Human

Dari Pluralitas ke Integrasi Beragama

Oleh Hosinatun

KAJIAN mengenai keagamaan dan manusia selalu menjadi topik menarik yang diperbincangkan, keduanya memiliki ruang lingkup tersendiri di dalam pembahasan. Akan tetapi keberadaan keduanya saling mendukung terciptanya pemahaman global secara ilmiah (real). Secara sederhana, manusia merupakan makhluk yang mempunyai ransangan tinggi tentang sosial.

Sebagian besar dari penduduk bumi membutuhkan campur tangan orang lain dalam melangsungkan hidup meraka pun sebaliknya meraka melibatkan diri dalam upaya membantu kelangsungan hidup orang lain.  Memberi dan menerima, seperti dua mata sisi yang saling bersentuhan.

Pada dasarnya, beberapa  asumsi mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk  individu karena keberagaman sikap dan pola pikir yang tidak searah. Namun,  logika membuktikan dengan fakta yang benar-benar terjadi di lapangan bahwa tersebab keberagaman itulah hubungan sosial terlaksana.

Jika di bumi ini semua manusia menjadi bangsawan, elit politik, dan petinggi-petinggi Negara. Lalu siapakah yang akan menggarap tanah menjadi sepetak ladang yang menghasilkan pangan?  Bagaimana laut, hutan, dan semua sumber daya alam terkelola dengan baik?

Maka, pantaslah hubungan sosial tercipta karena tingkat kebutuhan yang tidak sama. Pedagang butuh kepada pembeli, orang kaya  mempekerjakan  yang miskin, pelajar membutuhkan pengajar, dan segala macam-macam bentuk hubungan sosial lainnya. Begitu pula dalam agama, integrasi harus selalu mengawal masyarakat kepada kehidupan yang terarah (harmonis), guna menunjukkan sifat kemanusiaannya dengan memanusiakan manusia antar umat beragama. 

Emile Durkheim mengerucutkan agama dengan teori fungsional berpola deduktif logic. Ia memandang agama sebagai pembentuk kelompok sosial yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Melihat Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan segala keberagamannya, termasuk keberadaan enam agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, dan Konguchu. Perbedaan keyakinan dan keimanan terkandang menimbulkan  kesenjangan sosial, terciptanya dinding pembatas yang memutus tali persaudaraan. Padahal di bawah kebesaran Bhinneka Tunggal Ika, semua itu diperlakukan sama tanpa deskriminasi-deskriminasi tertentu.

Menurut Durkheim, agama sebagai usaha teoritis manusia dalam memahami dunia secara luas. Karena dalam melangsungkan hidupnya mereka menjalin hubungan dengan orang lain sebagai pasangan yang saling membutuhkan di suatu keadaan. Masyarakat memiliki kesadaran individual dan kolektif yang pada akhirnya membentuk moralitas. Ia harus bertindak sendiri dan dimana ia mengajak orang lain dalam menyelesaikan.

Moralitas terbentuk oleh kesepakatan dan musyawarah orang banyak, tidak sepihak atau bukan merupakan kesepakatan secara pribadi. Karena moralitas sebagai upaya kohesi sosial, ruh atau spirit keagamaan yang secara global harus dipatuhi oleh semua pihak (masyarakat) dengan kehidupan mereka yang selalu bersama-sama. 

Religius Experience merupakan bentuk pengakuan mereka terhadap agama yang dipeluknya, mendorong masyarakat melakukan ritual keagamaan baik secara individual maupun secara kolektif. Seperti misalnya prosesi pernikahan, budaya-budaya religius dan beribadah berjamaah. Ritual keagamaan ini cenderung memberikan kesimpulan pemahaman tersendiri tentang kepemilikan dan solidaritas yang memadu integritas.

Pemikiran Durkheim mengenai agama kontraversional dengan gerakan penegakan syariat Islam di Indonesia. Sebab, kemajemukan bangsa Indonesia tidak bisa didasari oleh keegoisan semata, rasa benar sendiri dan menutup pintu untuk saling bersentuhan dengan komunitas lain. Ini tentu sulit mencapai Teori Durkheim yang memprioritaskan kesatuan sosial.

Adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), timbulnya pemahaman tunggal (mono perspektive), sehingga tidak ditemukan lagi relevansi Teori Fungsional Durkheim pada struktur sosial kehidupan umat beragama dalam gerakan tersebut.  Menindaklanjuti degradasi moral tersebab kriris keagamaan yang terjadi dimana-mana, mendefnisikan jihad sebagai simbol kekerasan, pengeboman, teroris, pembunuhan yang menghilangkan banyak korban nyawa dan menimbulkan dendam yang tidak pernah ada ujungnya.

Maka perlu kiranya mempertegas kembali kesadaran untuk merepresentasikan kesempurnaan agama sebagai rahmat di muka bumi. Tidak melakukan kekerasan sekecil apa pun yang mengatasnamakan agama agar tidak memicu terjadinya konflik sosial yang berujung pada perpecahan. Menjadikan agama sebagai kohesi sosial dan alat legitimasi tatanan sosial dalam membentuk masyarakat majemuk. Guna mempertahankan kebugaran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang toleran, beradab, dan anti radikal. []

———-
Hosinatun, Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif di Kelas Puisi Bekasi dan Lensa.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top