Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (21)


AKU agak risih juga menceritakan padamu bagaimana aku menjalin kasih dengan seorang Vitalita Dania. Tapi, pada pokoknya aku menjalani statusku sebagai mahasiswa dengan sepenuhnya riang-gembira. Kuliah seadanya dan lebih sering bolos atau kalaupun ikut kuliah, lebih sering tidur saat dosen menjelaskan materinya. Aku pun bersemangat ingin mengubah wajah dunia dengan segudang aktivitas . Bayang pun aku aku ikut semua varian gerakan mahasiswa: pers mahasiswa, kelompok studi, dan parlemen jalanan . Dan, satu hal yang paling urgen, aku tak boleh lupa dan tetap harus menjaga Vitaku sayang. Hahai…
Benar, aku menikmati benar dunia kemahasiswaan yang digambarkan Soe Hok-Gie sebagai “Buku, Pesta, dan Cinta”.
Pitha yang baik,
Aku tahu engkau juga mestilah paham sedikit-banyaknya bagaimana dinamika gerakan mahasiswa 1990-an. Kita kan satu kampus, meskipun berbeda fakultas. Engkau malah kakak tingkatku. Hahaa… Aku mohon maaf jika aku kini agak serius bicara gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa ini kan gerakan cinta juga. Gerakan cinta pada bangsa, negara, dan tanah air Indonesia.
Tidak seperti materi Penataran P4 yang semuanya bagus dan baik-baik saja, dalam kenyataannya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) menjadi momok bagi aktivis gerakan mahasiswa tahun 1980-an. Istilah tersebut mengacu pada kebijakan keras rezim Presiden Soeharto pada tahun 1978 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membungkam suara kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan kebijakan pemerintah saat itu.
NKK/BKK adalah kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang mahasiswa terjun ke dalam politik praktis. Tapi, ganti menteri ganti pula kebijakan tentang kemahasiswaan di perguruan tinggi di Indonesia. Dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dibentuklah organisasi kemahasiswaan pada tingkat perguruan tinggi bernama senat mahasiswa perguruan tinggi (SMPT) menggantikan NKK/BKK. Meskipun berganti nama, tetap saja isinya pengekangan terhadap daya kritis mahasiswa.
Sebelum era NKK/BKK, simbol institusi perlawanan mahasiswa saat itu adalah Dewan Mahasiswa (Dema), organisasi intrakampus yang berkembang di semua kampus. Karena Dewan Mahasiswa menjadi pelopor gerakan mahasiswa dalam menolak pencalonan Soeharto pascapemilu 1977, kampus dianggap tidak normal saat itu dan dirasa perlu untuk dinormalkan.
Jadi, berdasarkan beleid terbaru ini, tahun 1990 itu di kampus kita, Universitas Lampung (Unila) dibentuklah SMPT Unila. Inilah lembaga mahasiswa bentukan rezim Orde Baru. Tapi, waktu itu aku masih terlalu awam untuk ikut-ikutan SMPT, Senat Mahasisa Fakultas (SMF), Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), Himpunan Mahasiswa Jurusan, dan lain-lain. Maka, tidak satu pun aku aktif di organisasi intrakampus itu, kecuali di pers mahasiswa.
Tapi, pers mahasiswa dan FISIP (kepanjangannya sering diplesetkan menjadi Fakultas Ilmu Santet dan Ilmu Pelet, hehee….) justru ‘menyeret’-ku dalam berbagai bentuk pergumulan aktivitas kemahasiswaan. Di kalangan mahasiswa–dan tentu saja di pers mahasiswa sendiri–gerakan mahasiswa disikapi dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang patuh dengan anjuran ‘mahasiswa tidak boleh berpolitik’, yang penting belajar baik-baik saja, biar cepat lulus, cepat kerja, dan…. cepat dapat jodoh. Ada yang bersikap ambigu, tidak jelas apa maunya. Ada juga yang tetap berlaku ‘gila-gilaan’ dalam menghayati keberadaan mahasiswa sebagai intelektual muda, penjaga moral bangsa, garda terdepan perubahan (agent of change, yang kalau keterusan menjadi agent of chengeng. Hehee…), dan seterusnya.
***
“Bagaimana dengan sepotong pena, kita merebut kekuasaan,” itu kata-kata kita yang baru saja diajari konsep politik. Itu masih mending, ada yang lebih parah, “Bagaimana dengan sehelai daun, kita melakukan revolusi.” Gombal betul-betul gombal mahasiswa awal tahun 1990-an. Tapi, biar gombal, kami juga romantis. Aku, seperti juga beberapa mahasiswa yang aku ketahui, suka puisi dan menulis sajak-sajak.
Nanti, akan aku ceritakan bagaimana bahaya atau malah sialnya kalau tahu dan ikut pula menulis puisi.
>> BERSAMBUNG
