Ragah Nayuh: Bara yang Tak Padam di Dada Adat

Oleh Ali Rukman
“Adat tidak hidup karena seremoninya, tapi karena orang-orang yang bersedia menjadi bara di balik asapnya.”
ADA masa ketika suara laki-laki tak perlu lantang untuk didengar. Cukup dengan langkah yang teguh dan punggung yang siap memikul, dunia tahu di mana tanggung jawab bersandar. Di pekon (kampung), lelaki-lelaki itu berjalan tanpa gembar-gembor, tetapi setiap langkah mereka meninggalkan jejak makna. Mereka hadir bukan untuk dilihat, melainkan untuk memastikan kehidupan adat tetap bernapas—dalam diam yang penuh hormat.
Mereka itulah ragah nayuh, lelaki yang tak meminta sorot lampu, tetapi nyalanya membuat dapur adat tetap menyala. Di tangan mereka, upacara adat menemukan ruhnya. Di wajah mereka, adat menemukan bentuk kesederhanaannya yang paling jujur. Mereka bukan sekadar pekerja adat, melainkan penjaga keseimbangan antara bara tungku dan doa yang melambung ke langit.
Semua bermula dari nerima atau ngeraduko rasan, pertemuan dua keluarga yang masing-masing didampingi oleh pemimpin adat kedua belah pihak untuk merundingkan hari baik dan tata cara nayuh. Di sinilah ragah hadir menjaga marwah niat baik dua keluarga, memastikan langkah pertama tidak keliru, dan ucapan pertama tidak menggores.
Lalu, dilanjutkan dengan Himpun Minak Muari bah Mekonan, himpun atau musyawarah adat besar yang dihadiri para tokoh yang ada di dalam pekon. Di sana hasil perundingan dalam nerima dan ngeraduko rasan disampaikan, dan semangat gotong-royong diteguhkan kembali. Karena dalam adat, pesta bukanlah milik satu rumah, melainkan urusan bah mekonan atau seluruh warga adat di pekon, tanda bahwa kebahagiaan seseorang adalah tanggung jawab bersama.
Setelah himpun, kerja besar dimulai. Ragah akan bersama-sama nyani penjunjongan, membuat dapur terbuka tempat api dan asap mengepul. Dari tangan mereka berdirilah tungku-tungku kehidupan. Setelah itu mereka kepancung, menebang bambu muda di kebun dan tepian sungai. Bambu itu akan menjadi wadah lemang, simbol kesabaran, keseimbangan, dan penghormatan pada alam.
Bambu yang terkumpul diisi dalam kegiatan ngisi lemang, beras ketan dan santan dituangkan dengan takaran yang pas, seirama dengan jumlah doa dan undangan. Lemang tidak sekadar santapan, tetapi persembahan yang mewangi oleh ketulusan.
Berlanjut dengan ngelemang, betitikolan, nyarlai siwok, dan belangok, memasak lemang, memotong hewan, membuat wajik, mencari ikan di sawah untuk lauk tambahan. Semua dilakukan tanpa aba-aba, tanpa komando. Seolah tangan mereka digerakkan oleh satu irama purba: keikhlasan.
Hasil tangkapan ikan kemudian diasap dalam kegiatan napako iwa, agar ikan tahan lama dan beraroma khas ketika dimasak menjadi gulai taboh. Di balik asap itu tersimpan rasa syukur dan kebersamaan yang tak lekang waktu. Setelahnya, mereka melangkah dalam ngejalang panggar, mengirim doa bagi arwah keluarga yang telah mendahului, memohon ridha Ilahi agar seluruh prosesi nayuh berjalan tanpa cela. Dalam doa itu, ragah menyelipkan keyakinan bahwa adat bukan sekadar pesta, melainkan ibadah yang membentuk jiwa.
Menjelang hari pelaksanaan, malam diisi dengan bediker atau hadra. Ragah-ragah melantunkan zikir diiringi tabuhan tarbangan. Suara mereka bergetar, memantul ke dinding malam, menjadi jembatan antara kerja dan doa. Bediker bukan hiburan, melainkan jeda di mana dunia lahir dan batin bertemu.
Sementara di sudut lain, beberapa ragah menghadap pemimpin adat mareka untuk menindaklanjuti tangguh atau omongan sebelum nayuh. Di sini pembicaraan menjadi lebih dalam: menyangkut teknis prosesi adat dan gelar atau adok yang akan disematkan kepada kedua pengantin saat butetah.
Pada momen itu, sang pemimpin adat menekankan dengan tenang namun tegas: bahwa setiap adok bukan sekadar sebutan kehormatan, tetapi kewajiban yang melekat seumur hidup — amanah untuk menjaga diri, keluarga, dan masyarakat adat agar tetap berpijak pada nilai. Gelar boleh disematkan dalam satu hari, tapi maknanya harus dijaga sepanjang usia. Karena kehormatan tanpa pengabdian adalah Bayangan tanpa tubuh atau jasad tanpa ruh.
Tibalah hari yang dinanti. Beharak dan butetah menjadi puncak prosesi ketika kedua pengantin diarak dan menerima gelar adat di hadapan para ragah, bebai, muli-meranai, dan kori. Semua berjalan hangat, rapi, dan sakral, sesekali diselingi tawa lembut penetah adok yang menambah khidmat suasana. Setelahnya, pangan digelar — makan bersama sebagai lambang syukur, persaudaraan, dan perayaan kebersamaan.
Sebagai penutup, dilaksanakan ngantak kebayan, yakni mengantarkan pengantin ke rumah keluarga laki-laki. Ini bukan sekadar prosesi, melainkan simbol penyerahan tanggung jawab. Bahwa cinta kini menjadi bagian dari keluarga besar—dijaga, dihormati, dan dihidupi sebagaimana adat mengajarkan.
Selain ragah baya yang bertugas menerima sesusuk, bakul, atau sumbuk, sumbangan dari tamu dan keluarga; ada juga ragah yang menjadi tukang panggar. Dahulu, panggar berarti loteng rumah, tempat menyimpan hasil terbaik. Kini, ia bermakna posisi kepercayaan di dapur nayuh: menjaga keseimbangan, menghimpun, mengatur, memastikan tak ada tamu yang pulang tanpa buah tangan dan kesan baik. Di pundak merekalah adat bersandar dalam diam.
Sementara itu, ngemian, para menantu laki-laki dari shibul hajat — menjadi wajah keramahan keluarga. Mereka menyambut tamu, mempersilakan makan dan minum, dan menjaga suasana tetap hangat. Dalam adat, menyambut tamu bukan sekadar sopan santun, tapi ibadah sosial: wujud penghormatan kepada sesama manusia.
Dan, ketika semua usai, bara tungku mulai padam, para Ragah duduk berkumpul di ruang tamu. Di antara sisa buwak dan kopi hitam yang menebar wangi, mereka diam. Tak ada nama mereka disebut dalam doa pembuka atau sambutan. Tapi, tanpa mereka, nayuh tak akan sempurna. Ragah tahu, hidup bukan tentang seberapa sering disebut, melainkan seberapa tulus berbuat. Mereka tak menuntut terima kasih, sebab mereka bekerja bukan untuk dipuji, melainkan untuk menjaga warisan.
Di wajah mereka tersimpan pelajaran yang mulai hilang dari ruang-ruang modern: keikhlasan tanpa pamrih. Bahwa kemuliaan bukanlah soal posisi, melainkan pengabdian yang dilakukan dalam diam.
Mungkin kelak tungku akan hilang, digantikan kompor gas; bambu lemang berganti cetakan aluminium. Namun, selama masih ada laki-laki yang tahu kapan harus menyalakan api, dan kapan menunduk hormat di depan nilai, adat tak akan mati. Ia akan terus hidup — sederhana, tulus, dan hangat — seperti bara kecil di dada para ragah nayuh.
Sebab, ragah nayuh bukan sekadar penjaga dapur adat, melainkan penjaga napas kebersamaan. Mereka menyalakan tidak hanya tungku, tetapi juga kemanusiaan agar adat tetap bernyala di setiap dada yang masih tahu makna pengabdian. []
__________
Ali Rukman, praktisi pemberdayaan masyarakat, tinggal di Bandar Lampung.
Penulis buku Saya Belajar dari Sini: Pengalaman Mendampingi Masyarakat
Lampung Barat (2015).
