Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (16)
DENGAN langkah tak terlalu yakin, aku mengarahkan kaki ke sebuah ruang kelas sesuai denah gedung-gedung yang menempel di samping pengumuman siswa baru yang diterima di sebuah SMAN Favorit di Kota Ini. Langkah ragu, lugu, dan juga culun seorang anak dari pedalaman nun jauh di paling ujung wilayah provinsi. Sebelum resmi menjadi siswa SMA ini, aku dan yang lainnya mesti mengikuti Penataran P4, memahami wawasan wiyata mandala, pengenalan lingkungan dan organisasi intrasekolah.
Senin ini hari pertama penataran P4. Siswa baru, teman baru, guru baru, sekolah baru, dan suasana baru membuatku harus pula menyesuaikan diri. Karena itu, aku berangkat pagi-pagi. Tapi, tetap saja ada yang lebih pagi sampai di sekolah. Beriringan jalan dari depan gerbang sekolah, tak seorang aku kenal. Begitu pula, melewati beberapa siswa, tak ada yang aku kenal. Melewati jalan menuju ruang yang menjadi tempatku dan teman sekelas mengikuti Penataran P4, semua asing. Aku tak mengenal mereka dan aku juga tak dikenal mereka. Repotnya, aku juga bukan seorang yang mudah bergaul, memulai memperkenalkan diri, dan berakrab-akrab dengan teman yang baru. Tapi, tak urung aku tahu juga beberapa nama mereka. Tapi, tetap saja ada ganjalan bagiku untuk lebih terbuka pada mereka. Ceritaku tentang ladang, kebun, hutan, sungai, lembah, bukit, gunung, ngarai atau segala jenis tumbuhan dan binatang di tempat kelahiranku apa menarik bagi mereka, orang-orang kota. Setekut, nyambai, kejebus, segata, nayuh, dan segala jenis tradisi orang nun pegunungan Bukit Barisan sana, apa bagusnya bagi siswa kota.
Aku minder sangat ternyata berada di antara orang-orang kota ini. Dan, aku pun bertambah minder manakala aku memperkenalkan diri dan menyebut asal SMP-ku, malah diledek seorang siswa, “Apa… SMP 2? Kayaknya gak kenal deh.”
Omongan orang ini disambut tertawa keras hampir semua siswa sekelas, tak terkecuali guru di depan kelas.
SMPN 2 adalah SMP terbaik dan karena itu terfavorit di Kota Ini.
Mukaku pun merah mungkin karena malu.
“Bukan… ” sahutku sambil memandang dengan sorot mata tajam kepada sosok tengil yang meremehkanku itu. Lalu, aku mengulang menyebut nama SMP kita. Aku tak yakin ada yang tahu di mana letak SMP kita itu.
Ehh… melalui ekor mataku, aku menyaksikan seorang siswi di seberang agak jauh dari tempatku berdiri di depan kelas atau tempat dudukku. Gadis ini ikut tertawa. Bikin kesal saja. Mana dia manis pula. Sialan betul.
Mundur sedikit ke awal sebelum masuk kelas tadi, aku telah menandai sosok yang satu ini. Gayanya, cara bicaranya, senyumnya, ketawanya… semuanya. Aku kenal dan aku hapal benar. Dan, dia… dia… masa tak kenal denganku?
Masya Allah, Pitha. Kita dipertemukan lagi. Teman sebangku di SD, kini sekelas di SMA. Tadi, waktu pertama engkau datang dan kulihat dari tempat dudukku engkau masuk kelas, ingin rasanya kuteriakkan namamu, lalu belari menyambutmu dan menyapamu.
Tapi semuanya tak kulakukan. Aku hanya diam. Terpana. Entah, apa yang terjadi padaku saat itu, aku tak mengerti.
Mata kita bersirobok. Lalu, engkau tersenyum. Tapi, aku tak yakin senyum itu untukku. Berharap engkau mendekat atau paling tidak mencari tempat duduk berdekatan denganku, engkau malah memilih letak yang jauh dariku.
Ah, aku menyesali diri…
>> BERSAMBUNG