Human

Onderdil yang Hilang dari Kendaraan Budaya

Nyambai di Liwa, Lampung Barat. | Ist

Oleh Ali Rukman 

BUDAYA bukan untuk dipajang dalam festival, melainkan tapi dihidupkan dalam keseharian. Sebab, nilai tidak tumbuh dari sorak penonton, tetapi dari peluh di dapur kehidupan.

Dalam “Di Ulegan Sambal, Cinta Kami Bersemi Kala Nyambai dan Rambak Bura” (LaBRAK.CO, 5 Oktober 2025), saya bercerita tentang bagaimana muli-meranai (gadis dan perjaka) di kampung ikut dalam acara nayuh (pesta pernikahan). Nayuh ini tidak sekadar kegiatan pesta, tetapi juga ruang belajar yang begitu alami dan membumi.

Rangkaian kegiatan yang diikuti muli-meranai itu saya kisahkan berturut-turut, mulai dari himpun, nyani buwak, tandang dan belangok, buinjaman (meminjam perabot), ngekis gantang dan membuat kelapa goreng (ngikis kentang dan mengoseng kelapa), rambak bura (mengolah bumbu), nyambai, mengan mi sarlai daleh ngupi rik nganik buwak (makan nasi goreng, ngopi, dan makan kue), ngukor dan ngecil taboh (memarut dan memeras kelapa), begulai, pangan (makan bersama), bebasuhan dan beulohan (bersih-bersih dan mengembalikan barang) hingga nangguh (laporan dan pamit).

Dari rangkaian panjang itu, muli-meranai mendapat pelajaran penting. Mereka bukan hanya belajar memasak, tetapi juga belajar hidup: belajar bertanggung jawab, bekerja dalam sistem, berkata baik lewat pantun, hingga diam-diam belajar mencintai dengan cara yang sederhana. Generasi yang tumbuh di era nayuh mengenal makna saudara bukan hanya yang serumah, tapi juga yang beda pekon (desa).

Banyak kawan lama yang memberi tanggapan terhadap tulisan. Ada yang sekadar menekan jempol, ada yang berkomentar ringan, tetapi ada juga yang menulis dengan serius sekali. Dari beberapa tanggapan itulah saya menyadari satu hal: nayuh bukan sekadar tradisi, tetapi mesin pembentuk karakter. Dari situ tumbuh kemandirian dan rasa tanggung jawab. Saat para muli meranai merantau, mereka tidak gagap dengan dapur, tidak canggung dengan rumah. Mereka sudah ditempa oleh tradisi.

Ada yang berpendapat, proses nayuh itu ibarat komponen kendaraan bermotor: satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ruhnya baru terasa kalau semua dilalui dari awal hingga akhir. Bayangkan jika kendaraan hanya punya ban—apakah bisa melaju dengan nyaman? Tentu tidak. Ia butuh mesin, rem, karburator, dan onderdil lain agar berfungsi utuh.

Begitu pula nayuh. Bila yang diambil hanya satu komponennya, misalnya nyambai, lalu kita berharap lahir karakter remaja yang tangguh, tentu itu mustahil. Sebab nyambai hanyalah salah satu bagian dari keseluruhan proses. Ia memang indah di panggung, tapi nilai kemandirian, gotong-royong, dan tanggung jawab justru tumbuh di dapur, di bawah lampu minyak, di tengah tawa dan peluh yang tak terlihat penonton.

Seorang kawan sempat menyentil tentang nyambai yang acapkali tampil di Festival Sekala Brak, Lampung Barat. “Apakah itu sekadar hiburan untuk nostalgia atau benar-benar wadah untuk menumbuhkan karakter generasi muda?” Pertanyaan itu menampar lembut. Sebab, kini peserta nyambai dalam festival justru lebih banyak ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan anak-anak SD. Muli-meranai tampak hanya sebagai penonton, bukan pelaku.

Boleh jadi kegiatan itu memang dimaksudkan untuk hiburan, untuk menjaga agar budaya tak hilang di tengah zaman. Tapi, kalau yang tampil hanya generasi lama dan yang menonton hanya generasi baru, maka kita sedang menonton budaya yang dirawat, bukan dilanjutkan.

Tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, apalagi menggurui–terlebih kita tahu bahwa biaya penyelenggaraan festival budaya juga tidak kecil–alangkah baiknya bila setiap kegiatan dalam Festival Sekala Brak dikembalikan pada ruh asalnya. Tidak sekadar mempertontonkan tarian, tetapi menanamkan nilai-nilai kepemimpinan, kemandirian, persaudaraan, dan kecintaan pada tanah Lampung Barat dari hal-hal sederhana sebagaimana yang tumbuh dalam nayuh di masa lalu.

Budaya seharusnya tidak hanya menjadi panggung yang terang, tetapi juga dapur yang hangat. Ia hidup bukan karena sering ditonton, melainkan karena terus dilakukan. Bila budaya diibaratkan kendaraan, maka nayuh adalah mesin yang membuatnya bergerak. Dan nyambai hanyalah salah satu onderdilnya—indah, tetapi tidak akan membawa kendaraan jauh bila yang lain dibiarkan hilang.

Kini, mungkin kendaraan budaya kita masih tampak utuh, catnya masih mengilap, musiknya masih nyaring. Tapi bila diperiksa perlahan, ada onderil yang hilang. Ada sekrup nilai yang longgar, ada baut kebersamaan yang mulai lepas, dan ada karburator keikhlasan yang tak lagi mengalirkan bahan bakar semangat seperti dulu. Kita masih bisa menyalakan mesin, tapi suaranya sumbang—karena sebagian komponennya tinggal kenangan.

Sementara itu, di pinggir jalan sejarah, para orang tua kita menatap diam, dan jika di izinkan mareka akan berkata,

“Nak, jangan biarkan kendaraan ini hanya jadi pajangan. Rawatlah onderilnya, jangan ganti dengan yang palsu. Sebab budaya bukan sekadar tampilan luar, tapi napas yang membuat hidup terasa punya arah.”

Dan, bila suatu hari nanti kita bertanya, kenapa kendaraan budaya ini tersendat di tengah jalan; barangkali jawabannya sederhana: karena ada onderil yang hilang. Tidak dari mesin, tetapi dari hati kita sendiri. []

__________
Ali Rukman, praktisi pemberdayaan masyarakat, tinggal di Bandar Lampung. Penulis buku Saya Belajar dari Sini: Pengalaman Mendampingi Masyarakat Lampung Barat (2015).

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top