Yamaha Vega tanpa Rem
Oleh Sudarmono
KANTOR redaksi Lampung Post pada sepotong sore, sekitar tahun 2001. Zulkarnain Zubairi, teman selapak di rumah berita itu singgah ke meja tempat saya sedang merangkai kata. Dia bilang “Mas, saya mau pulang ke Liwa beberapa hari. Tolong motor saya bawain, dong. Mas Dar nggak bawa motor, kan?”
“Siap, Zul. Tau aja lo, motorku lagi rusak.”
Saya memang memanggil dia dengan suku kata pertama namanya. Sebab, waktu itu dia belum “naik tahta” menjadi Udo Z Karzi.
Bus antarkota telah mengirimkan dia ke Liwa. Sementara, setelah beres halaman, saya menuju tempat parkir dan segera mengengkol sepeda motor bebek milik sohib penyair ini.
Tanpa banyak pikir, persenling saya masukkan, dan gas saya betot. R2 warna hijau itu meluncur menuruni jalan kantor yang curam dan berhadapan langsung dengan jalan by pass Soekarno Hatta.
Arus jala protokol yang merupakan lintasan utama antarprovinsi itu ramai. Kendaraan besar dan berat saling kebut di sini. Dan, ketika hampir bertemu dengan lintasan itu, saya ingin menghentikan kendaraan. Rem kaki saya injak dalam, motor tetap.meluncur deras. Rem tangan saya remas sekuatnya, motor buatan tahun 1990 itu tak berhenti. Saya panik di turunan tajam itu. Setang saya banting ke kiri, dan berakhir di selokan depan kantor.
Apalah cerita beginian di ulang tahun ke 50 Udo Z Karzi?
Masih untung, saya hanya cedera sangat ringan. Dalam hati, kenapa Zul nggak bilang kalo motornya tanpa rem. Sebagai manusia biasa, saya vonis Zul bersalah.
*
Mengingat kisah 19 tahun yang lalu itu, saya mencerna kembali relasi saya dengan Udo Z Karzi. Kawan asal Liwa ini kerap ingin “mencelakakan” saya.
Pertama, seperti kejadian yang menjadi prolog tulisan ini. Kedua, beberapa kali doi memaksa saya ke dalam pusaran diskusi dia yang arasy-nya begitu jauh tinggi dari pijakan saya. Ketiga, –ini mungkin dosa dia paling besar kepada saya–, dia meminta tulisan ini.
Pada konteks poin kedua, saya beberapa kali “dipaksa” mendengarkan penjelasan dia tentang suatu fenomena tentang budaya Lampung yang saat itu sedang menggejala. Antara lain soal polemik pemakaian (atau penggantian?) penulisan Ruwa Jurai menjadi Khuwa Jurai dan segala turunannya. Yakni, ram jadi kham, puari jadi puakhi, Sekalabrak jadi Sekalabekhak, dan seterusnya.
Entah apa motifnya, Zul memosisikan saya seolah sejajar dengan isi kepalanya. Yang lebih parah lagi, dia seperti membuang pengetahuan dan kisah pertemanan dengan saya yang bernama Sudarmono Wongso Pawiro. Alih-alih tahu budaya Lampung, meskipun lahir dan tinggal di Lampung, jika ada orang Lampung ngobrol, saya cuma tahu maksudnya.
Meskipun demikian, sebagai mitra diskusi, saya berusaha mendengarkan. Lalu, untuk menunjukkan kesejajaran, saya juga sering menanggapi, bahkan mendebat. Ya, mendebat tanpa ilmu.
Pada posisi ini, saya merasa mengulang lagi dipinjami motor tanpa rem. Argumentasi saya meluncur hanya mengandalkan logika yang tidak seberapa. Lebih fatal lagi, saya ikut menghujat orang-orang dan institusi yang menjalankan kebijakan dari atasannya yang melakukan perubahan. Saya “diracuni” sehingga saya jadi mengerti juga filosofi budaya Lampung yang indah ini.
Pada area yang lebih universal, saya juga punya catatan tentang Udo Z Karzi. Menurut saya, dia adalah pribadi yang lebih dari separuh hidupnya, baik fisik maupun psikisnya, terisi oleh literatur. Dia hidup dan menghidupi diri dan keluarganya dari karya berpikirnya. Dan tentu saja, dia lancar jaya menulis itu karena banyak buku dan sumber ilmu lain yang dibaca. Tak salah jika sampai hari ini dia menggeluti profesi sebagai “tukang tulis” dan tukang buku.
Sungguh, saya mengecilkan dia untuk urusan pekerjaan fisik (tidak termasuk mengetik). Saat sepeda motornya mogok di jalan, dia lebih memilih menitipkan ke rumah orang untuk kemudian bantuan untuk menarik (maksudnya menyeret) atau memperbaiki. Soal itu, saya sudah beberapa kali.
Tubuhnya yang ramping, kulitnya yang putih, dan jari-jemarinya yang lentik juga tak meyakinkan jika dia membantah statemen saya ini. Tetapi saya maklum, Sebab latar belakang keluarganya juga berasal dari priyayi Lampung yang cukup mapan.
Satu lagi menurut saya kontroversial di tubuh Udo Z Karzi adalah nyalinya yang tak seukur dengan daya fisiknya. Saya yakin, doi tidak pernah berlatih silat atau setidaknya embek-embekan (ini istilah domestik anak-anak zaman dulu untuk permainan gulat kampung dengan kata “embeeek” untuk menyerah kalah yang kemudian lawan akan melepas). Tetapi untuk mempertahankan pendapatnya, seolah dia berani adu apa pun, termasuk fisik.
Tetapi, soal ini dia pernah kena batunya. Pada suatu forum rapat proyeksi di Lampung Post, dia mengkritik hasil bidikan fotografer dia anggap buruk. Kritik bahkan penolakan itu sebenarnya wajar. Sebab, saat itu dia adalah salah satu asisten redaktur. Artinya, dia adalah salah satu “kuasa pengguna karya foto” yang dihasilkan.
Saya tak sebut nama fotografer itu, tetapi usai rapat, si tukang potret ini marah. Dia merasa direndahkan dan “dibunuh karakternya” di hadapan sidang redaksi.
Adu argumentasi berlangsung antara keduanya. Udo Z Karzi menganggap mekanisme yang benar untuk memperbaiki keadaan memang harus di forum, sementara pihak lain menganggap ada maksud tertentu.
Argumentasi berlanjut saling umpat, saling tunjuk, sama-sama berdiri, sang fotografer mengejar, dan Udo lari… hahaha.
Saya dan kawan-kawan membekap keduanya dan melerai. Dan, cerita ini hanya lelucon saja, bukan drama seribu dendam yang menggambar kejadian tragis. Cuma ingin memberitahu Udo, bahwa tidak semua orang bisa menyelesaikan semua urusan dengan pikiran argumentatif.
Cukup banyak kenangan saya dengan Zulkarnain Zubairi ini. Semua asyik. Termasuk ketika kami, saya, Rahmat Sudirman, Muhammad Taufik, dan Zulkarnain Zubairi, di sela waktu liputan, kami belajar mengendarai mobil di PKOR Way Halim. Dengan minibus Suzuki Carry buatan 1987, kami bergantian menjajal. Saya yang kebetulan sudah bisa duluan menjadi pengarah tentang bagaimana kengendalikan setir dengan mesin 1.000 cc tersebut.
Pada giliran Udo Z Karzi, kami yang berada di kendaraan itu hampir celaka. Mobil terpacu, setir tak terkendali, semua ban terjun ke gulutan kebon sawi, dan mengarah lurus ke tiang listrik. Beruntung, saya refleks menarik rem tangan dan mobil berhenti tepat semeter sebelum tiang listrik beton. Alhamdulillah…setelah menghela napas. Dengan ringan Udo bilang: “Wah, kalo kita kecelakaan tadi, judul beritanya apa, ya….?”
Kampret lo, Do….eh, cebong…, eh bukan…bukan, maaf. Kamu sohibku yang cerdas, relikius, unik, dan menghibur…hehehe. []
#beruntungkenaldenganmu
——————————
* Ditulis untuk buku Mencari Lampung dalam Senyapnya Jalan Budaya: Kado 50 Tahun Udo Z Karzi (dalam proses terbit).