Panggung

Diskusi Akhir Tahun (1): Puisi, Kelampungan, dan Omong-Kosong

SEBUAH diskusi saya, Udo Z Karzi (UZK) menjelang akhir tahun, Selasa, 14/12/2021, dengan seorang penulis (SP) yang sengaja tidak disebutkan namanya, terasa sangat menarik. Berikut petikannya:  

Kalau bagi saya puisi itu isi kepala, Do (ilmu).

Betul. Puisi bagus lahir penyair cerdas.

…..

Saya mau tanya soal kebutaan penyair kita tentang Bumi Lappung? Mengapa penyair kita tidak pernah berbicara tentang realitas Bumi Lappung? Kebanyakan berbicara tentang omong kosong menurut saya. Padahal kita(Lampung) banyak ketimpangan? …

(Pertanyaan SP bertubi-tubi. Sementara saya lagi berpikir hendak menjawab bagaimana sebaiknya. Saya tak segera menyahut.)

Sila jawab pertanyaan saya, Do.

UZK: Saya coba jawab.

Siap.

Kasuistik saja. Kalau tidak punya pemahaman yang komprehensif tentag kelampungan, kata-kata Lampung dalam puisi dan cerpen memang hanya menjadi tempelan belaka. Ia tidak masuk lebih dalam ke makna hakikat dan persoalan sosiokultur Lampung.  Masalahnya,  yang bersangkutan tidak punya perangkat (alat) untuk bisa masuk ke ceruk ulun Lampung dan masalah yang melilit mereka. Okelah seorang penulis tidak bisa berbahasa Lampung. Tapi, untuk menghasilkan tulisan kental kelampungannya, tentu seorang penulis mesti suka melakukan riset sebelum menulis. Dengan demikian, kelampungan (warna lokal Lampung) benar-benar dapat dan bukan kulit luarnya saja.

Ada juga yang berhasil memasukkan Lampung dalam karya-karya mereka.

Tapi tak harus juga ya. Warna lokal Lampung juga bukan cuma persoalan etnis Lampung. Kan Lampung ini multietnik, multikultur, multibahasa, dst. Itu juga jadi tema-tema lokal Lampung.

Tapi, ada juga yang menggarap tema-tema yang universal.

Tidak masalahlah.  Itukan pilihan penulis masing-masing. Siapa juga yang larang seorang pengarang/penyair menggarap tema-tema lain.

Soal ketimpangan di Bumi Lappung, gimana Do, adakah yang mengangkat soal itu?

Ketimpangan dalam hal?

Pengangguran, kelaparan, dll-nya, Do. Pejabat yang korup.

Ada yg mengangkatnya. Cuma sering tidak diketahui dan ‘kurang sukses’ sebagai karya sastra atau karya pop. ‘Kurang sukses’ di sini dalam arti tidak banyak dibicarakan, termasuk tidak banyak dibeli hehee… sehingga tidak tersosialisasi dengan baik.

Siapa, Udo, kalau boleh tahu?

Hahaa….

Maklum, Do. Orang baru saya ini.

Sebenarnya, saya  senang karena Lampung sudah mulai banyak ditulis, tidak cuma dalam fiksi (puisi,  cerpen, dll), tetapi juga nonfiksi. Kondisi ini bagus.  Tapi,  masih kurang banyak. Saatnya kita menulis Lampung.

Itu dia Do mau saya.

https://labrak.co/2020/11/saatnya-menulis-tentang-lampung/

Paten, Do. Saya baru baca ini. Tapi, Lampung ini sekarang sekarat, Do. Pemuda pemudinya, adatnya jadi mainan pejabat, orang saro di mana-mana. Eh, penyairnya masih ngulas soal omong-kosong. Ya, Allah….

Sekecil apa pun masih ada. Orang (etnis)  Lampung yang menulis (penulis) sedikit banget. Orang Lampung sendiri yang harus memperjuangkan kebudayaannya. Caranya,  kalau saya,  (cuma bisa)  menulis.

Cuma ngeri juga kalau nulis sembarang…

Iya Do. Memang begitu, saya aja nulis dipenuhi pendatang. Ada beberapa orang nyuruh hapus. Itu tokoh-tokoh kita. Tapi, saya bodo amat! []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top