Obituari untuk My Another Vi

Oleh Trufi Murdiani
SIANG itu, panas terik memayungi Jalan Sultan Agung. Putraku, Max baru saja berlalu masuk ke kelas les mewarnaninya di studio Papa Joe Art and Painting saat tatapan mataku menangkap satu sosok perempuan yang sangat kukenal sejak lama.
Teman lama, pikirku saat itu setengah pangling. Tapi, itu tak berlangsung lama karena langsung ngeh pada sosoknya sambil tetap terpagut dari jarak agak jauh. Sudah berbilang purnama tak bersua, bahkan via medsos sekalipun. Karena kemudian kuketahui dia tak aktif lagi ber-medsos. “Ya, mungkin media sosial membuatnya ter-distract,” simpulku.

Toko obat herbal yang memang berada di lantai dasar studio Papa Joe Sultan Agung itu sudah pasti akan kulewati, karena melalui pintu itulah satu-satunya jalan menuju ke lantai dua tempat aku menunggu Max selesai les. Dan rupanya perempuan teman lamaku ini pun ada perlu di toko itu. Sejurus kemudian aku menegurnya dan bisa dipastikan chit chat seru pun pecah saat itu.
“Gua kira masih di Jakarta lho,”
“Udah lama kok (di sini),” jelasnya konfirmatif. Dan saat itu pun aku baru tahu ia tak lagi melanjutkan karirnya.
“Sayang amat ijazah master lu, ijazah luar negeri lagi…,.” aku dan dia memang terbiasa saling ceplos sih.
“Gapapa.”
Dan, aku pun tak berani bertanya lebih lanjut. Yang pasti aku menghargai apa pun pilihan hidupnya.
……
Sudah telat. Sudah sangat telat mendapatkan kabar tentangmu. Ya, tiga hari sudah berlalu, aku baru tahu kabarmu, kabar paling terakhirmu. Itu karena aku saking jarangnya buka timeline medsos dan kabar tentangmu ini kubaca di timeline medsos adikmu Presi Roli. Kabar kepergianmu, ELVI DWI SARI ROLI.
Elvi. She was my inspiration .
Jujur, kepergiannya di tengah masih belum move on dari kesedihan pasca-kepergian Kak Iwan Moh. Ridwan, ini menyisakan rasa yang susah aku ceritakan. Karena, Elvi ini bisa dibilang lebih dari teman saja, lebih dari sahabat, bahkan lebih dari saudara. Elvi, juga inspirasiku.
Melangkah mundur ke beberapa belas tahun sebelumnya. Elvi adalah sumber inspirasi dan motivasi kuat untuk aku bisa studi di luar negeri ketika dia kuketahui berangkat S2 ke Belanda. Dia juga sekaligus mentor utama aku dalam membidik dan memperjuangkan beasiswa-beasiswa apa pun.
Selain Ahmad Saifullah Buaykundo, Elvi adalah juga penerima beasiswa pendidikan di luar negeri. Keduanya adalah peraih beasiswa S2 di negeri tulip, kendati dari jalur beasiswa yang berbeda. Elvi dan Kundo adalah juga sesama satu UKM di Unila dimana aku aktif semasa kuliah, Teknokra.
Tapi, dengan Elvi ini, jelas aku memiliki jalinan yang lebih erat. Kami didekatkan bukan hanya karena berasal dari satu SMA yang sama dan bukan hanya karena kami bareng masuk dan aktif di Teknokra. Lebih dari itu, aku melalui banyak momen berharga sekaligus lucu dengannya.
Sama-sama dari Smanda Bandarlampung, sejatinya kami tidak pernah seangkatan apalagi sekelas. Karena aku satu angkatan di atasnya waktu SMA, kendati tahun lahir kami sama. Maka itulah kami berdua akrab sekali. Bahkan di Teknokra pun kami seangkatan.
Jujur aku kagum padanya. Sering bersama sejak masa magang di Teknokra dan bila ada kegiatan pers kampus, aku jadi tahu dia sangat open minded. Selain sifat humble dan bijaknya yang membuatku “nyaman’ untuk dekat dengannya. Apalagi, kalau pas sedang sama-sama di Teknokra di sela-sela kuliah kami, kalau ngobrolin soal cowok, itu mah nggak usah ditanya. Langsung klik.
Semangatnya juga sangat tinggi. Setelah lulus kuliah di Fakultas Hukum dan Teknokra, Elvi juga pernah menggeluti pers umum di Lampung. Saat itu, ia pernah terjun sebagai jurnalis di Surat Kabar Mondial sejak kali pertama surat kabar tersebut dirintris penerbitannya. Hingga kemudian aktif di NGO di Lampung bahkan nasional di Jakarta, aku tahu pasti semangat juang Elvi tetap konsisten.
Setelah lulus dari Master of International Law di Belanda itu, dia juga masih relate dengan NGO di Jakarta. Masih tetap Elvi dengan spritnya tinggi sebagai aktivis. Tempat aku banyak bertanya trik dan tips mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Sampai kemudian aku dapat beasiswa dari InWent yang berafiliasi dengan DAAD untuk short course di Berlin, Elvi adalah teman pertama yang aku telepon saat itu. ‘Vi, gua approved ke Jerman.”
Tentu saja, happy dan bangganya Elvi bukan alang kepalang saat itu.
“Kapan lu berangkat? Pas musim apa di sana? Nanti elu gua kasih tahu gimana kalo di sana,” teman saya yang saat itu memang sudah berpengalaman tinggal di Eropa ya hanya Elvi.
“Gua temenin, beli baju-baju musim dingin di FO di Bogor. Beli di Jerman mahal, jadi kita cari di Bogor aja, di FO murah-murah. Kalo beli baju musim dingin di Jerman tunggu musim panas baru pada diskon semua.”
Bahkan sampai beberapa pakaian musim dingin simpanannya pun diwariskan pula kepadaku.
Semua tentang culture, makanan dan masyarakat di Eropa, Elvi bagikan kepadaku. Masih terngiang saat dia selalu mengingatkanku untuk tidak lupa sering-sering memberi salam orang di sana, terutama yang sering berjumpat misalnya, petugas di apartemen tempat saya tinggal dan sebagainya.
Mengingatkan untuk membawa sekadar suvenir-suvenir mini khas Indonesia khususnya Lampung. “Nanti pasti berguna kok, bisa dibagi ke temen sekelas, guru-guru, orang-orang InWent, dan lain-lain,” begitu katanya yang ternyata berbukti benar. Beruntungnya aku.
Dia juga “mengajari” untuk mengikuti semua ketentuan yang dipersyaratkan dalam pembuatan visa. “Apa pun itu, ikutin aja. Yang penting lu masuk dulu di Jerman, udah sampe Jerman mah aman, Fi, di Jerman banyak orang Turki kok , cewek-cewek Turki juga berjilbab semua.”
Dia malah menambahkan, “Nanti elu yang keren ya, kayak gadis Turki gitu, pake legging dengan mantel di bawah lutut.”
“Nanti pas masuk bandara yang di Amsterdam, tutup kepalanya pake kupluk dulu ya, atasannya kerah turtle neck gitu atau pake syal dililit di leher, tetap ketutup tapi keren.”
Semua dia ingatkan. Termasuk hal yang remeh-temeh dan lucu-lucu. Misalnya, saat kami sedang ngemil T*ngo, dia bilang, ”Nanti di Jerman, yang kayak begini namanya Knoppers, ntar lu beli ya, enak deh, lu bawain gua juga ya, tapi lu jangan bawain gua miniatur eiffel, gua udah banyak,” kami pun tertawa.
Sampai, aku sudah di Jerman pun, melalui email-email-nya, dia tetap mengingatkan untuk coba lagi cari beasiswa yang untuk S2. Begitulah Elvi, yang nickname-nya ketika di Teknokra, dilafazkan sama dengan nickname-ku, Vi. Sampai-sampai kami kadang bingung kira-kira yang dipanggil, vi yang mana.
Sebenarnya di angkatan kami ada tiga vi sebab ada juga yang bernama Evi Azwari yang lafaz nickname-nya kalau sedang di Teknokra adalah vi juga. Pernah suatu ketika, saat itu kalau tidak salah Kak Ari Wahyu Priadi memanggil, “Vi…” dan kami bertiga yang sama-sama ada di Teknokra pun menengok semua.
Ingat kisah itu, sangat lucu sebenarnya. Kisah tentang sesama vi yang sama-sama nengok bareng. Tapi kami bareng tidak hanya di momen lucu. Momen penuh perjuangan juga banyak kenangan bersama Elvi.
Saat masih kuliah itu kami pernah merasakan krismon di tahun 1998. Tahun-tahun aku sedang Tugas Akhir dan Elvi juga sedang skripsi. Masa krismon itu hampir semua harga barang mahal karena kurs melejit, termasuk harga semua ATK.
Sebagai mahasiswa yang sedang menyusun laporan TA, saat itu aku cuma mampu beli ATK jika sedang ada operasi pasar ATK di Fakultas Pertanian. Itu pun belinya sumbangan berdua Elvi.
Maka, kami berdua pun sumbangan berdua beli kertas HVS 70 gram. Satu rim dibagi dua. Membaginya pun dengan cara simple tapi harus iklas. Tumpukan kertasnya diukur dengan mistar berapa centimeter ketebalannya lalu dibagi dua. Nah, harus saling iklas jika ada yang kurang satu-dua lembar kertas. Namanya juga pakai mistar. Bukan dihitung one by one yang pasti akan makan waktu lama dan ribet.
Pita printer juga beli satu berdua. Jadi dipakainya bergantian. Zaman kami kuliah dulu untuk print ketikan di tempat rental belum pakai catride, alias masih teknologi jadul menggunakan pita printer yang menimbulkan suara kenceng banget.
Itu kisah ngenes-ngenes lucu sih.
Ya Allah, Vi….
Bahkan, hingga kau sudah tiada pun kenangan tentangmu adalah semua yang membuatku happy.
Dan, pertemuan kita di Papa Joe Art Studio/Toko Herbal itu adalah pertemuan kita terakhir.
Tetap selalu happy di sana ya….My another Vi.
Al Fatihah. []
—————–
Trufi Murdiani, alumnus Surat Kabar Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung.
