Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (23)
Gedung BKK, Bermalam Kok Kerasan tadi. Gedungnya sudah diganti nama menjadi Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), kami masih menyebutnya BKK. Setelah perlahan namanya mulai dipopuler, kami tetap punya kepanjangan tersendiri untuk PKM, yaitu Pusat Kos Mahasiswa. Sebab, selain sebagai pusat segala aktivitas atau mungkin pergerakan, PKM tetap menjadi tempat bermalam yang murah, bahkan gratis lagi asyik bagi kami.
***
Pitha yang baik,
Aku bukanlah seorang selalu optimistis, bersemangat, dan penuh keyakinan memasuki gelanggang juang. Tidak, Pitha. Sedari dulu, mungkin engkau ingat, aku hanyalah seorang pemurung, penyendiri, bahkan cenderung lembek untuk melawan kepongahan orang-orang yang punya duit dan kuasa. Aku lebih sering apatis, tidak pedulian, dan tidak berdaya menghadapi ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang kemungkinan sering menempatkan aku sebagai salah satu korbannya. Aku bukan orator hebat, pemimpin mahasiswa, atau seorang yang dielu-elukan kehadirannya dalam suatu event.
Tapi, izinkan aku menuliskan, menceritakan kepadamu, dan menjadi saksi dari sebuah gelombang besar revolusi yang menjungkirbalikkan segala sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Tidak untuk sekadar bernostalgia, tetapi lebih untuk mengekalkan ingatan dan mungkin bisa untuk mengambil nilai-nilai penting dari sebuah perjuangan anak bangsa dalam menjaga jalannya roda pemerintahan agar tetap setia pada cita-cita menyejahterakan rakyat banyak. Gerakan mahasiswa 1990-an yang mencapai puncak pada lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 mengusung enam tuntutan Reformasi: Adili Soeharto dan Pengikutnya, Amandemen UUD 1945, Otonomi Daerah Seluas-luasnya, Hapus Dwifungsi ABRI, Hapus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), serta Tegakkan Supremasi Hukum. Sukses! Mahasiswa yang mahasiswa. Mereka kembali ke kampus menjadi mahasiswa baik-baik setelah perjuangan mereka mencapai sebuah titik pencapaian.
Era itu sudah berlalu. Kini, setelah 25 tahun berlalu, yang tampak adalah bagaimana orang-orang mulai melupakannya, bahkan cenderung mengkhianati perjuangan itu. Satu-satunya kemewahan yang diperoleh dari Reformasi yang masih kita nikmati adalah kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers. Yang lain, penegakan hukum masih karut-marut. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang, tetapi malah semakin hari semakin meluas dan melibatkan banyak pihak.
Aha, itu di luar kehendak mahasiswa. Selalu ada saja yang menelikung dan mengambil keuntungan sendiri dari sebuah perjuangan.
Tapi tidak, Pitha. Aku tak hendak menceritakan apa yang terjadi kini. Zaman sudah berbeda.
Sebelum lebih jauh, aku mau ceritakan sedikit bagaimana awal mulanya aku terlibat dalam pergerakan mahasiswa itu. Ah, aku bukan tokoh utama dalam perjuangan mahasiswa itu. Aku hanya sekerup kecil saja dari sebuah kendaraan dalam mobilitas perjalanan menuju sebuah atau beberapa tujuan yang hendak dituju. Tapi, rasanya cukup bagiku untuk bertindak sebagai pencerita dari peristiwa demi peristiwa yang setidaknya dalam perasaanku perlu aku tuturkan.
Ya, kisah-kisah yang mungkin herois, dramatis, dan nostalgis ketika kita muda dengan segala bentuk pencarian diri tentang eksistensi, hakikat kemanusiaan, dan tentu perasaan cinta dalam segala aspek kehidupan.
***
Selepas SMA dan menjadi mahasiswa, aku memasuki sebuah suasana kampus yang tidak serbasalah, serbarikuh, dan serbadilema. Di satu sisi aku — seperti juga mahasiswa lain — belajar tentang politik, kekuasaan, perubahan sosial, revolusi, menetapkan target dan tujuan, berorganisasi, memanajemeni, mempengaruhi, menggerakkan, mengevalusi, dan seterusnya konsep-konsep tentang masyarakat, negara, dan bangsa. Namun, pada saat yang sama, aku (kami) dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa mahasiswa (sivitas akademika) dilarang berpolitik praktis. Dilarang berpolitik praktis itu bermakna mahaluas, yang pada intinya meminta kita menjadi sebaik-baiknya mahasiswa: belajar tekun, makan yang banyak dan bergizi, jangan banyak nongkrong, pulang ke kosan kalau tidak ada jam kuliah, beraktivitas yang ‘positif’ dalam kampus, tak banyak tingkah, tidak boleh mengkritik pemerintah, jangan suka protes, apalagi turun ke jalan mendemo ketidakadilan, kesemena-menaan, dan membela kebenaran.
Perasaan dan pikiran yang sebelum ini baik-baik saja karena menerima informasi yang bagus-bagus dari pihak yang berkuasa mulai terganggu oleh kenyataan-kenyataan buruk yang terjadi di balik apa yang tampak di permukaan dari peristiwa-peristiwa yang disebut-sebut sebagai pembangunan, kemajuan, dan modernisasi. Mata kita mulai terbuka akan perilaku serakah, hasrat berkuasa, dan tindakan sewenang-senang dari sebagian kecil dari komponen negeri yang tengah beruang dan memegang tampuk kekuasaan.
>> BERSAMBUNG