Roh Motinggo Busye pun Menitis ke Para Sastrawan Lampung
Oleh Susilo Sudarman
Motinggo Busye bukan sekadar nama besar dalam sejarah sastra Indonesia, melainkan roh yang hidup dalam denyut karya para sastrawan Lampung lintas zaman. Dari puisinya yang menggetarkan hingga dramanya yang menggugat, ia mewariskan semangat pencarian, keberanian melampaui batas, dan kejujuran menatap batin manusia.
Roh itu menitis—dalam lirik Isbedy, dalam teater Iswadi, dalam esai Udo Z Karzi, hingga dalam narasi Ziggy dan Angelina Enny.
Sastra Lampung, karenanya, bukan sekadar jejak lokalitas, tetapi pantulan nyala jiwa Motinggo Busye yang terus berpindah tubuh, terus menulis, dan terus hidup.
Motinggo Pelopor Imajinasi Modern
Motinggo Busye yang bernama asli Bustami Djalid, lahir di Kupangkota, Telukbetung, Bandar Lampung, 21 November 1937, dan wafat di Jakarta, 18 Juni 1999. Ia dikenal sebagai penulis superproduktif lintas genre: puisi, cerpen, novel, dan naskah drama. Selain itu, ia juga sutradara dan pelukis, menjadikannya sosok multidimensi dalam khazanah kesenian Indonesia. Motinggo menulis dengan laju yang sulit tertandingi—melahirkan ratusan karya yang merekam gejolak sosial, spiritualitas manusia, dan kegelisahan eksistensial.
Sebagaimana dicatat Agus Sri Danardana (2008) dan Heri Wardoyo dkk. (2008), Motinggo Busye tidak hanya menjadi “pencerita unggul dari Telukbetung”, tetapi juga pelopor imajinasi modern dalam sastra Indonesia dari tanah Lampung. Roh kepengarangannya—yakni keberanian, intensitas, dan spiritualitas yang gelap sekaligus humanis—menitis dalam karya para sastrawan Lampung lintas generasi.
Jejak Awal: Roh yang Mengilhami Prosais dan Penyair 1970-an
Roh Motinggo Busye tampak menitis secara paling kentara pada karya-karya Andy Wasis, Aan Sarmani Adiel H.A., dan Diro Aritonang—penyair kelahiran Kalianda, Lampung Selatan, yang kini bermukim di Bandung. Ketiganya memperlihatkan gaya intens dalam eksplorasi eksistensi dan spiritualitas, dua tema besar yang menandai kepenyairan Motinggo.
Karya-karya mereka menggemakan semangat lintas-ruang Motinggo: antara religiusitas dan kegilaan, antara kesunyian dan perlawanan terhadap banalitas zaman. Di titik inilah “roh Motinggo” bukan hanya metafora, melainkan energi estetik yang menubuh dalam diksi, tema, dan semangat pencarian hakikat manusia.
Era 1980-an: Dari Isbedy Stiawan ZS hingga Edy Samudra Kertagama
Memasuki dekade 1980-an, pengaruh Motinggo semakin tampak dalam gerakan kebangkitan sastra Lampung modern. Para penyair seperti Paus Sastra Lampung Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, AM Zulqornain Ch, Iwan Nurdaya-Djafar, Djuhardi Basri, Naim Emel Prahana, dan Sugandhi Putra, memperlihatkan intensitas gaya yang berani menembus tabu sosial dan menyoroti absurditas kehidupan urban Lampung.
Sementara itu, Edy Samudra Kertagama—penyair sekaligus dramawan—memperkuat dimensi teatrikal yang juga menjadi bagian integral dari dunia Motinggo Busye. Dalam naskah-naskah puisinya, terasa denyut dramatik dan spiritualitas yang ambigu, seolah-olah melanjutkan dialektika religius-erotis yang pernah digarap Motinggo dalam karya-karya awalnya.
Era 1990-an: Spirit Pencarian dan Lintas Genre
Pada 1990-an, semangat eksperimentasi dan lintas-genre semakin menguat. Lahir Iswadi Pratama, penyair dan sutradara yang menggabungkan puisi dan teater sebagai satu tubuh estetik. Lalu Ahmad Yulden Erwin, Panji Utama, Ari Pahala Hutabarat, dan Dahta Gautama, yang mengeksplorasi mitos, bahasa tubuh, dan spiritualitas lokal.
Keberadaan Oyos Saroso HN dan Budi P. Hatees menambah bobot esaisme dalam sastra Lampung. Namun yang istimewa adalah Udo Z. Karzi, penulis lintas genre—puisi, cerpen, novel, dan esai—yang menulis dalam dua bahasa: Lampung dan Indonesia. Dalam dirinya, roh Motinggo memperoleh bentuk paling konkret: keberanian menyeberang batas bahasa dan genre.
Sebagaimana dicatat oleh Christian Heru Cahyo Saputro (2025), Udo Z Karzi menjadi penjaga nyawa bahasa Lampung, sebagaimana Motinggo pernah menjadi penjaga imajinasi Lampung dalam bahasa Indonesia.
Prosa Lampung dan Dyah Merta: “Pemecah Kebuntuan”
Dalam ranah prosa, dua nama penting adalah Arman AZ dan Hasanuddin Z. Arifin, yang menghadirkan realitas Lampung dalam perspektif sosial dan psikologis. Namun, yang kemudian mencuri perhatian adalah Dyah Merta. Dalam buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung (2008), ia dijuluki “pemecah kebuntuan novel di Lampung”.
Gaya naratif Dyah Merta yang kontemplatif dan berlapis simbolisme menunjukkan kesinambungan dengan “roh Motinggo”—yakni keberanian mengutak-atik bentuk dan menembus batas konvensi realisme.
Era 2000-an dan Sesudahnya: Diversifikasi dan Internasionalisasi
Memasuki milenium baru, roh Motinggo menjelma dalam bentuk yang lebih cair. Para sastrawan seperti Ugoran Prasad, Muhammad Harya Ramdhoni, Jimmy Maruli Alfian, Agit Yogi Subandi, Yulizar Fadli, Alexander GB, dan Devin Nodestyo menulis dengan semangat eksperimentasi urban. Sementara Binhad Nurrohmat, Y. Wibowo, dan Oky Sanjaya menghidupkan kembali kesadaran sosial dan intertekstualitas.
Di sisi lain, muncul pula prosais perempuan SW Teofani, penyair-cerpenis Elly Dharmawanti, dan penyair-penyair perempuan kuat seperti Inggit Putria Marga, Lupita Lukman, Fitri Yani, Jauza Imani, Yuli Nugrahani, dan Rarai Masae Soca Wening Ati.
Ada pula Dina Oktaviani—penulis Lampung yang kini tinggal di Perancis—dan Rilda A.Oe. Taneko, yang bermukim di Inggris. Keduanya membawa sastra Lampung menembus batas geografis, sejalan dengan semangat kosmopolitan Motinggo Busye.
Terkini, agaknya puncak roh itu tampak pada Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dan Angelina Enny. Ziggy, menurut Ramayda Akmal (2023), menulis dengan pendekatan childisme dan strategi defamiliarisasi bahasa—dua hal yang identik dengan kegelisahan estetik Motinggo. Sementara Angelina Enny, seperti dicatat Jasmine Floretta V.D. (2025), menggali trauma rasial dan identitas dengan kekuatan puitik dan spiritual yang menggetarkan.
Keduanya adalah representasi transfigurasi roh Motinggo Busye dalam tubuh sastrawan perempuan generasi baru.
Penutup: Roh yang Menyala dalam Imajinasi Lampung
Dari Telukbetung hingga Jakarta, dari puisi hingga drama, dari bahasa Indonesia hingga bahasa Lampung, roh Motinggo Busye terus bersemayam dalam perjalanan sastra Lampung. Ia menitis dalam keberanian menulis, dalam ketegangan antara lokalitas dan universalitas, dan dalam pencarian makna manusia di tengah dunia yang berubah.
Sebagaimana dicatat Udo Z Karzi (2021) dalam Jejak-Jejak Literer: Bibliografi Sastra Lampung (1960–2020), sejarah sastra Lampung adalah sejarah penyaluran “roh” dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan roh itu—tanpa ragu—bernama Motinggo Busye. []
Daftar Pustaka
Agus Sri Danardana, dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandar Lampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Christian Heru Cahyo Saputro. 2025. “Udo Z. Karzi: Hattrick Rancage, Jejak Pena yang Menjaga Bahasa Lampung Tetap Bernyawa.” LaBRAK.CO, 12 Agustus.
“Dyah Merta (1978–…): Memecah Kebuntuan Novel di Lampung”, dalam 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post, 2008.
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.
Jasmine Floretta V.D. 2025. “Mengangkat yang Terkubur: Upaya Perempuan Tionghoa Angelina Enny Gali Akar Diskriminasi Rasial.” Magdalene.co, 9 Oktober.
Ramayda Akmal. 2023. “Ziggy, Childisme, dan Defamiliarisasi Bahasa.” Tengara.id, 27 September.
Udo Z Karzi. 2021. Jejak-Jejak Literer: Bibliografi Sastra Lampung (1960–2020). Bandar Lampung: Pustaka LaBRAK.
_______________
Susilo Sudarman, jurnalis, penyuka seni, tinggal di Bandar Lampung.
>> dimuat juga di Lampau.id