Angkot
Cerpen Tri Purna Jaya
AKHIRNYA jalan juga angkot ini, kataku dalam hati. Memang angkot-angkot di sini cukup sering membuat para penumpangnya kesal. Ngetem-nya lama, seperti beberapa saat tadi. Bayangkan, hampir tigapuluh menit aku dan beberapa penumpang yang lain dilatih ilmu sabar. Belum lagi bunyi musik disko ajeb-ajeb yang tidak karuan dan begitu keras menggedor-gedor telinga.
Sudah jadi ciri khas angkot-angkot di kota ini, musik dan sound sistem yang tidak kalah dengan festival-festival musik serta mental mengemudi yang tidak kalah berani dengan pembalap-pembalap formula satu. Bahkan, seharusnya band-band yang populer sekarang seperti Kangen Band, Armada, Wali, dan band lainnya mengucapkan terima kasih yang besar kepada angkot-angkot di kota ini karena turut membesarkan nama mereka di kota ini, dengan setiap hari dan setiap saat selalu memutar lagu-lagu mereka.
Bahkan mungkin para pengemudi angkot di Ibu Kota negeri ini pun akan merasa minder kalau mereka mampir ke sini. Spesifikasi standar mobil-mobil di film The Fast and The Furious, akan membuat mereka geleng-geleng kepala dan mengurut dada. Mungkin juga suatu saat nanti, ada produser film yang akan membuat lanjutan film dengan judul “The Fast and The Furious VI: The Magnificent Angkot Strikes Back!”
Satu lagi, cuaca kota ini yang selalu panas membuat angkot yang kutumpangi sudah seperti oven beroda. Panas!
Ah sudahlah, yang penting angkot yang kutumpangi ini sudah jalan.
Kubuka jendela yang tepat dibelakangku, ahh…segarnya angin yang berhembus mengeringkan keringat di dahi dan ketiakku, tapi kesegaran itu hanya berlangsung beberapa menit saja dengan seorang mahasiswi berparas manis mendelikkan matanya yang bagus kepadaku, seakan-akan mengatakan ”Mas, tutup sedikit dong jendelanya”, rupanya ia merasa terganggu dengan angin yang begitu sejuk masuk, mungkin angin yang sejuk itu mengusili rambutnya yang tadinya hitam panjang rapi terurai menjadi sedikit berantakan.
Tegurannya membuatku sadar, kuedarkan pandangan di dalam angkot. Wajah-wajah lelah dan berkeringat yang asyik dengan pikiran-pikirannya sendiri. Kuhitung, 1, 2, 5, 6, ada enam penumpang, tujuh termasuk aku. Di belakang supir pada deretan bangku di depanku kulihat seorang perempuan berjilbab yang sibuk menutup hidung dan memandang sinis kepada kernet angkot yang sedang merokok dan menghembuskan asapnya dengan seenak udelnya sendiri. Mungkin ia merasa terganggu juga seperti mahasiswi berparas manis yang mendelikkan matanya kepadaku itu, tidak suka dengan asap rokok bahkan mungkin mau muntah. Untungnya aku sedang tidak merokok, bisa-bisa aku juga dipandangi dengan sinis pula oleh gadis berjilbab itu.
Bicara tentang rokok, aku jadi ingat perdebatanku yang seru dengan temanku seorang anak Fakultas Kedokteran. Ia tidak merokok. Ia menyarankan dengan sedikit memaksa agar aku berhenti merokok, menurutnya satu batang rokok mengambil lima menit waktu kita di dunia, menimbulkan polusi, baunya tidak enak, dan bla bla bala, dan bla bla bla. Wah, aku tidak terima dong dijadikan seolah-olah aku adalah tokoh antagonisnya. Dengan mata mengernyit aku membalas, kalau dengan merokok walaupun hanya satu batang, aku bisa memberi hidup buruh-buruh perusahaan rokok beserta anak-anaknya selama satu hari dan juga aku turut membayar pajak negara yang tidak sedikit dan bla bla bala dan bla bla bla.
Ais! Sudahlah berbicara tentang rokok, tak akan ada habisnya.
Kuedarkan kembali pandanganku, tepat di depanku di deretan bangku gadis berjilbab yang sedang sibuk mempertahankan dinding kesehatannya itu, duduk dengan salah tingkah seorang mahasiswi berparas manis yang tadi mendelikkan matanya kepadaku. Waw! Ternyata kalau diperhatikan dengan seksama mahasisiwi itu cantik juga, di atas rata-rata malah, tidak kalah cantik dengan artis-artis sinetron sekarang. Dan apa yang paling membuat ia menarik? Dadanya! Dengan balutan baju yang bukan ukuran tubuh orang dewasa, ketat, mencetak lekuk-lekuk tubuhnya semakin jelas, terutama di bagian dadanya.
Hohoho, jangan mencap aku mesum dahulu. Aku tidak naif, aku adalah seorang laki-laki muda yang masih normal, punya hasrat dan gairah. Aku masih tertarik dengan ’pemandangan indah’ seperti itu, bahkan Pak Haji di sebelah kiriku pun kulihat sering curi-curi pandang ke ’bagian’ mahasiswi itu. Mungkin dalam hatinya berkata, ”Aduh neng, coba bapak masih punya tanah untuk dijual. Pasti bapak jual untuk melamar neng jadi istri ke lima bapak”. Hahaha, aku tertawa sendiri dalam hati.
Kadang-kadang aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apa tidak sesak memakai baju yang ketat seperti itu? Sedang aku sendiri yang melihatnya merasa sesak. Terutama di bagian celana yang tiba-tiba saja terasa sempit bila melihat yang seperti itu. Hohoho, sekali lagi, jangan terburu-buru mengambil kesimpulan kalau aku cabul. Ini hanya pikiran seorang laki-laki melihat lawan jenisnya. Bukan bermaksud untuk menyalahkan kalian para perempuan. Tapi, tidakkah kalian tahu? Betapa tersiksanya kami para lelaki, saat ’adik kecil’ dan juga kami, terjepit dalam dua kondisi antara logika dan nafsu. Betapa merepotkan memiliki penis, yang sangat peka akan rangsangan. Aku tahu itu, karena setiap lelaki sama. Entah dia itu ustadz, pelajar unggulan, tukang ikan, ataupun eksekutif muda sekalipun.
Ah, kelamin. Terlalu pelik untuk dinalar. Sudahlah bicara tentang itu.
Lalu di bangku deretanku dekat pintu masuk di sebelah kiri Pak Haji yang mungkin sedang khilaf itu, seorang anak kecil berpeci hitam yang kebesaran, baju kotor. Kira-kira berumur sekitar sepuluh atau duabelas tahun. Dipangkuannya, sebuah kotak amal yang biasa beredar dari shaf-shaf jamaah ketika sholat Jum’at. Di bagian depannya tertempel secarik kertas keterangan. Tak terbaca jelas tulisannya. Kuperhatikan gadis berjilbab di belakang bangku sopir itu sering memandang dengan pandangan iba. Tapi hanya iba saja. Tak kulihat ia memberikan uang untuk dimasukkan melalui lubang yang ada di bagian atas kotak tersebut.
Di kota asalku banyak sekali yang seperti anak kecil itu, bahkan bukan hanya anak kecil saja tetapi juga bahkan ibu-ibu ataupun anak-anak muda. Terus terang, aku jarang memberikan sumbangan. Bukannya aku pelit atau apa, tapi aku rada-rada tidak percaya uang sumbangan tersebut akan disampaikan ke tempat yang tertulis di kertas keterangan itu. Apakah benar-benar ada tempat tersebut? Karena aku pernah melihat mereka -para peminta sumbangan dengan kotak amal itu, sedang berkumpul di bawah jalan layang. Ada seorang berperawakan menyeramkan sedang berbicara di depan mereka. Aku tahu ia, seorang preman yang terkenal ganas di kawasan itu. Tampang mereka terlihat pucat saat preman tersebut membentak memerintahkan agar mereka berkumpul lagi di tempat itu sore harinya.
Jadi aku pun tak memberikan uang sumbangan kepada anak kecil tersebut, karena aku yakin bahwa di kota ini pun situasinya sama dengan kota asalku. Pasti ada yang mengkoordinir mereka. Mungkin preman juga atau siapapun yang aku tak tahu.
Sebenarnya aku merasa kasihan kepada anak kecil itu. Masih kecil, bukan sekolah malah dieksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingannya sendiri. Kejam. Tapi mau bagaimana lagi, kehidupan harus terus berjalan. Seperti kata temanku, ”Tidak usah heran, ini biasa terjadi di kota-kota besar. Kita seakan-akan kembali lagi ke dalam hutan, yang kuat akan menang atas yang lemah”.
Kembali kuedarkan pandang melihat penumpang lain di dalam angkot yang sedang kutumpangi ini. Di deretan bangku di depanku tepat di sebelah kanan mahasiswi berbadan sintal tadi, diantara tumpukan kardus-kardus mie instan dan plastik-plastik berisi chiki, seorang ibu-ibu setengah baya duduk bersandar sambil memegangi kantong-kantong plastik lain. Banyak sekali barang bawaannya. Mungkin ia habis berbelanja untuk kebutuhan jualannya. Terlihat kerepotan. Apalagi saat angkot ini mengerem tiba-tiba, barang-barang bawaannya tersebut berjatuhan. Dengan sedikit menggerutu ia memunguti yang berjatuhan.
”Taruh di pojok aja Bu”, kata kernet angkot. Aku sependapat dengan kernet itu. Lalu kubantu ibu tersebut memindahkan barang-barangnya ke pojok belakang. Melihat ibu yang kerepotan dengan barang-barangnya tersebut membuat aku teringat dengan ibuku sendiri di rumah. Mungkin seumuran dengan ibu tersebut. Ibuku yang sangat menggemari dangdut dan Rhoma Irama. Ibuku yang sangat sayang kepadaku, hingga merelakan jam tidurnya terpotong begitu banyak untuk mencari uang membantu ayahku. Sejak dini hari berangkat ke pasar untuk berjualan sayurmayur. Hasilnya lumayan untuk membantu perekonomian keluarga, karena penghasilan ayahku yang hanya seorang buruh pabrik biasa, tidaklah mencukupi untuk menghidupi tiga orang anak. Aku yang anak pertama, sedang kuliah di kota ini. Adikku yang pertama masih SMA dan yang bungsu masih SMP. Beruntung kami masuk sekolah negeri semua, jadi biaya lebih murah.
Kadang aku merasa menyesal karena kuliah, aku ingin bekerja untuk membantu mereka. Tapi ayahku memaksaku untuk kuliah. Ia ingin ada keturunannya yang berpendidikan lebih tinggi dari dia yang hanya lulusan SMP. Dan sekarang aku tidak yakin dapat membalas semua pengorbanan mereka. ”Sudah, kamu belajar saja yang rajin. Soal biaya jangan khawatir, Ayah dan Ibu masih bisa membiayai kamu”, ujar mereka ketika pada suatu kali aku mengutarakan keinginanku untuk berhenti kuliah. Oh, aku semakin menyesal dengan keberadaanku di sini yang menyusahkan mereka.
Penumpang yang lain yang belum kusebutkan adalah seorang gadis SMA berwajah cukup manis berambut lurus sebahu dengan tahi lalat menghias pipinya yang sedang asyik bermain dengan ponselnya, masih di deretan bangku di depanku. Di sebelah kanan ibu-ibu yang kerepotan dengan barang-barangnya tadi. Mungkin ia sedang sms-an dengan temannya atau kekasihnya atau juga sedang bermain game atau juga hanya memamerkan ponselnya yang termasuk ponsel high end, entahlah. Toh semua orang punya kepentingan masing-masing, aku tak mau mencampuri.
Tapi, kalau kuperhatikan, ternyata di deretan bangku di depanku yang mengisi adalah perempuan semua. Ini menimbulkan tanda tanya dalam hatiku. Kenapa mereka tidak mau bergabung dengan laki-laki di depan mereka. Kalau aku sih ingin mahasiswi berbadan sintal tersebut yang berada di sampingku. Hahahaha, lumayanlah bisa bersentuh-sentuhan sedikit. Hahaha. Tapi memang, orang cenderung untuk bergabung dengan orang yang ’sama’ dengan mereka. Apakah itu jenis kelamin, hobi, status, atau apapun yang mempunyai kesamaan dengan mereka, sehingga mau tidak mau akan tercipta jarak dengan yang lain, akan menimbulkan kesenjangan menurut anggapanku.
Dan kesenjangan pada masa sekarang memang semakin terlihat kentara. Yang kaya dengan yang kaya, yang miskin dengan yang miskin. Contoh, di kota asalku, ada perkampungan kumuh yang berada tepat di belakang sebuah komplek perumahan mewah. Aku pernah tinggal beberapa lama di perkampungan kumuh tersebut, di rumah seorang temanku. Dan kalau kuingat-ingat, jarang sekali penghuni perumahan mewah tersebut main atau berinteraksi dengan penghuni perkampungan kumuh tersebut. Apa tak pernah terlintas di benak mereka -penghuni perumahan mewah itu, untuk sekedar bermain dan membagi sedikit keceriaan dengan orang-orang miskin yang tinggal di belakang mereka.
Ini diperparah lagi oleh media-media massa, televisi atau radio. Bukan bermaksud sarkastik, tetapi memang kalau benar-benar diperhatikan, gaya hidup hedonis atau bahkan narsis saja yang selalu ditayangkan, dalam sinetron-sinetron atau siaran-siaran radio sekarang contohnya. Semua hanya self pleasures oriented saja. Tapi yah, seperti kataku tadi. Semua orang punya kepentingan masing-masing.
Oh ya, dan satu penumpang yang lain adalah aku, di pojok belakang di antara tumpukan-tumpukan kardus milik ibu tadi yang sedang seenak jidatnya menganalisis orang-orang di dalam angkot ini dan segala permasalahan dunia serta menghabiskan uang yang sudah dikumpulkan dengan susah payah oleh kedua orang tuanya tanpa sedikit pun memikirkan dirinya sendiri. []