Cerita Pendek

Minan Lela Sebambangan

Cerpen Udo Z Karzi

AKU buka rahasia Minan[1] Lela. Dia adik perempuan ibu yang bungsu. Kisahnya sudah sudah lama sekali, mungkin tahun 1970-an akhir atau 1980-an awal ketika ia masih muli[2] dan bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN). 

Sekarang Minan Lela, aku panggil Makcik[3] Lela. Kalau aku saja sudah tua, jelas Makcik Lela sudah lebih tua. Sudah punya banyak cucu sekarang.

Semoga dia tidak marah. Kalaupun marah tak apa. Hahaa….

***

Kisahnya bermula ketika Minan Lela yang diterima di MAN di Gunungsugeh. Oleh Kajjong[4], Minan Lela dititipkan untuk tinggal di rumah kami yang di pusat kota, Negarabatin. Soalnya, kalau masih tinggal di desanya awalnya, kasihan Minan Lela. Ia mesti dua kali naik mobil oplet, dari Way Mengaku ke terminal Negarabatin, baru dilanjutkan ke sekolah di Gunungsugeh dengan angkutan rute lain lagi.

Samar-samar kuingat. Oleh ayah, disiapkan satu lemari untuk meletakkan buku-buku pelajaran Minan Lela. Buku tulis Minan Lela tebal-tebal. Aku ingat tulisannya, baik tulisan Arab maupun tulisan Latinnya bagus dan rapi-rapi. Tapi, bagiku yang masih senang-senangnya menggambar, menulis kayaknya sih belum bisa,  buku-buku tulisnya sangat kusuka. Di lembar-lembar yang masih belum ditulisi aku gambar-gambar semauku. Aku paling ahli melukis gambar benang kusut.

Di lain waktu, saat hujan datang, dan aku suka dimarahi ayah kalau main hujan karena tubuhku sangat ringkih sangat mudah pilek dan batuk-batuk kalau terkena air hujan; aku akan merobek-robek beberapa lembar buku tulis Minan Lela itu  dibuat kapal kertas. Lalu, melayarkan kapal kertas itu di genangan air hujan atau di aliran kali kecil yang tercipta oleh hujan itu, yang karena terbuat dari kertas dengan segera menjadi hancur atas terseret oleh arus dan sekejap lenyap dari pandangan mata. Aku buatkan kapal kertas yang baru dari lembar-lembar buku Minan Lela.

Kalau tidak hujan, aku juga bisa membuat pesawat terbang dari kertas atau kodok kertas sehingga buku tulis tebal Minan Lela kian menipis. Kadang catatan Minan Lela pun ikut hilang jadi bahan mainan kertas. Itu semua aku lakukan saat Minan Lela, ayah, dan ibuku sedang tidak di rumah dan aku sendirian. Mungkin ada adikku yang masih kecil. Tapi, mereka karena masih kecil, lebih kecil dariku yang juga masih anak kecil, belum mengerti apa yang aku kerjakan.

Setelah aku menyadari buku tulis Minan Lela semakin tipis, aku takut kalau-kalau ketahuan akulah yang mengorat-oret dan menyobek-nyobeknya. Tapi entah kenapa, aku tak pernah dimarahi karena ulah jahilku itu. Minan Lela mungkin tahu, tetapi dia diam saja. Orang tuaku pula tidak tahu kalau buku-buku Minan Lela aku rusak. Aku menyesal tapi telanjur. Aku juga tak meminta maaf kepada Minan Lela atas kesalahanku itu hingga kini.

***


Aku anak kecil. Tak tahu, selalu suka minta tidur dekat Minan Lela. Bila malam tiba, di saat semua penghuni rumah masuk ke bilik masing-masing, terjadilah peristiwa-peristiwa itu. Tengah malam selalu saja ada percakapan, dialog-dialog, dan pantun-pantun bersahut-sahut pelan-pelan nyaris tak terdengar di antara dua suara lelaki dan perempuan. Yang perempuan, jelas Minan Lela. Yang lelaki, mana pula aku tahu. Ia berada di balik dinding bambu rumah panggung kami.

Biasanya aku sudah tertidur, lalu terbangun, tetapi pura-pura tetap terlelap atau memang belum  tidur ketika ada langkah kaki naik tangga rumah. Awalnya saya kira maling. Tapi, rupanya Minan Lela sudah mengenali langkah dan suara lelaki yang barusan naik. Bermalam-malam berlangsung bujuk-rayu di antara muli-meranai[5]. Kedua tidak berhadapan langsung. Muli tetap di kamar, yang ditemani bocah kecil, yaitu aku yang tetap berpura-pura terlelap, sedang meranai di luar.

Setekut[6] namanya!

Maka aku dengar, suara segata[7] (berbalas pantun) meranaimuli:

kurepako apitson
kik nyak mak sakik hulu
kurepako angangon
kik nyak tiram di niku

radu kupileh perih
pagun tulang di jambu
radu kupileh bareh
pagun tulang di niku

………..

Yang lain lagi:

bugayut nyak di bamban
nyerussok di jelatong
abang haga burasan
tunggu do abang ratong

kutanom kacang rik tomat
mati dililik cambai
kuk sekula makkung tamat
kuk nyunjong makkung pandai[8]

Entah, alang banyak pantun dan bujuk rayu yang keluar hampir setiap malam. Tapi, aku memang payah, tetap saja tak bisa nyambai[9] ketika sudah remaja.

*** 

Aku anak kecil. Sangat dekat dengan kajjong, ibu dari ibuku dan Minan Lela. Sering aku pamit dengan ibuku mengunjungi kajjong dan bermalam di rumahnya di Way Mengaku, jalan kaki saja sejauh 4 km. Aku senang tidur dikeloni kajjong malam-malam.

Suatu hari di saat aku sedang di rumah kajjong, kudengar kajjong agak marah. Tapi, tetap dengan suara rendah. Hanya omongannya yang panjang-panjang seperti menyesalkan sesuatu yang menunjukkkan kemarahanannya atau kecemasannya. Begitu juga paman-bibi dan kerabat lainnya tampak tegang.

Ketika kajjong masuk kamar, di mana aku sembunyi di situ, aku tanya kajjong, “Ada apa, Jong?”

“Minan Lelamu sebambangan[10],” ujar kajjong dengan gusarnya.

Aku ternganga. Aku tak mengerti mengapa Minan Lela kok memutuskan kawin. Padahal sekolahnya belum selesai. Wajar jika kajjong kesalnya bukan main dengan Minan Lela. Mengapa Minan Lela tak menyelesaikan sekolah MAN-nya? Aku langsung teringat kenakalanku mencoret-coret, menggambar, dan merobek-robek buku tulisnya. Jangan-jangan… jangan-jangan… ia dimarahi guru-gurunya dan lalu memutuskan berhenti sekolah dan menerima rasan[11] seorang lelaki yang sekampung dengannya.

Ah, betapa berdosanya aku dengan Minan Lela dan kajjong. Tapi, aku diam  saja tak bilang apa-apa. []

Kemiling, 19 April 2022



[1] minan: bibi, tante yang belum menikah

[2] muli: gadis, dara

[3] makcik: bibi, tante yang sudah menikah

[4] kajjong: nenek

[5] meranai: pemuda, bujang

[6] setekut: tradisi bercakap-cakap, berbalas-pantun antara bujang-gadis  dibatasi dinding tengah malam

[7] segata: berbalas pantun

[8] Pantun-pantun antara bujang-gadis ini tertlalu panjang untuk diterjemahkan. Semua pantun berisi rayu-merayu antara bujang-gadis.

[9] nyambai: pesta berbalas-pantun  bujang-gadis dalam resepsi pernikahan.

[10] sebambangan: kawin lari.

[11] rasan: kesepakatan antara bujang-gadis untuk membangun rumah tangga. 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top