Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (12)


PITHA dambaanku,
Aku merasa harapanku bisa bertemu denganmu kembali semakin kecil dan mustahil. Peristiwa demi peristiwa terus berlangsung silih berganti tak henti. Ada lahir, menjadi kanak, remaja, menikah, punya anak, lalu mati. Yang terakhir sungguh tak tentu kapan waktunya. Kalau sampai waktunya, tak seorang pun mampu merayu malaikat maut mengulur waktu itu untuk mecabut nyawanya. Tak ada perlu menunggu seorang menjadi besar, sudah menikah atau tua dulu bagi ruh melayang meninggalkan raga. Kapan saja bisa… Maka, aku pun menjadi konyol ketika ikut berteriak:
Kalau sampai waktuku
kumau tak seorang ‘kan merayu
tidak juga kau
Aku ini...
Ah, aku bukan Chairil. Aku mau wajar-wajar saja (eh, tak sengaja pula pinjam Iwan Fals, 😆) dalam menjalankan hidup ini. Ya, sudah… Sebagai anak sekolah, tugasku belajar. Kalau bosan atau lagi libur ya main. Bosan ke ladang, sawah, kebun, hutan, kali, lembah, ngarai, bukit, yang dekat-dekat, aku dan teman-teman mulai berjalan jauh ke kampung-kampung lain. Kalau malam-malam, setekut3 namanya. Aku cuma ikut-ikutan. Hanya menemani dan mendengar saja. Lalu, aku pun mencatat dalam benak bait-bait pantun dan syair rindu-dendam dari para pemuja cinta. Seolah aku yang berpantun dan bersyair itu, aku begitu meresapi bujuk-rayu di antara mereka itu. Dara-jejaka lain yang bercumbu-rayu, aku malah yang mabuk.
Bagaimana ini?
Entahlah. Setelah itu, aku tercenung sendiri. Aku kembali mengingatmu, mengenangmu, mengkhayalkanmu. Bilakah kita jumpa lagi, Pitha?
***
Sore-sore atau saat libur sekolah, kami sekawanan remaja baru gede, biasa berjalan-jalan keliling kompoi tiga hingga lima motor ke luar kita. Kadang ke desa-desa tetangga, kadang sampai ke Danau Ranau atau ke laut Krui atau ke luar kecamatan ke arah Tanjungkarang. Tidak ada yang dikunjungj. Jalan-jalan saja. Paling tidak karena itu kami bisa hapal nama-nama dusun, desa, kecamatan, dan batas-batasnya sebagaimana peta yang kami buat dengan meniru gambar yang dibuat guru kami di kelas dulu. Tanpa perlu mencocok-cocokkan antara peta dan fakta di lapangan, kami merasa gambar peta Pak Guru tepat adanya. Nama-nama lokasi, dusun, desa, sungai, bukit, gunung, dan lain-lain benar adanya. Kenyataan ini membuat kami–meskipun tidak terlalu paham bagaimana caranya–mesti bersyukur telah diberi guru yang baik sekaligus alam yang menawan.
Kami berkawan dengan riang-gembira dan juga bersahabat dengan alam dengan penuh suka-cita.
Seharusnya, aku mulai melupakanmu, Pitha. Tapi, nyatanya tak bisa. Tapi, nyatanya pula tak ada harapan bisa bertemu denganmu lagi.
Ehm, aku teruskan cerita dulu ya Pitha. Suatu hari di musim libur sekolah kami lima motor kompoi dari kota kita melewati Desa K. Entah mengapa, di sini, teman yang paling depan masuk ke jalan dalam menuju lapangan desa serupa alun-alun, memutari jalan yang mengelilingi lapangan lalu terus tancap gas ke jalan yang bercabang-cabang menuju jalan raya untuk kembali pulang ke kota kita.
Namun ketika baru saja ke luar dari jalan di lapangan, tiba-tiba melintas seorang gadis yang juga megendarai motor bebek…. Aku terkesiap. Sambil mengerem, dari belakang aku melihat punggung, pundak, telinga, rambut panjangnya, sedikit rawut wajahnya saat menoleh ke samping. Ehh, … itu Pithagiras, dirimu. Tapi, Jangan-jangan karena anganku saja, gadis di depan menjadi sesosok dirimu, Pitha. Tapi… tak salah lagi itu dirimu.
Sibuk memikirkan itu, aku tertinggal jauh di belakang si gadis. Lebih jauh lagi teman-temanku di depan yang tadi melewatinya. Merasa begitu, merasa penasaran, aku lebih kencang tariik gas untuk mempercepat putaran roda dan membuat lebih kencang laju motor yang aku kendarai.
Berhasil mendahului motor cewek. Aku potong jalur motor si gadis. Terdengar rem motor yang ditarik mendadak karena hampir saja mencium motorku bersamaan dengan pekikan suara si gadis, “Eehhh… “
>> BERSAMBUNG
3 setekut, ada juga yang menyebutnya sesiyah, tradisi pacaran ala Lampung di wilayah Lampung Barat, Pesisir Barat, dan Ranau, dilakukan malam hari ketika semua sudah tidur. Pertemuan antara jejaka dan dara dibatasi dinding atau lantai rumah panggung. Terjadilah percakapan, bujuk rayu, terkadang berbalas pantun, bertukar syair di antara dua kekasih atau calon pacar.
