Esai

PPN XIII: Cermin Ketidakbisaan Berlaku sebagey Profesional

Penutupan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII di Jakarta, 14 September 2025. | Ist

Oleh Doddi Ahmad Fauji

BARU pada Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII ini saya mengirimkan puisi untuk ikut dikurasi, dan alhamdulillah lolos. Pada berbagey ajang festival sastra (puisi), saya tidak pernah ikut serta mengirimkan karya untuk dikurasi. Alasannya sederhana, karena waktu dapat email dari panitia festival puisi dari Malaysia, tergerak untuk ikut. Namun kemudian, lewat email itu pula ditanyakan, mau nginap di hotel apa, di mana dijelaskan harga-harga per hotel, dan ternyata itu ditanggung oleh peserta. Juga perjalanan ke Malaysia, akan menggunakan penerbangan apa, biaya tiketnya tidak ditanggung panitia. Jidat saya langsung kerung. Email itu saya terima sekira tahun 2010. Oh berarti aku akan jadi jelangkung: datang tidak diongkosi dan pulang tidak dikasih honor. Aku menolak jadi jelangkung.

Benar memang, panitia dari Malaysia itu mengirimkan surat rekomendasi agar aku mencari dana sendiri dengan mengandalkan rekomendasi dari panitia di luar negeri, yang bila diuji kredibilitasnya, masih diragukan. Itu panitia penyelenggara festival, bukan dari lembaga negara Malaysia, melainkan dari sebuah komunitas yang sedang menjalankan usaha event organizing di bidang sastra.

Upaya panitia menjadi EO di bidang perpuisian, juga bertebaran di tanah air, dan mohon maaf, itu juga terjadi pada acara Jilfest (Jakarta International Literary Fastival) ke-1 dan kedua (tahun 2012, di mana saya diminta oleh Ahmadun Yosi Herfanda, dapat membantu menjadi LO tukang ngontak calon peserta). Semua peserta harus berangkat ke Jakarta dengan uang sendiri. Bagiku sebagai penulis puisi yang kuanggap sebagey profesi, maka jelas itu tidak asyik. Harus membayar sendiri, menunjukkan derajat seseorang menjadi tidak profesional sebagai pegiat perpuisian.

Profesional itu adalah, apa yang kita geluti dipertanggungjawabkan dengan dua syarat: Kompetensi di bidangnya, dan memiliki daya responsibilitas tinggi, dan berkat dua syarat tersebut, seseorang itu kemudian menerima bayaran, dan bukannya mengocek uang saku sendiri. Mendingan kalow kena ke orang yang empunya dan berlebih, lah kalow jatuhnya ke orang sengkleh, repotlah untuk ikut festival-festivalan yang tidak profesional.

Ketidakprofesionalan itu juga terjadi pada Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsyi) yang pernah digelar dua kali oleh Badan Bahasa. Munsyi lebih bikin olohok lagi. Sebab yang dimaksud kategori ‘sastrawan’ peserta musnyi, ukurannya bukan dari portopolio dan kompetensi sang sastrawan, melainkan dari buku antologi puisi tunggal yang sudah diterbitkan. Sementara, kita tahu persis, di era kemudahan menerbitkan buku, siapa pun bisa menerbitkan buku apa pun, asal punya dana sendiri.

Maka, dari asal buku bisa terbit tersebut, anak kemarin sore yang masih kategori ‘penyair calon’, bisa saja menjadi peserta Munsyi bila lolos kurasi.

Tetapi PPN XIII membuat saya ingin mengirimkan karya, untuk mengetahui banyak hal. Hal pertama, anasir bahwa penyair menjadi jelangkung terbukti sudah.

Anasir kedua, bahwa panitia tidak bisa menempatkan kepenyairan sebagai sebuah profesi mulia juga terbukti. Para penyair yang lolos kurasi, tidak semuanya bisa berangkat, disebabkan dia harus menjadi jelangkung. Salah satu peserta yang berprofesi buruh harian lepas, tak bisa meninggalkan pekerjaannya, sebab ia harus bertanggungjawab kepada anak dan istri. Belum lagi ongkos untuk bolak-balik dari daerah ke Jakarta, tak ada yang menanggung. Akhirnya ia hanya bisa gigit jari melihat foto-foto selfie yang di-share di WAG oleh peserta lain, sementara dia ada dalam grup WAG tersebut.

Itulah ironi yang harus dijawab oleh semua kalangan!

Seorang peserta lain mempertanyakan, apa syarat penyair bisa baca puisi di panggung utama, yaitu di Teater Kecil? Apa melalui kompetisi dulu, misalnya setiap peserta wajib kirim video baca puisi, kemudian dinilai oleh juri, siapa saja yang layak tampil di hari penting dan di panggung utama, dan siapa yang akan ditempatkan baca puisinya di tempat lain di tengah keramaian. Penunjukkan itu, apa karena faktor kedekatan dengan panitia, atau asal tunjuk saja, atau berdasarkan perwakilan daerah, atau apa?

Ada banyak catatan positif sekaligus minor. Hal positif dari PPN XIII adalah, masih seperti dulu, berusaha mensilaturahmikan antar penulis puisi. Orang lama, begitu ketemu, yang terjadi adalah temu kangen. Namun ada hal amat pokok dan penting yang mestinya menjadi bahan pembicaraan serius dari helatan seperti PPN XIII, apakah puisi benar-benar menjadi marwah dari pembangunan jadi diri manusia dan bangsa, atau baru sekadar alat untuk pamer diri?

Dalam selarik puisi yang ditulis dengan sungguh-sungguh, ada permenungan yang menohok ruang batin (pikiran dan perasaan). []

REFLEKSI PPN XIII

Betapa menyedihkan
ketika para peyair lebih rajin
memposting foto selfie
ketimbang mengirimkan
larik-larik yang mengusik
menggelitik dampal kaki langit
seakan ia tak percaya diri
puisinya akan melahirkan permenungan

Puisi terbaik selalu dari waktu ke waktu
berupa sekelumit kalimat yang menggugat
membentur kesadaran alam pikir
bahwa penyair sudah harus berhenti
menjadi jelangkung yang datang
tidak diongkosi
pulang tak dikasih honor

Anjrit!

Bandung, 2025

——–
Doddi Ahmad Fauji, penyair-jurnalis

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top