Panggung

Tetap Hidup Meskipun tidak Diakui

Oyos Saroso HN. | Ist

Oleh Oyos Saroso HN

SAYA belajar menulis puisi sejak pertengahan 1980-an. Saya makin gila baca karya sastra sejak sekolah kami pindah ke sebuah desa yang dikenal sebagai daerah “miskin”. Sekolah baru kami (setingkat SMA) memiliki ruang perpustakaan dengan koleksi buku sastra yang lengkap. Ruang bacanya luas dan nyaman.

Ada dua lokal gedung untuk perpustakaan. Satu bangunan untuk koleksi buku-buku lama (dari sekolah lama yang ada di dekat Sungai Pemali, Brebes). Bangunan lain berisi koleksi buku baru. Umumnya buku berbahasa Inggris atau buku bantuan dari sejumlah lembaga.

Kenapa perpustakaan sekolah kami sangat lengkap koleksinya? Itu tak lepas dari peran kepala sekolah kami, Drs. Abdul Honi. Ketika Pak Honi baru pulang sekolah di Amerika Serikat, sekolah kami mendapat bantuan buku banyak sekali. (Kala itu Pak Abdul Honi termasuk kepala sekolah teladan di Jawa Tengah sehingga dikirim ke Amrik).

Kalau saat itu ada lomba murid paling banyak baca buku atau paling banyak pinjam buku di perpustakaan, setidaknya saya masuk tiga besar. Kalau murid lain buku perpustakaannya banyak yang kosong, buku perpustakaan saya sudah penuh hanya dalam pertengahan semester.

Jadi, saya mengenal Chairil Anwar, Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, Umar Kayam, Tagore, Kafka, dan sastrawan dunia lainnya dari koleksi buku perpustakaan sekolah kami. Tak hanya buku, perpustakaan kami juga punya koleksi karya penyair Jawa Tengah dalam bentuk antologi puisi. Bentuknya masih berupa hasil jilid kertas ukuran folio. Saya pun mengenal penyair Jateng seperti Handry TM dan Eko Tunas dari antologi sederhana itu. Kalau tidak salah ada juga nama penyair Yoyik Lembayung.

Karena suka membaca dan senang pelajaran Bahasa Indonesia, nilai ebtanas saya untuk mata pelajaran itu pun hampir 9. Saya pun kemudian makin yakin bisa kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (tidak mungkin di jurusan nuklir atau hukum).

😂
😂

Ketika saya kelas dua (1986/1987) saya mempraktikkan menulis puisi. Lumayan banyak puisi-puisian yang saya buat. Beberapa di antaranya untuk gadis yang saya taksir ().

Pada tahun itu salah satu puisi saya dimuat di majalah Sahabat Pena terbitan Bandung. Itu adalah majalah Pos dan Giro. Belinya di kantor pos. Yang mengelola rubrik sastra adalah Korie Layun Rampan dan Alinafiah Lubis. Saya baru kalau menulis itu dibayar. Hal itu saya ketahui setelah saya menerima kiriman lewat pos wesel senilai Rp5.000 untuk satu judul puisi yang dimuat majalah Sahabat Pena. Dengan uang itu, saya traktir beberapa sohib untuk makan bakso atau nasi lengko di warung Bu Yatno. Harga semangkuk bakso atau sepiring nasi lengko di kantin Bu Yatno tidak sampai Rp200.

Ketika kemudian kuliah di Jakarta, saya tetap banyak membaca karya sastra. Sayangnya, koleksi buku sastra di kampus kami tidak sebanyak di sekolah saya. Akhirnya, saya pun berburu membaca ke sejumlah perpustakaan di luar kampus. Dan itulah yang akhirnya membuat saya “tersesat” di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya sempat jadi “penghuni” TIM karena bertemu Mas Jose Rizal Manua (uda asli Sumbar yang fasih berbahasa Jawa). Saya nyantrik di teaternya Mas Jose selama beberapa tahun sambil belajar sastra.

😂

Saat itulah saya sudah pede untuk menulis puisi, opini, dan esai sastra. Eh, eh honornya ternyata lumayan. Jadi, jauh sebelum pindah kerja ke Lampung puisi dan esai saya sudah banyak dimuat di koran terbitan Jakarta. Lucunya, belakangan saya baru tahu bahwa kewarganegaraan sastra tidak jelas: menulis puisi di Jakarta, KTP masih Jawa Tengah, tidak diakui sebagai penyair Jawa Tengah atau penyair Jakarta.

Ketika saya pindah ke Lampung (dan masih menulis puisi dan esai) hal itu kembali terjadi: nama saya tidak ada dalam peta sastra di Lampung.

Apakah kewarnegaraan sastra itu penting? Bagi sebagian orang penting. Sebab itu terkait pengakuan. Namun bagi saya itu tidak penting. Toh sampai hari ini saya tetap hidup dan masih bisa menerjemahkan kesiur angin, gerimis rinai, dan daun kering jatuh. []

__________________
Oyos Saroso HN, wartawan-sastrawan, tinggal di Kemiling, Bandar Lampung.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top