Bukan Narasumber yang Kompeten


TERNYATA saya bukan narasumver yang kompeten. Buktinya, saya terpaksa harus mengecewakan dua cewek wartawan kampus sebuah perguruan tingggi di Lampung.
Jauh-jauh hari doi sudah memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud hendak mewawancarai saya mengenai adat dan budaya Lampung. Sebagai mantan jurnalis pers mahasiswa, peminat seni-budaya, dan yang terpenting, saya ulun Lampung, tentu saya tak bisa menolak permintaan tersebut.
Singkat cerita, bertemulah kami–dia bersama seorang teman jurnalisnya–di sebuah tempat (sengaja tidak disebut, ntar dikira promo lagi ), Sabtu, 20/11/2021 untuk sebuah wawancara.
Setelah basa-basi sedikit, dimulailah wawancara itu.
Kata cewek yang sebelumnya membuat janji ketemuan, “Kami ingin bertanya kepada Bapak mengenai adat begawi…”
Waduh, saya langsung tepok jidat. Pertanyaan ini teknis sekali kayaknya. Sementara, saya dan keluarga besar saya di kampung tidak pernah menggelar acara begawi.
Kan gelagapan jadinya. Hahaa…
“Kirain mau nanya yang lain. Saya sedikit paham tentang begawi karena pernah diundang menghadiri prosesi begawi dan sedikit baca-baca dari berbagai sumber. Tapi sebagai sahibul hajat atau panitia begawi, saya tidak pernah,” jelas saya.
Repotnya, dua pewawancara, sama sekali tidak mengerti apa itu begawi. Keduanya kuliah semester lima. Yang satu berasal dari Pontianak dan satu lagi dari Palembang. Ke Lampung saat diterima kuliah itulah.
Sebenarnya tak masalah jika mereka rajin mencari tahu apa itu begawi, menyaksikan sendiri acara begawi, dan tidak bertanya ke saya. Hahaa…
Nyatanya, mereka sudah menyaksikan begawi tersebut belum lama ini. Jadi, tanpa wawancara saya, mereka sudah bisa membuat reportase atau feature tentang begawi.
Saya diganti dengan narasumber lain yang lebih paham dan punya pengalaman begawi. Begitu yang benar.
Setelah mewanti-wanti untuk tidak mengutip apa yang saya katakan, saya mulai ngoceh sedikit mengenai adat Lampung, Saibatin dan Pepadun, perkawinan adat, nayuh dan begawi, butetah dan cakak pepadun, dll.
Saya tegaskan lagi, “Informasi dari saya dijadikan latar atau backround saja untuk pengetahuan. Bisa juga saya salah. Untuk memastikan wawancara dengan orang yang lebih pas. Jadi, saya tak perlu dikutip.”
Dari raut wajah keduanya, saya tahu mereka kecewa. Tapi, mau gimana lagi, saya memang tak layak kutip.
Tabik. []
* Gambar hanya ilustrasi, gak sesuai kenyataan.
