Asarpin, Buku-Buku Selalu Mempertemukan Kita

Oleh SW Teofani
SELAMAT jalan, Sahabatku.
Maafkan aku terlambat mendengar kabar kepergianmu. Sabtu lalu ternyata bincang terakhir kita. Itu pun tak sengaja. Kau ingin sekali mancicip sayap madu. Tapi, takut rasa pedasnya mengusik sakitmu.
Kini tak akan ada lagi sosok yang muncul tiba-tiba, bercerita penuh semangat tentang rencana-rencana, juga yang telah terjadi, tentang ketimpangan hidup dan ketidakadilan.
Kita bersama sejak mahasiswa. Meski berbeda fakultas, buku-buku selalu mempertemukan kita.
Tanpa rencana kita pun sejalan mengorganisasi Urban Poor. Meski akhirnya aku memilih habitatku.
Kemudian kita bertemu lagi dan kita masing-masing sudah berkeluarga. Tapi, persaudaraan itu terus terbangun. Persahabatan itu tetap utuh. Sebab, sebelumnya kita nyaris tak pernah berkonflik.
Kita pun kembali bertemu di dunia literasi. Dirimu sebagai penulis, aku menjadi editor. Meski tak bertemu, tulisan-tulusanmu cukup menjadi alat dan sebab komunikasi. Sampai pada sebuah masa yang sulit, kita pun tetap saling dukung dan menguatkan.
Akan kami jaga kenang-kenangan darimu. Semoga menjadi amal jariahmu.
Pada pagi cerah, kau datang ke gubugku. Gubug baru yang masih berlantai tanah. Tapi, sudah kami diami. Alhamdulillah.
Kamu pun tersambung dengan suamiku karena sesama penghayat buku.
Saat itu kamu bercerita tentang kayu jatimu yang sudah tua dan sudah nggalih.
“Sus, kayu itu tak akan aku jual… kecuali kalau kau butuh atau Daman. Sayang sekali, kayu bagus… kalau dijual pasti mahal. Tapi, aku tak akan kasih ke orang.”
Aku terdiam. Kau tahu aku pecinta kayu. Tapi, tanpa bercerita kau pun tahu aku tak punya uang. Akhirnya kita tertawa bersama-sama. Tawa yang biasa tercipta karena saling paham pada sebuah kondisi. Tanpa diungkap pun diceritakan.
Saat kau tahu lantai tanah gubugku kau pun berujar, “Enak lo Sus dah punya rumah. Lah gua masih ngontrak.”
Aku terdiam.
Lalu…
“Alhamdulillah, Pin. Modal Bismillah. Waktu itu kami tidak punya apa-apa. Doa orang tua dan niat baik kami alhamdulillah menemukan jalannya sendiri. Kamu sudah punya tanah, sudah punya kayu kayu… nunggu apa lagi? Bismillah, niatkan bangun rumah,” aku menyemangatimu.
Kamu terdiam agak lama. Tak lama kamu pamit. Ditutup dengan melihat buku koleksi suamiku.
Kami pun membalas kunjunganmu.
Beberapa bulan kemudian, kau datang bersama istri dan anak-anakmu. Kita seperti dua keluarga yang saling merindukan.
Kau begitu berbinar juga istrimu..
“Sus, alhamdulillah, aku sudah bangun rumah tapi belum ditempati.”
“Iya, Mbak… Abang dari sini waktu itu pulang langsung rencana bangun rumah. Padahal, sebelumnya masih ragu-ragu.”
“Alhamdulillah….”
Aku dan suami pun tak kalah senang mendengar berita itu.
Lalu kita bercengkrama dengan anak-anak layaknya keluarga. Dan, kami pasti membalas kunjungan di waktu senggang.
Suatu hari, saat kami akan membangun tempat mengaji. Secara kebetulan kau kabarkan kayu jati yang sudah ditebang. Aku pun galau. Belum pegang uang. Sementara dirimu pasti butuh uang untuk melanjutkan perapihan rumah. Aku dan suami pun ke sana. Sayang kalau sampai kayu bagus itu dijual ke panglong. Benar kau tetap siapkan bilah-bilah papan itu untuk kami. Meski waktu itu kami tak tahu untuk apa kayu itu. Tapi aku tetap yakin kalau suatu saat butuh kayu.
Dalam obrolan singkat kau berkata, “Sus, papan ini sebagian buatmu. Sebagian buatku. Punyaku mau tak bikin lantai atas untuk perpustakaan.”
Yah, kita sama… akan selalu mengagendakan kamar buku.
“Lantai 2 maksudmu? Emang kuat?”
“Kuat bangetlah Sus. Papan ini kan tebal 5 cm. Cocok untuk rumah panggung.”
Kali ini aku yang diam. Tak lama kami pulang.
Sampai rumah pelan-pelan aku bilang ke suami, “Bah, tempat ngajinya kita buat lantai 2 yuk biar ada ruang kerja Abah. Kalau lantai 1 nanti Abah gak punya ruang kerja.”
“Lantai 1 aja gak punya uang, mau lantai 2.”
Yup..suamiku benar.
“Kalo Abah rida, kita bismillah… Mumpung baru pondasi… nanti kita diskusi dengan tukang konstruksinya. Uangnya kita cari.”
“Ya..,” kata suami.
Alhamdulillah… papan papanmu sampe juga ke rumaahku, dengan harga yang sangat bersaudara. Padahal, jika kau mau, kau bisa jual ke panglong dengan harga tinggi dan uang case. karena kamu sedang butuh uang…tapi persaudaraan mengalahkan semua hitung-hitungan matematika…
Alhamdulillah tempat ngaji sederhana dengan 2 lantai pun jadi.
Rumah mu pun sudah rapi lengkap dengan perpustakaan di lantai 2.
Lalu kau sibuk dengan finishing rumah. Kita lama tak bertemu. Saat kau datang…terbengong melihat tempat ngaji baru…
“Alhandulillah papannya sudah manfaat Pin,
untuk tempat ngaji. Karena rencanamu bikin perpus kayu..aku jadi terinspirasi bikin lantai 2, biar ada ruang kerja suami.”
“Alhamdulillah, dulu saya bikin rumah juga karena semangat omongan lo Sus.”
Tawa kita pun pecah ..
Kunjungan selanjutnya kau menceritakan sudah membangun rumah di kampung, sambil berkelakar, “Kamu sudah dua kali bangun rumah Sus. Aku jadi semangat.”
Kita pun saling tertawa…
Selanjutnya kita tetap menjaga kekeluargaan dengan saling kunjung. Sampai pada saat suamiku sakit asam lambung lumayan lama, kami tak bisa membalas kunjungan-kunjunganmu. Bahkan, undangan aqiqah putramu, kami sibuk berobat. Maafkan kami, Pin.
Tapi, beberapa kali kita bertemu dengan tidak sengaja. Kesempatan berbagi kabar dan cerita.
Terakhir Sabtu kemarin. Kau tampak masih sehat, meski pucat. Kita berbincang tak lama. Aku tak menyangka itu bincang terakhir…
Selamat jalan, Sahabat. Aku bersaksi kau orang baik. Semoga Allah menempatkanmu di jannah-Nya. Amiin. []
———-
SW Teofani, sastrawan
