Nadiem (1)

Oleh Doddi Ahmad Fauji
DIBACA Nadiim (dua harkat). Namun hati saya, ketika melapalkannya, suka menjadi Nadi-yem, entah kenapa, menjadi nama yang identik dengan ART, senada dengan Iyem, Sarniem, dll. Tiada maksud apa pun saat meluncur menjadi Nadiyem, semata naluriah dan instingiyah, namun nyata, saat menjadi mentri, ia adalah ART dari Presiden dalam rumah tangga besar Indonesia.
Dalam konteks tradisional, ART umumnya nurut kepada majikan, dan mengerjakan apa yang diminta majikan. Namun setelah era reformasi, ternyata ada orang yang mendaftar jadi ART, ujung-ujungnya maling kekayaan majikan. Tentang ART yang maling ini, sering diberitakan. Ada juga ART yang ternyata pintar menabung dan berbisnis. Saya teringat sama gadis bernama Tarni, yang menjadi ART di mana saya nge-kost waktu awal-awal di Jakarta. Ada sekitar 8 kamar yang dihuni para gadis yang bekerja kantoran. Nah, urusan cuci pakaian dan bersih-bersih kamar, dilakukan oleh ART Tarni itu. Mesin cuci dan tempat jemuran, sudah tersedia, tentu milik majikan.
Suatu hari saya plenga-plengo ke dapur Pak Haji, pemilik rumah kos. Si Tarni nanya, “Kok kayak kebingungan, Bang?”
Saya tuturkan, sedang butuh uang mendesak Rp1 juta, nyari Pak Haji, mau pinjam uang. Si Tarni memberi solusi, kalau mau pinjam sejuta, dia juga ada. Lalu saya diberi pinjaman, dan saya tanya, “Kamu banyak duit, ya. Bisa menjamin uang?”
Ia bilang, selama ini ia menabung, sudah terkumpul Rp32 juta. Biaya hidupnya relatif murah, karena untuk mamin (makan-minum) kan sudah ditanggung majikan. Ia diberi kamar sendiri, dan mengoperasikan urusan dapur. Nah, yang cuci pakaian dan bersih-bersih 8 kamar itu, dalam sebulan, nilainya lebih besar dari gaji yang ia terima dari Pak Haji. Tahun 2001, ia punya tabungan jauh lebih besar, dibanding saya yang berangkat kerja pakai seragam bergambar kepala burung rajawali, warna biru seperti sopir taksi Blue Bird, dan tidak sekali dua kali bertemu menteri. Tapi, tak punya tabungan. Huhu… gaji wartawan itu kecil, Lur! Angpow, kan sesekali saja kuterima, kalau sudah kepepet. Kata sekian kawan, bodoh kamu! Ya, memang aku bodoh.
Rupanya Nadiem ini seperti Tarni. Ia pandai menabung dan berbisnis, sehingga punya skondan mencapai 400 orang. Para skondan ini, setidaknya, sekali lagi setidaknya, turut serta dalam proses proyek terkait dengan Kurikulum Merdeka. Anggaran pendidikan itu besar loh, 20% dari APBN. Sekali ada perubahan, uang menggelontor cukup besar. Mari kita lihat salah satu contoh kecil.
Saat SMA diganti nama menjadi SMU, yang harus mengubah judul novel Gita Cinta dari SMA menjadi Gita Cinta dari SMU, di situ harus ada perubahan bet dalam seragam siswa. Kita pukul rata saja, jumlah SMA negeri dan swasta di Indonesia pada tahun perubahan itu, mencapai 10.000, kalau sekarang kisaran 14.600-an.
Rata-rata sekolah punya kelas mencapai 15 (kelas 1, 2, 3), dan tiap kelas dihuni 30 siswa. Maka akan terdapat 10.000 sekolah X 15 kelas X 30 orang = 4.500.000 siswa. Tiap siswa punya dua seragam, maka harus mengganti 9 juta bet seragam siswa. Misalkan harga bet dan pemasangannya Rp.250 (untuk tahun itu) berarti 9 juta X 250 = Rp.2.250.000.000.
Itu tahun dulu, kalau tahun sekarang, dengan jumlah sekolah lebih dari 14.000, dan harga per bet dengan pemasangannya Rp 5.000, uang yang digunakan hanya untuk mengganti bet, bisa mencapai Rp 65.250.000.000. Ini baru untuk mengganti bet, blm dihitung raport, plank, stempel, dan atribut lainnya.
Ini mengganti kurikulum, jelas dana yang harus ‘ditandean’ amat besar. Dengan memasang 400 orang skondan, ya bisa lumayan kan jumlah yang terkeruk?
Jejak rekam Nadiem memang seorang pebisnis, yang sukses dengan Gojek dan Gopay. Tentang hal ini, hadirin anggota sidang rakyat, bisa punya data lebih rinci, bisa ‘seurcing’ di Mbah AI Gemini. Mau tak mau, otak dan mental bisnisnya itu akan melekat dan muncul ketika menangani sebuah masalah yang di dalamnya bergelimang uang.
Jika bisa disebut kesalahan, itulah kesalahan terbesar Jokowi dalam memilih ART untuk mengurusi pendidikan. Jokowi bukannya mengangkat ART dari kalangan yang benar-benar ahli dalam pendidikan, berkutat di bidangnya, melainkan dari kalangan pebisnis yang lulusan Harvard.
Hal yang juga menjadi keprihatinan cukup banyak guru, sehubungan saya ada di 20-an grup guru dari berbagai derah, adalah tradisi dari luar, Amerika, yang dibawa dan hendak ditanamkan dalam kancah pendidikan Indonesia. Salah satu tradisi dari luar itu ialah liberalisme. Nah, dalam Kurikulum Merdeka, unsur liberalisme itu terbaca secara tersirat dan tersurat. Namanya juga merdeka, yang dalam beberapa sisi mengandung arti ‘bebas’. Sangat jelas dong ada kebebasan di sana.
Kebebasan apa? Yang ditakutkan tentu saja kebebasan yang kebablasan, yang bibit-bibitnya mulai tampak. Lalu harus bagaimana? Ya, kita tunggu saja gebrakan menteri pendidikan yang terbaru, apakah benar menggebrak, atau hanya gaung di ruang kosong. []
———–
Doddi Ahmad Fauji, sastrawan
