Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (18)
KETIKA sedang ngobrol-ngobrol dengan Eva Yuri, teman kos, tiba-tiba saja ia bercerita tentang Nafsiah.
“Ada salam dari Nafsiah,” kata Eva.
“Waalaikum salam,” jawabku sekenanya.
“Nafsiah bilang, dia mau jadi pacarmu,” kata Eva Yuri tanda basa-basi.
“Apa iya dia bilang begitu,” tanyaku.
“Iyalah, masa saya bohong,” sahut Eva.
Hahaa… Aku tertawa. Ya, aku tahu sejak awal, Nafsiah memang menaruh hati padaku. Dan, itu ia tampakkan dari ucapan dan sikapnya padaku sejak masih SMP dulu. Aku pun menjadi terbayang dengan sosok Nafsiah yang selalu mencariku, berbicara dengan sikap manja, dan banyak tingkah untuk berupaya mendapat perhatian dariku. Sebenarnya bisa saja aku bisa saja menyambut perhatiannya itu dengan sikap serupa. Toh, Nafsiah sendiri yang bercerita ke orang-orang bahwa aku ini pacarnya. Sampai-sampai ketika aku bertemu abangnya, abangnya pun berkata bahwa Nafsiah penuh semangat menceritakan diriku dan kehendaknya atas diriku. Aku sampai bingung, memang apa yang telah kukatakan pada Nafsiah sehingga ia seolah punya angan tersendiri tentangku. Rasanya tak ada. Aku menganggapnya biasa saja, sama dengan teman-teman yang lain. Kalau aku membantunya, sama juga aku membantu yang lainnya. Tak ada yang spesial.
Dan kini, Nafsiah berterus terang padaku mengenai keinginannya, meskipun melalui temanku juga Eva Yuri. Apa yang harus kulakukan. Haruskah kusambut tali kasih yang Nafsiah ulurkan? Mestinya iya. Tak ada yang salah dari tawarannya. Toh, memang sudah saatnya aku (dan dia) mulai memikirkan hubungan spesial antara lelaki dan wanita. Itu yang juga terjadi pada umumnya teman-temanku.
Tapi, aku… aku bukan orang yang suka mempermainkan hati cewek. Aku tak sanggup mengikat janji dengan Nafsiah. Bukan karena Nafsiah tak cantik. Bukan pula karena Nafsiah tak baik. Bukan. Nafsiah manis, Nafsiah juga baik. Aku saja yang tak bisa. Ah, sulit aku jelaskan. Maafkan aku, Nafsiah.
***
Pitha yang baik,
Amppun! Aku minta maaf padamu karena mulai lebih banyak bercerita mengenai diriku sendiri. Ya, mau bagaimana lagi, meskipun tidak sebentar dan tidak juga mudah, secara perlahan sosok dirimu semakin baur, tambah mengecil, dan hilang dari anganku. Tapi, tidak… engkau tak pernah benar-benar sirna dari ingatanku. Dirinya tetap tersimpan di dalam ceruk terdalam di kalbuku.
Tapi, tak mungkin pula setiap saat aku hanya menyebut-nyebut namamu.
Karena itu, itu aku lanjutkan ceritaku. Karena ini judulnya “Surat Cinta” dan karena aku laki-laki, maka tak mungkinlah aku cerita-cerita tentang teman-teman laki-laki. Ya, masa pula aku tertarik dengan lelaki. Hahaa…
“Ganteng!” kata teman sekelas kita memuji saat melihat fotoku.
Aku tertawa. Mana pula aku suka dengan pujian itu. Sebab, yang memuji itu lelaki. Coba kalau yang bilang itu Pitha atau cewek, tentu akan lain. Hiks…
Berdasarkan survei, hahaa… penilaian selintas teman-teman, lalu kusimpulkan sendiri, aku memang tak ganteng-ganteng amat, tetapi tidak pula terlalu buruk. Jadi, sewajarnya jika aku punya pacar dua atau tiga gitu.
Stt, cuma intermezo. Jangan terlalu serius. Sebab, nyatanya aku tak punya pacar walau sebiji. Kadang iri juga dengan teman yang punya kekasih yang setia. Tapi, apa pula modalku?
Eeitt, nanti dulu. Meskipun hanya perasaanku saja, katakan aku kege-eran, aku tahu merasa ada cewek saja yang punya perhatian denganku. Ya, tak tahu juga sih yang sebenarnya karena memang tidak berupaya cari tahu. Tapi, aku sih cuek-cuek saja.
Beberapa kali aku berkunjung ke tempat cewek teman sekelas. Alasannya, mau pinjam buku atau si cewek minta diajari mengerjakan soal pelajaran tertentu yang aku bisa. Tapi, aku tak peka. Aku terlalu lugu untuk mengerti semua itu. Aku menganggap semua itu sebagai hal yang memang harus aku jalani sebagai pelajar. Tanpa berpikir dan tanpa punya perasaan lain-lain. Ya, belajar saja, meski aku tak pula jadi pintar. Berteman saja, meskipun aku tak pula lalu menjadi seseorang yang tak bisa dilupakan sama si teman.
Ah, bagian ini aku persingkat saja. Di Kota Ini aku kos. Berangkat dan pulang sekolah setiap hari kecuali hari Minggu, belajar di ruang kelas, dan sering nongkrong di kantin sekolah, ke perpustakaan, atau di depan kelas. Berteman dengan sesama siswa, di kosan, dan warga sekitar. Belajar, membaca buku, terutama novel dan komik, beraktivitas dan mengerjakan yang lain-lain, termasuk mengisi bak mandi dengan pompa air, nonton film, televisi atau dangdutan, mendengarkan musik, sinetron, dan sandiwara radio. Ngobrol-ngobrol, kadang bersitegang, dan kadang terbahak bersama. Sesekali bertualang ke alam bebas. Ya, semua berjalan sewajarnya sebagai pelajar, sebagai anak kos, dan sebagai remaja kebanyakan.
Cerita semasa SMA aku rampungkan saja. Tidak ada yang istimewa. Setelah ini aku mau berkisah tentang kejadian-kejadian luar biasa yang menimpa diriku dalam memperjuangkan cinta dan jatuh bangunnya aku mengejar asmara. Hahai…
Percayalah, Pitha, ceritaku masih akan lebih menarik lagi.
>> BERSAMBUNG