Kolom

Saya Tetap Penulis Kampungan

SUDAH 35 tahun sejak 1986, saya bermukim di Bandar Lampung. Sempat juga tiga tahun ‘nyasar’ di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2006-2009). Tapi, ternyata saya tak sadar juga atau kata anak-anak sekarang, susah move on, bahwa saya tidak lagi tinggal di Liwa.

Saya lihat-lihat puisi, cerita, dan tulisan-tulisan saya di berbagai media — termasuk medsos — dan buku masih saja tentang daerah kelahiran saya ini.

Soalnya,

bagaimana bisa aku lupa ketika dingin, embun, dan gerimis pagi
memanjakan tubuhku yang letih. kehangatan kopi kentalmu membangunkan
semangat menuju ladang, sawah, dan kebun kehidupan. jalan setapak
berliku-liku yang basah kehujanan semalam menguatkan langkah kaki
petani-petani menyongsong matahari. palawija, padi, dan kayu manis adalah
anugerah dari kesuburan tanah di balik bukit.

berdiri di ketinggian sekara jaya, aku menyaksikan awan-awan tersangkut di
bukit bukit. kucoba menyibak kabut abadi setia mengawal pesagimu yang
menyimpan misteri diwa-diwa dan sejarah muasal leluhur. desir angin,
gemericik air, dan desau ilalang membisikkan gelora cinta liwa kota berbunga
ke telingaku. lembah-ngarai dan telaga ham tebiu semakin mendalamkan makna
kehadiranmu dalam setiap denyut zaman.

(Udo Z Karzi, “Bagaimana Mungkin Aku Lupa”, 1999)

Saya pun menulis “Sakura, Pesta Topeng Rakyat Lampung Barat” (Teknokra, Agustus 1991) sebagai tugas jurnalistik awal-awal menjadi wartawan kampus di pers mahasiswa ini.

Tidak tertampung di Teknokra, Mas Budisantoso Budiman, Pemred Teknokra kala itu meminta saya mengirimkan tulisan “Liwa, Sang Ibu Kota Lambar: Kota Harapan yang Menyimpan Kenangan” ke Lampung Post dan dimuat di edisi Kamis, 29 Agustus 1991 — sebulan sebelum peresmian Kabupaten Lampung Barat, 24 September 1991.

Selanjutnya, saya selalu keranjingan untuk menuliskan segala sesuatu yang ada dalam ingatan mengenai Bumi Sekala Brak

Maka, buku-buku saya, antara lain: Momentum (kumpulan sajak, 2002), Mak Dawah Mak Dibingi (kumpulan sajak, 2007), Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012), Negarabatin (novel, 2016), Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali (2016), Ngupi Pai (2018), Lunik-lunik Cabi Lunik (kumpulan cerita buntak, 2019), dan Setiwang (kumpulan sajak, 2020) lebih banyak lahir dari ingatan-ingatan tentang tanah kelahiran.

“Jangan bosan. Nulis terus tentang Liwa ya Udo,” kata Kadis Pariwisata Lampung Barat Tri Umaryani di sela-sela Seminar Wisata-Budaya Lampung Barat di GOR Ajisaka, Liwa, 25/9/2021.

Tentu, Ibu Tri. Tabik. []

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top