Cerita Bersambung

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (10)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis

SEKOLAH, belajar, bermain ya… aku kan belum menjadi lelaki dewasa jadi belum bekerja, ke ladang, kebun atau sawah membantu orang tua menjadi keseharianku. Begitu juga teman-teman lain yang ibu-bapak, kakek-neneknya petani.

Tapi tidak juga, teman-teman yang orang tuanya bukan petani sering ikut pula dengan kami ke ladang-ladang, kebun-kebun, sawah-sawah, hutan-hutan, berjalan mengikuti jalan setapak berliku-liku yang kadang bercabang-cabang menuju tempat berbeda-beda, menuruni lembah, meniti jembatan kecil dari bambu yang injit-injit saat dilewati untuk menyeberangi sungai yang mengalir deras di bawahnya, mendaki bukit dengan  atau tanpa tangga atau lebih serupa tangga yang dibentuk berundak di tebing tanah. Lalu menelusuri kembali jalan pulang dengan beban di pundak, lengan atau kepala hasil ladang, kebun atau sawah berupa padi, kopi, kayu manis, alpukat, dan sayur-mayur. Mesti hati-hati kalau-kalau kepergok lubang, parit, atau terkena sandungan. Tikus, ular, kalajengking, babi atau segala jenis binatang suka tepergok saat kita melangkahkan kaki di jalan yang sepi. Mata, telinga, intusi mesti dipasang dengan baik. Tetap fokus. Soalnya tak ada kompas. Daya ingat sangat penting untuk pergi dan pulang dari/ke ladang, kebun, dan sawah tadi. Kalau lupa dan meleng, bisa tersesat tak menemui jalan karena jalan yang bercabang-cabang  di sana-sini tadi.   

Aku juga sering ikut teman atau sanak famili ke kebun jeruk yang juga diselingi jambu klutuk, kates, dan alpukat. Wah, kami pesta makan segala jenis buah-buahan. Terkadang ada juga rebusan jagung, talas, ubi kayu, dan ketela rambat. Kadang disertai masak nasi dengan disertai ikan gabus, betok, nila, mas atau lele hasil mancing sendiri atau najor2. Kehidupan yang damai, menyenangkan, jauh dari huru-hara…

Eh… kenapa pula aku ceritakan perikehidupan di kampung atau kota kecil kita, Pitha. Walau tak lama, engkau pernah juga merasakan tinggal dalam suasana perdesaan di balik perbukitan, di kaki Gunung Pesagi, yang puncak birunya selalu tertutup kabut abadi, yang menyimpan misteri kehidupan lampau jauh berabad-abad silam, yang menurunkan berpuluh-puluh atau mungkin beratus-ratus generasi hingga kini, hingga anak-anak dan cucu kita kelak.

Aku cuma mau mendaur-ulang kenangan-kenangan itu untuk mengingat betapa kita, setidaknya aku harusnya bersyukur sempat menjalani kehidupan kanak-kanak hingga remaja yang menyenangkan di sebuah daerah yang orang juluki “Sepotong Surga di Kaki Pesagi” sebelum aku tinggalkan — dan engkau lebih duluan meninggalkanku, meninggalkan kota kita, meninggalkan kenangan bagiku.

Meski bukan kota besar dengan banyak fasilitas umum yang memadai, dulu hidup di kampung kita sungguh menyenangkan. Sebagai kanak-kanak atau remaja yang belum memikirkan betapa beratnya menghadapi onak dan duri kehidupan, aku menjalani hidup dengan sewajarnya.

Keluarga, kakek-nenek dari pihak ayah dan dari pihak ibu, paman-bibi, sepupu, karib, kerabat, dan semua orang ditambah latar alam yang menggairahkan yang aku katakan tadi, cukuplah menjadi penghiburan bagiku. Hari ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan hingga beberapa tahun setelah engkau pergi, Pitha, aku jalani dengan riang-gembira.

Asal tidak terlalu meminta lebih, yang tak ada di … sebenarnya kampung kita itu kota kecil, semua serba menyenangkan di sini. Kehidupan berjalan harmonis di antara sesama, dengan alam, dan dalam hubungannya dengan Yang Mahakuasa.

Tak perlu aneh-aneh, jalani saja apa semestinya kita lakukan. Sebagai pelajar, ya belajar, ngaji, membantu orang tua ya itu tadi ke ladang, kebun atau sawah, dan bermain. Aku setuju dengan temanku yang menempel tulisan besar di dinding kamar kosnya: “No time for love”. Entah nemu di mana dia moto ini. Soalnya, nyatanya, semua orang butuh cinta. Tak ada cinta, tak ada kehidupan. Kampung temanku ini agak jauh dari kota kecil tempat kita bersekolah, makanya dia kos. Pesan ayahnya, kalau mau sekolah yang seriuslah. Sudah jauh-jauh sekolah, pakai biaya yang lumayan, jangan sampai sia-sia. Maknya mewanti-wanti, jangan dulu pacaran. Hahaa..

Itulah, aku ikut teman itu: tak mau pacaran! Kecuali.. kalau pacarannya denganmu, Pitha. Tapi, kau sekarang tak ada. Sudah pergi meninggalkanku.

>> BERSAMBUNG

2 najor: meletakkan pancing yang sudah dipasang umpannya di sawah, sungai, kolam atau danau, ditinggal saja untuk ditengok nantinya. biasanya ketika dilihat lagi, sudah ada ikan yang memakan umpan dan tinggal angkat.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top