Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (22)
AKU telah berjanji untuk selalu memberikan perhatian pada Vitalita. Kepadanya langsung dan juga dalam hati. Maunya senantiasa bertemu, berdekat-dekatan, memandang-mandangnya terus tanpa bosan, dan berbincang-bincang… mengenai apa pun, tak ada yang tak menarik jika Vitalita yang mengatakannya, Hampir setiap hari aku akan memastikan di mana sedang berada. Di kampus, di perpus, di kantin, di rumah atau di mana, aku selalu mencarinya. Kalau tak tampak olehku Vitalita, kepada sahabat karibnya, Tya dan Ella, yang ke mana-mana hampir selalu bertiga, aku selalu bertanya, “Vita mana?”
Dan, aku langsung menemuinya kalau tak ada kuliah atau aktivitas kampus lainnya. Kalau Vita sedang kuliah, biasanya aku akan menungguinya sampai keluar kelas. Ketemu dengan Vita selalu membuatkanku senang. Entahlah aku tak pernah mengalami perasaan seperti ini. Sehari saja tak bersua bisa membuatku resah dan gelisah. Jadwal kuliahnya pun mesti aku hapal untuk memastikan keberadaannya. Beginilah kalau orang lagi mabuk… mabuk asmara.
Kalau rindu membuncah karena tak menjumpainya dalam sehari saja misalnya, aku suka telepon Vita ke rumahnya. Untuk bisa telepon ini perlu perjuangan khusus juga. Sebagai anak kos, aku tak mudah juga memakai fasilitas telepon. Di kosan, ada telepon. Tapi, mana pula bisa aku pakai untuk pacaran. Sama pula di kantor redaksi koran kampus, mana pula bisa dipakai untuk keperluan pribadi. Lagi pula telepon koran ini dikunci dan hanya boleh dipakai untuk keperluan penting saja. Tapi, yang namanya mahasiswa, selalu saja bisa mengakalinya untuk diam-diam memakai telepon tersebut. Belakangan telepon redaksi koran kampus ini pun dicabut karena tagihan telepon selalu saja membengkak.
Maka, sebuah fasilitas telepon umum koin di dekat kantor Satpam, dekat dekat bundaran kampus, di perempatan Fakultas Pertanian menuju Gedung BKK – Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang sering diplesetkan menjadi Bermalam Kok Kerasan, hehee… — menjadi saksi dari berbagai bujuk-rayu atau percakapan antara dua pasang kekasih. Ya, aku rasa bukan hanya aku seorang yang mengandalkan telepon umum ini untuk mengobati rasa kangen dengan sang pacar.
Ah, entahlah bagi yang lain, telepon umum bagiku sangat berjasa untuk menghubungkanku dengan Vitaku. Untuk ini aku harus punya stok koin uang Rp100 untuk bisa telepon agak lamaan. Begini cara pakai telepon umum ini. Pertama-tama angkat gagang telepon. Lalu, masukkan koin ke lubangnya. Pencet nomor telepon yang hendak dihubungi. Ada nada yang menandakan panggilan kita masuk, telepon yang dituju sedang sibuk alias lagi dipakai teleponan atau malah sudah digadaikan. Hahaa… Begitu telepon yang dituju diangkat dan seseorang berkata, “Haloo… “ bersamaan dengan itu terdengar suara klotak. Artinya, koin kita yang Rp100 mulai terpakai sebagai biaya telepon untuk sekira tiga menit. Tak selalu Vita yang pertama mengangkat telepon. Acap ibunya, kadang mbaknya, beberapa kali bapaknya. Keseringan telepon membuat aku hapal suara-suara. Jangankan suara Vita, suara bapak-ibu, mbaknya pun aku jadi familiar, meskipun belum ketemu langsung.
Suara bapaknya yang terdengar berwibawa awal-awalnya membuat jantung berdegup lebih kencang.
“Halo, Pak. Bisa bicara dengan Vita. Saya temannya…”
“Dari siapa?”
“Kenut, Pak.”
“Ya, sebentar ya.”
Terdengar seruan lelaki yang tadi angkat di telepon, “Vita, ada telepon dari temanmu…”
Lalu, .., suara Vita terdengar di ujung telepon. Aduhai… Maka, dimulailah percakapan-percakapan yang tak habis-habisnya. Entah, apa pun bisa menjadi bahan perbincangan di telepon. Padahal tadi di kampus tadi juga sudah bertemu dan berbincang-bincang.
Saat bercakap-cakap itu, sementara tangan kiri memegang telepon dan menempelkannya di telinga, tangan kanan bersiap memegang koin untuk memasukkannya ketika ada nada peringatan waktu akan habis. Begitu ada bunyi peringatan, tangan harus segera bergerak memasukkan koin agar pembicaraan tidak terputus. Kalau terlambat, terpaksa harus menghubungi ulang.
Enak kalau Vita lagi yang mengangkat, bisa langsung bicara, “Maaf Vita, terputus, tadi kelupaan masukin koin….”
Lalu, terdengar tawa Vita di ujung telepon.
Nah, kalau yang mengangkat telepon yang lain, terpaksa mengulang pembukaan, “Maaf, Pak (Ibu), …” untuk bicara lagi dengan Vita.
Asyiiiknya… atau bagi yang lain, konyolnya… aku bisa berjam-jam ngobrol di telepon dengan Vita. Tak pernah kudengar ada teguran untuk Vita karena berlama-lama di telepon. Tapi, ia juga sih. Berapa lama pun aku nelepon Vita, kan tak pengaruh ke tagihan telepon rumahnya. Tinggal aku yang mesti banyak-banyak stok koin.
>> BERSAMBUNG