Tentang ISBN

Oleh Doddi Ahmad Fauji
SAYA setuju pemberian ISBN oleh Perpusnas diperketat. Malah Perpusnas jangan hanya minta ke penerbit berkas dari halaman 1 sampai daftar isi, untuk pertimbangan memberikan ISBN terhadap calon buku, tapi minta draf atau manuskrip lengkap dikirimkan dari awal hingga akhir, lalu dikaji isinya untuk mengetahui layak atau tidaknya diberi ISBN.
Jika mungkin, Perpusnas tiap bulan menerbitkan Katalog buku Recomended berdasarkan hasil kajian tim-nya, supaya syarat pengajuan ISBN bukan hanya administratif, tapi substantif dan kedalaman falsafah dalam buku. Buku kan produk intelektual, maka syarat ber-ISBN itu, ya harus intelektual. Setakat ini, karena tak dikoreksi ketat, banyak buku terbit justru bisa membodohkan pembaca. (Ini pasti usulan tak akan disetujui, sekalipun yang mengusulkan Presiden Vladimiranto Putin sambil menodongkan moncong rudal ke Salemba).
ISBN memang penting. Tapi, yang lebih penting kualitas isi bukunya kan?
Quran dan Inzil juga diterbitkan tidak ber ISBN kan?
Nah, Perpusnas juga perlu ikut menertibkan penulis dan bisnis penerbitan. Penerbitan buku kian merebak, bukan karena kemampuan atau kualitas tulisan meningkat, tetapi dipicu oleh faktor-faktor ini:
1. Lahir dan booming-nya sosmed, telah menumbuhsuburkan mental narsistik, cogito er go sum (aku narsis maka aku eksis). Berselfie sambil pegang buku, ada ilusi bahwa seakan ia sudah menjadi ‘ulil albab‘, pret!
2. Permenpan No 16 tahun 2009 tentang pemberkasan kenaikan pangkat/golongan untuk ASN, akan punya nilai besar bila menyertakan buku karangan sendiri, diterbitkan ber-ISBN dan oleh penerbit anggota IKAPI. Tapi keharusan diterbitkan oleh IKAPI tampaknya jadi longgar setelah ada Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI), dan nanti juga akan lahir Asosiasi Penerbit Partikelir Nusantara.
3. Cetusan Mendikbud Anies Baswedan tanggal 5 Juli 2016 tentang Gerakan Literasi Sekolah mengalami kepleset langkah, di mana makna esensial GLS adalah untuk meningkatkan kemampuan memahami aksara (huruf, angka, simbol, marka, sandi, dll) beralih menjadi gerakan memaksakan menulis tapi malas baca.
4. Perkembangan dunia percetakan, membuat makin mudah menerbitkan buku. Era offset, menerbitkam buku minimal 300 eks, biar murah per bukunya. Di era digital printing, buku bisa dicetak 5 eks dan bagus kualitasnya. Saingan mesin cetak offset sebelum era digital printing, adalah disablon. Karena menerbitkan buku makin gampang, bukan hanya Doktor, Master bodong yang gemar menerbitkan buku dengan cetak cukup 10 eks, tapi juga sastrawan calon (calon penulis).
Bahkan bila tak ada ISBN pun, sebenarnya tak masalah. Tugu Monas akan tetap di Jakarta dan banjir Jakarta akan tetap terjadi, kecuali kiamat atau Tuhan menghendaki lain.
Bagi para pengelola penerbit partikelir, penerbit gurem, penerbit indie, penerbit bisnis semata, penerbit spesialis nerbitkan 5 eks buku, penerbit yang masih unyu-unyu, jika tak dikasih ISBN oleh Perpusnas, segera berpaling ke QRCBN, NKBB, ISBNP.
Mau nanya apa kepanjangan dari singkatan itu kan?
QRCBN: Quick Response Code Book Number
NKBB: Nomor Kode Buntut Buku (berguna untuk penggemar togèl dan toto).
ISBNP: ISBN Perjuangan.
Bukan hanya ISBN yang perlu dibenahi, kalau bisa mah BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) harus direformasi atau dibubarkan.
Sertifikasi untuk para penulis, editor, termasuk wartawan, kan masih tampak UUD toh?
Lucu, ada ujian sertifikasi untuk penulis di Cimahi. Yang daftar serius, bawa buku untuk bukti, bayar pula. Eh tak lulus. Sementara ada orang hadir ke acara tersebut tujuannya mau ketemu teman, sambil ikut ngopi, namun karena acara ujian sertifikasi penulis itu kekurangan peserta, akhirnya si orang yang semula hanya mau nongkrong, didaftarkan sebagai peserta, gratis, tak bawa buku, tapi malah lulus.
Museum rekor-rekoran yang ternyata hanya bisnis dan mengumpulkan jumlah kambing, bagus juga tuh kalau ditutup.
Terakhir, Mentri Luhur Budi Pekerti itu, duh, kok aku baru tahu ada mentri itu. Dia yang mengurusi apa ya? []
—————–
Doddi Ahmad Fauji, sastrawan, praktisi perbukuan.
