Cerita Bersambung

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (11)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis

DEMIKIANLAH, Pitha, masa masa kanak dan berangkat remaja, aku tak kurang-kurang dari rasa sayang, kasih, dan cinta dari orang-orang yang mengitariku. Sungguh aku mestinya senantiasa diliputi rasa senang, gembira, dan bahagia. Nyaris tak ada sesuatu yang menjadi keinginanku– soalnya juga mauku tak terlalu aneh-aneh–yang tak terpenuhi. Dengan alam, dengan orang-orangnya, dengan apa pun yang ada di sekitarnya, aku bisa melakukan banyak hal yang bisa membuatku merasa lebih bergairah menapaki jalan yang masih akan panjang ke depan. Tak satu alasan pun yang bisa menjadikanku pesimis.

Ya, aku selalu yakin dengan diriku sendiri. Aku memiliki kenangan indah, ingatan-ingatan yang tak lekang oleh waktu, dan banyak hal yang perlu dicatat dalam benak. Aku punya angan, impian, dan harapan di masa-masa mendatang. Walau tak berlebih dan bukan juga dalam bentuk materi, aku punya segalanya.

Yang aku tak punya adalah … Hehee. .. Pacar! Ya, benar. Pacar itu, konon, seseorang yang bisa menjadi tumpuan kasih-sayang, tempat berbagi segara rasa, dapat menjadi api semangat, … Aduh, aku tak punya pengalaman mengenai hal ini.

Kalau begitu, kenapa tak kumulai saja mencari kekasih hati. Agak ge er dikit –boleh ya Pitha–ada satu-dua gadis cilik yang terang-terangan atau diam-menaruh hati padaku. Seperti Nafsiah yang aku ceritakan sebelumnya. Dan, sebaliknya, tanpa sadar telah tumbuh pula bibit sukaku pada satu-dua di antara mereka.

Eh, jangan berpikir macam-macam. Rasa suka atau ketertarikan pada lawan jenis kan sesuatu yang lumrah-lumrah saja. Apanya yang salah. Tak ada dosa selama tidak melakukan hal terlarang.

Aih, kok aku jadi kayak ustaz saja. Aku tak alim-alim amat, meskipun tak pula mau menempuh jalan sesat.

Balik ke soal pacar, di satu sisi hatiku ada dorongan untuk menyambut sinyal salah satu dari gadis-gadis itu. Atau , setidaknya, aku yang mesti menyampaikan hasrat hatiku kepada seseorang. Tak peduli apa jua sambutannya .

Dalam pada itu, aku pun terpaksa pula belajar menulis dan membalas surat cinta dari dari teman-teman, kakak-kakak kelas, atau paman-bib, tetangga, yang tinggal dekat rumah dan sekolah atau yang kos, yang aku kenal, termasuk dari buku surat-menyurat muda-mudi masa kini.

Aku tertawa mengingat hal itu dulu, Pitha. Tahu aku suka mengarang, beberapa di antara mereka memintaku menulis dan membalas surat pacar atau calon pacar mereka. Aku suka senyam-senyum, meringis atau ikut berduka mengikuti kisah dalam surat-surat cinta itu.

Dulu, aku ingin menulis untukmu, Pitha. Tapi, tak jadi-jadi juga. Tapi, dulu juga aku merasa tak baik menulis surat. Aku akan lebih gagah berani berkata langsung padamu. Memberitahukan padamu apa-apa yang selama ini tersimpan dalam kalbuku mengenalmu.

Tapi, nyatanya tak ada keberanian itu. Tak ada surat, tak ada juga kata-kata yang keluar dariku.

Semua sudah kasip. Surat yang kutulis juga akhirnya, ini… tak lebih dari goresan-goresan keluh-kesah, atau kisah-kisah usang yang penuh kesia-siaan.

>> BERSAMBUNG

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top