Saatnya, Menulis tentang Lampung
“SEMANGAT from local to global: menulis tentang Lampung untuk berbagi pada dunia bisa membuat Lampung tambah pesat dalam literasi. Lampung punya segalanya, destinasi, sosio-kultur, adat-istiadat, penerbit, peneliti, wartawan, aktivis, dan lain-lain yang menjadi sumber inspirasi untuk terus berkreativitas. Wajar jika kegiatan sastra tak pernah surut — oleh pandemi sekalipun,” kata sastrawan Rilda A. Oe. Taneko dalam Webinar Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung: Maju Terus Sastra Lampung!, Sabtu, 7 November 2020.
Ya, kreativitas. Itulah kunci malahirkan karya-karya (tak terkecuali sastra) yang berkualitas. Tapi, masalahnya memang menyelenggarakan kata “kreatif” atau “kreativitas” tidak semudah mengucapkannya. Sebab, alih-alih kreatif, yang dilakukan justru meniru, imitasi, bahkan malah plagiasi. Sungguh memalukan jika hal demikian yang terjadi.
***
Baik, biar sedikit serius dan kelihatan ilmiah, hahaa… saya memerlukan sedikit definisi tentang kata “kreatif”.
Kreatif, dalam KBBI berarti:
1 memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan;
2 bersifat (mengandung) daya cipta: pekerjaan yg — menghendaki kecerdasan dan imajinasi.
Kalau begitu menulis kreatif (creative writing) adalah sebuah kegiatan membuat tulisan yang bermuatan imajinasi dan memanfaatkan kecerdasaan dalam proses penciptaannya.
Dalam banyak kesempatan saya sampaikan juga beberapa aspek menulis kreatif. Dari proses ini (menulis kreatif), lahir hasil-hasil karya tulis yang imajinatif, mengandung hal-hal baru di luar logika, menghibur, menggugah, dan menginspirasi.
Pernyaannya, apakah harus fiksi? Tidak juga. Sebab, meskipun mengandung aspek imajinatif, bukan berarti karya-karya tulis dari proses ini melulu soal fiksi. Bisa jadi karya nonfiksi.
Dalam karya fiksi, mungkin kita akan menemukan aspek imajinatif ini dalam hal kebaruan tema, cerita yang benar-benar baru, karakter yang berbeda, ide dasar yang unik, dan sebagainya.
Dalam naskah nonfiksi, bisa dilakukan dalam hal pengambilan angle-angle tulisan yang tidak mainstream, dan memiliki karakter tulisan yang lain dari yang lain, meskipun dalam hal isi naskah adalah fakta.
***
Ya sudah, sekarang apa lagi masalah? Ide, gagasan, inspirasi, data, fakta, cerita, kosakata, narasumber atau sarana-prasarana, tidak kurang-kurang. Bahan baku tulisan berupa inspirasi, bahasa, dan bagaimana cara memapaparkannya sudah tersedia.
Tinggal memang harus lebih banyak membaca (iqra) lagi mengenai Lampung. Iqra dapat berarti bacalah, telitilah, dalamilah, bacalah alam, tanda-tanda zaman. Kita membaca dan mentafakuri suatu objek dengan akal dan kalbu kita. Dengan kemampuan iqra, kita bisa menciptakan kemaslahatan di muka bumi. Termasuk, menuliskannya!
Jadi, saatnya ulun Lampung menulis tentang ulun Lampung sendiri untuk berbagi kepada dunia. Orang lain menulis tentang Lampung bisa keliru. Maka, tugas ulun Lampung meluruskan kesalahan. Dan lebih dari itu, mensyiar Lampung ke segara penjuru Tanah Air dan Internasional.
Tabik! []
Pingback: Diskusi Akhir Tahun (1): Puisi, Kelampungan, dan Omong-Kosong – Labrak.co