Cerita Bersambung

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (29)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis

“Masuk gang di depan, Pak,” kata Vita.

Dari tasnya, Vita mengeluarkan uang Rp10.000 dan memberikannya kepada kenek. Si kenek mau protes. Tapi, langsung aku colek.

“Nanti, Bang… aku yang tambah!” kataku pelan-pelan, stil yakin, meskipun dengan nada gamang.

Masuk gang sedikit, lalu berhenti dekat rumah. Ketika mesin mobil baru saja mati, Mbak Rika, kakak Vita lewat memakai motor.

Vita pun memanggil, “Mbak… Mbak… Heii… Mbak Rika.”

Tapi, Mbak Rika tetap saja tancap gas. Tak mendengar, tak pula melihat. Waduh, bagaimana ini… Vita tak bisa jalan. Terpaksa minta tolong dengan tetangga. Beberapa orang kemudian mengangkat Vita menuju rumah. Aku sendiri jadi serbasalah… Tadinya, ikut mengangkat Vita. Tapi, ditowel oleh kenek angkot.

“Bayarnya masih kurang , Bang!” katanya.

Berbalik aku dan duduk di dalam mobil. Aku keluarkan semua uang di dompet dan uang receh lainnya yang ada di saku. Ada sekitar Rp15 ribu lebih. Semua aku berikan ke kenek disaksikan si sopir.

“Ini, Bang. Semua saya kasih… saya minta ini lima ratus rupiah untuk ongkos pulang,” ujarku dengan muka dibuat memelas.

“Kurang ini. Dari Puncak ke sini ya jauh. Katanya cuma sampai Kaliawi….”

“Ini saya tambahkan Rp15.000 lebih. Jadi, dengan uang tadi yang dikasih pacar saya,  semuanya jadi Rp25.000.”

“Masih kurang. Rp40.000 lah. Kan jauh….”

“Benar Bang, saya tak punya uang lagi. Minta tolonglah… ini kan musibah. Kecelakaan yang tidak diduga-duga…”

Sopir dan kenek ganti berganti mengomeliku.

“Tolonglah, Bang. Kasianlah dengan saya. Saya bener-benar tak punya uang lagi… ”

Aku benar-benar bingung. Masa iya mau minta ke Vita atau siapa di situ. Gengsi dong! Bisa rusak reputasiku sebagai seorang kekasih.

“Ya, sudahlah…” kata sopir.

“Maaf ya Bang. Saya benar-benar tak punya lagi…”

Kayaknya sopir dan kenek angkot sudah ikhlas. Tapi, aduuh… saat aku berputar dan lewat di depannya hendak menuju rumah Vita, berkata agak kencang, “Jangan pacaran, Bang kalau kurang modal!”

Kurang ngajar ini sopir. Boleh jadi mukaku merah malu dan marah. Tapi, mau apa lagi… Ada benarnya juga si sopir. Aku juga tak mau memperpanjang masalah. Terpaksa aku tahan saja marah dan malu itu.

Bergegas aku ke rumah Vita. Dipapah para tetangganya, Vita didudukkan di kursi ruang tamu. Tapi, kemudian dipindah ke kamar. Setelah itu, para tetangga itu pamit pulang.

Ibu, bapak, kakak… semua tak di rumah. Tinggallah kami, aku dan Vita berdua di rumah itu. Bengonglah aku. Gugup dan tak tahu mau mengapa. Duduk salah, berdiri juga salah. Masa iya mesti masuk kamar menemani Vita.

Tapi, tiba-tiba Vita ngomong dari kamar, “Kak tolong!”

Aku bergeming.

“Masuk aja, Kak!” ujar Vita lagi.

Maka, dengan langkah ragu, aku masuk ke kamar.

“Yaa… Gimana, Vit?”

“Bantu Vita buka celana panjang ini…”

“Haaa…?”

“Ih, ya nggaklah Vita mau buka-bukaan di depan Kakak. Hahaa…”

“Kirain. Hahaa… “

“Ambilin sarung itu!”

Vita pun memakai sarung. Dan, membuka kancing, resliting celana Levis, dan menurunkannya.

“Tarik celananya pelan-pelan dari ujung, Kak. Kaki Vita masih sakit ini…”

Akun menarik celana yang dikenakan Vita perlahan.

“Auu… sakit,” teriak Vita.

Berhenti sebentar, lalu meneruskan menarik celana Levis Vita. Sangat hati-hati takut Vita merasa sakit lagi. Tapi bukan itu saja yang membuat pekerjaan ini sangat berat. Bukan apa-apa. Meskipun Vita sudah mengenakan sarung, tetap saja tak terhindari meskipun sekilas-sekilas mataku melihat paha dan betis Vita tersingkap. Lebih kacau lagi, entah kenapa Vita seperti sengaja menyentuhkan tanganku ke kakinya. Meremang bulu kudukku. Dadaku berdebar-debar. Jantungku berdegup kencang seperti baru saja lari kencang dari dikejar-kejar harimau.

Eh, di saat keadaanku yang menyedihkan seperti itu, Vita malah bertanya, “Kenapa, Kak?”

“Ah, nggak!”

Jelas aku bohong.

Bukannya membuatkan bisa mengekang diri, Vita malah senyam-senyum di kulum.

“Kakak kok gerogi begitu?”

Hatiku tak karu-karuan.

“Habis Vita cantik…”

“Gombaal!”

“Benaran kok!”

Diam. Tapi, dua tangan saling genggam. Dua muka saling mendekat. Berpeluk erat, Vita pun memejamkan mata, lalu dua bibir berpagut….

>> BERSAMBUNG

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top