Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (35)
Aku bukan siapa-siapa dalam aksi-aksi itu, Pitha. Aku sedikit mengingat dan merasa perlu menceritakan ini kepadamu.
Dari demo-demo mahasiswa itu, aku mulai menaruh kepercayaan pada efektivitas gerakan dalam mendobrak kejumudan dari para pemegang kuasa negeri. Setelah aksi duduk mencegat Mendikbud Wardiman Djojonegoro, FISIP Unila menyelenggarakan Seminar Keterkaitan dan Kesepadanan (Link and March) Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan Nasional, 16-17 November 1994. Dan, rupanya masih harus menunggu setahun lagi, barulah FISIP resmi sebagai fakultas Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor L/0333/0/1995 tentang Pembukaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung tertanggal 15 November 1995.
18/
Suara Kritis Pers Mahasiswa
SEBENARNYA, Surat Kabar Mahasiswa Teknokra telah memproyeksikan akan menulis laporan utama tentang gerakan mahasiswa yang mulai marak di berbagai kota. Maka, ketika mahasiswa PFISIP berdemonstrasi mencegat Mendikbud Wardiman Djojonegoro di depan ‘kampus oranye’ mereka, 10 Mei 1994, yang menuntut agar fakultas mereka yang masih persiapan menjadi fakultas definitif, Teknokra seperti mendapat “durian runtuh” untuk bahan reportasenya. Gerakan mahasiswa dalam bentuk aksi turun ke jalan yang masih dalam angan-angan di Bumi Ruwa Jurai menjadi realitas, meskipun baru sebatas intrakampus; meskipun sebelum aksi mahasiswa FISIP ini, sudah ada pula aksi protes yang dilakukan mahasiswa Fakultas Pertanian Unila yang dimotori Hartono Ome Utomo, aktivis Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Pertanian, yang juga wartawan Teknokra, membela seorang mahasiswi Fakultas Pertanian yang skripsinya dituduh memplagiat penelitian sorang dosen.
Jadilah, liputan utama Teknokra Edisi 149/Tahun XIV, Juni 1994 mengenai gerakan mahasiswa pada umumnya ditambah dengan liputan seputar aksi mahasiswa FISIP Unila lengkap dengan gambar aksi menghadang Mendikbud. “Apa Kabar Mahasiswa Lampung?” begitu bunyi banner cover. Liputan dan foto menjadi terlihat lebih ‘garang’ karena Teknokra nomor ini adalah edisi perdana yang berwarna dari sebelumnya yang hitam putih.
Hebohlah Unila! Sebenarnya yang khawatir dan ribut adalah pimpinan fakultas yang punya atasan langsung Mendikbud. Teknokra pun ‘disidang’. Liputan Teknokra dinilai terlalu keras dan tidak etis.
“Masa Pak Wardiman dipampang di halaman depan Teknokra dalam kondisi seperti ini. Ini tidak sopan!” kata Rektor Alhusniduki Hamim sambil menunjuk cover Teknokra yang memuat foto-foto demontrasi mahasiswa FISIP. Salah satu gambar memang memperlihatkan bagaimana roman muka Wardiman Djojonegoro yang ‘sangat tidak enak dan menyedihkan’ saat berhadapan dengan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa itu.
Belum lagi selesai masalah ini, situasi justru bertambah runyam. Suasana bertambah panas ketika alumnus Teknokra yang menjadi jurnalis Lampung Post membela Teknokra dengan menuliskan berita di korannya, berjudul “Memuat Foto Demo, Teknokra Ditegur” disertai foto Teknokra yang dipermasalahkan.
Untungnya, dengan bantuan dari para pembina Teknokra yang menyadari akan pentingnya keberadaan pers mahasiswa sebagai media kontrol sosial, kondisi ini tidak memakan ‘korban’ dan semua bisa diselesaikan baik-baik. Bahkan, usulan agar dilakukan sensor terhadap Teknokra sebelum koran naik cetak, ditolak para pembina/staf ahli Teknokra, sehingga tidak dilakukan. Tidak ada sensor dari pihak mana pun untuk Teknokra, meskipun kadang-kadang atau malah sering dinilai bertentangan dengan kebijakan petinggi perguruan.
Pers mahasiswa termasuk Teknokra di tingkat universitas, Republica di FISIP, dan Pilar di Fakultas Ekonomi, masih berperan sebagai pers alternatif yang bisa memuat apa-apa yang tidak mungkin diberitakan pers umum. Kekritisan mahasiswa yang diusung pers mahasiswa menjadi oase pembaca yang ingin mengetahui sisi lain yang berbeda, yang lebih sering ditutup-tutupi atau terlalu riskan dimuat media umum. Apalagi, ancaman breidel bagi pers yang dinilai membangkang kebijakan pemerintah masih menghantui.
>> BERSAMBUNG