Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (17)


KESEMPATAN pertama di hari pertama untuk menyapamu lewat begitu saja, Pitha. Hari kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai setahun kita sekelas. Entah, aku tidak ingat apakah kita bertegur sapa, bicara atau apa pun. Kita lebih banyak hanya bicara lewat tatapan mata atau lebih tepatnya komunikasi batin saja. Sesekali bertukar senyum atau malah manyun saja. Sama-sama tertawa bersama teman sekelas kalau ada yang lucu. Tak ada kata atau ledekan yang langsung engkau tujukan kepadaku atau sebaliknya aku omong langsung denganmu. Kita seolah tak saling mengenal. Kita asing satu sama yang lain. Tak ada upaya untuk mendekat atau berdekat-dekatan. Di kelas, kita duduk berjauhan. Aku di pinggir kanan, engkau di seberang jauh di kiri. Aku merasa engkau memang sengaja menjauh dariku. Tapi, yang namanya perasaan, bisa saja salah.
Tentu saja aku tetap tak menyalahkanmu. Masalah itu datang dari diriku sendiri. Aku tak punya kepercayaan diri untuk berakrab-akrab denganmu. Kata teman-teman, engkau sombong. Tapi, setengah mati aku akan membelamu jika ada yang bilang begitu dengan mengatakan Pitha orangnya baik.
Ya, Pitha. Bagiku engkau tetap terbaik, termanis, ter… segalanya dari semua gadis yang pernah aku temui. Engkau sempurna. Saking sempurnanya, aku bisa menyentuhmu, tak sanggup mendekatimu, apatah lagi hendak memilikimu. Aku frustasi. Aku patah hati sebelum tahu apa sebenarnya isi hatimu. Hahaa… Konyol memang ini, bagaimana hatimu aku tahu kalau aku tak pernah mengatakannya. Jangankan mengatakannya, mendekati, mengakrabkan diri atau menunjukkan kepedulian padamu pun tidak.
Ah, bicara hati, membuatku jadi senewen. Aku cerita yang lain saja. Tapi, sedikit saja tambahan tentangmu, tentang kita. Aku ringkas saja. Naik kelas 2 lalu kelas 3 SMA, meski berbeda jurusan, kita masih bertemu sesekali. Di kelas 2, pagi-pagi aku suka menunggumu lewat di depan kelasku menuju kelasmu yang untuk ke sana mesti melewati kelasku. Ya, sekadar melihatmu. Tak ada tegur-sapa. Bersitatap saja sejenak, lalu sama-sama membuang tatapan seolah tak menampak satu sama lain. Kita selalu saja bicara lewat batin.
Selepas SMA, dalam sebuah kursus yang aku ikuti, ternyata engkau juga ikut juga. Tapi, kelas berbeda. Entah, kok kita selalu dipertemukan. Demikian pula, saat kuliah kita beberapa kali bersua. Bahkan, ketika engkau sudah bekerja dan aku mengunjungi tempatmu bekerja untuk suatu urusan, kita berulang bersua. Berulang-ulang dengan peristiwa yang nyaris sama. Bertemu, bertatap-tatapan, saling membuang tatapan, tak ada kata yang keluar, bahkan nyaris tak ada senyum.
Ya, pertemuan dua orang asing yang sebenarnya saling mengenal. Seperti ada jurang menganga dalam perjumpaan kita itu. Sumpah… tak ada persoalan di antara kita. Tak ada benci atau dendam antara aku dan kau. Hanya kalau tak menemuimu, aku suka diam-diam mencarimu. Ya, mencari dalam diam berharap keajaiban akan bersua denganmu di mana saja.
Harapanku toh bukan sesuatu yang hampa. Sebab, senyatanya kita berulang-ulang dipersuakan dalam berbagai kesempatan. Berkali-kali tanpa pernah aku sangka-sangka. Aku pikir kita jodoh. Tapi, … kok setiap kali ketemu kok malah sediam-diaman saja. Ya, jodoh yang dekat jadi menjauh.
Aneh! Tapi, demikianlah adanya.
Ya, sudahlah. Aku mau menutup cerita tentang kita. Tapi, izinkan saya hendak mengisahkan yang lain. Semoga engkau tak bosan membacanya.
Tak tahu kenapa, sekali menulis surat kok banyak sekali yang ingin aku tuangkan dalam lembar-lembar surat. Cerita saja yang lama tersimpan, Pitha. Kata orang, kisah cinta, kisah tentang manusia, kisah tentang kehidupan, kisah tentang seseorang memperjuangkan kehidupan selalu menarik. Jadi, aku teruskan suratku ya Pitha.
***
Tentang Nafsiah, dia bersekolah di SMA lain di Kota Ini. Aku tak pernah bertemu dengan dia selama ini…
>> BERSAMBUNG
