuklah!”

Berjalan berdampinganlah aku dan Elatri menuju dari kampus, melewati dua Beringin Cinta di pusat kampus Hijau, menuju bundaran air mancur, dan lalu  ke kampus.

Di sini aku pun bertanya, “Naik angkot atau Damri!”

“Nggak! Kita jalan kaki saja…”

Payu! Siapa takut? Aku pun menuruti langkah Elatri. Lurus di Jalan Soemantri Brojonegoro, belok kiri di Jalan Teuku Umar, menyerang jalan, lalu masuk di Jalan Cengkeh, berberbelok-belok lumayan jauh di jalan ini, ketemulah Jalan Purnawirawan.

“Wah, gue diculik ini ya?”

“Lah, gitu saja! Hahaa…” Elatri menertawakanku.

“Bukan!  Sebenarnya, kita mau ke mana?”

“Ke tempat Mbakku, Nita…”

“Wah, … kok ngajak gue.”

“Ya, gue kepengin ngajak lu aja. Emang gak boleh? Memang ada yang marah gue jalan dengan lu?”

“Ah, nggak ah!”

Tapi, sebenarnya agak nyesal juga ikut jalan dengan Elatri. Teringat Vita…

Eehh… Elatri malah bertanya, “Lu pacaran dengan Vita ya?”

Widih… ini cewek mau tahu saja.

>> BERSAMBUNG

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top