Nasib Buku Cetak

Oleh Doddi Ahmad Fauji
GERAKAN literasi itu, menurut saya, bertujuan agar para penggerak memiliki ketajaman ‘melek maksud’, yang tentu harus diawali oleh membaca literasi (aksara), berusaha memahami dan menafsir maksud, dan setelah itu, jika kandungan di dalamnya memang sesuai dengan keyakinan kita, maka amalkanlah hasil bacaan itu.
Namun dari waktu ke waktu, selalu muncul penggerak itu ingin dibaca, tapi ia kurang membaca karya orang lain. Di era sosmed dan webblog ini, membaca karya orang lain memang cukup dengan membaca karya cipta user yang diunggah ke sosmed atau webblog. Tak mesti membeli buku. Tapi jika ada dana, membeli buku (beundeulan) adalah pintu apresiasi paling prestisius.
Lagi pula memang, saya termasuk mendorong dikuranginya penerbitan buku (cetak kertas), karena ternyata, untuk produksi buku kertas saat ini, di seluruh dunia, perlu membabat pohon mencapai 1.000 hektare lebih. Data ini tidak sohih, tetapi saya cermati paparannya dari para aktivis lingkungan yang bertebaran di berbagai webblog.
Saya kira, bila pohon dikurangi pembantaiannya, agar hutan kembali lestari, akan didukung oleh para aktivis macam Kiyai Pepep, Kiyai Rahmat Leuweung, Kiyai Hendro Wibowo, dll.
Buku beudeul dan jejak literasi tercetak lainnya memang akan berakhir, dan saya memprediksi, pada 2027 buku atau koran, mulai tidak dicetak secara massif. Grup Tempo misalnya, seperti diumumkan oleh Kiyai Arif Zulkifli, sedang besar-besaran mengalihkan dokumen dan data ke web. Perusahaan koran macam Kompas, Pikiran Rakyat, dan lain-lain, juga sedang berbondong-bondong segera mengunggah dokumen-dokumen cetak ke virtual.
Saya melihat, permudahan mencetak buku dan pemberian ISBN, telah melahirkan gerakan literasi yang bersifat seremonial dan selebrasi, dan bukan pada gerakan ‘melek maksud’ yang tersurat dan tersirat, yang maktabiah maupun ingtangible.
Di era permudahan cetak dan dapat ISBN itu, telah melahirkan sekian festival sastra, yang lebih bersifat ke ‘keprok’ dan pamer diri, yang membenarkan pernyataan Renne Descartes “Cogito er go sum” (aku narsis maka aku eksis).
Yang penting eksis, soal substansi keropos, masa bodoh. Ini adalah musibah.
Yang sedikit bisa meraup keuntungan di era permudahan cetak buku dan raihan ISBN, adalah mereka yang bermental saudagar.
Saudagar itu berujar, “ayo ikut lomba” misalnya, tapi ternyata pura-pura lomba. Sebab, setelah itu, peserta lomba dimenangkan dan wajib beli buku.
Nah ini, lalu rekor-rekoran, diam-diam adalah racun, yang membuat orang mabuk dan tidak sadar diri. 100 jelangkung mencipta sampah, lalu secara kuantitas, itu ada museum memberinya piagam, sebagai gerakan terbanyak mencipta sampah dengan diikuti 1000 jelangkung. Sing penting mau bayar, museum itu bukan terpaksa, malah dengan senang hati dan terus mencari para jelangkung yang mau mengeluarkan sebenggol dua rupiah.
Museum Rekor pengumpul jelangkung mabuk kepayang, adalah penanda dari salahnya si kaprah, yang dipicu oleh makin menguatkanya muruah kapitalisme-borjuistik-liberalistik.
Eh punten, menurut kiyai Zulkarnain Zubairi, pendapatku itu gimana? Ngawur ya? []
—————-
Doddy Ahmad Fauji, sastrawan, wartawan senior
