Panggung

Mencatat Kematian

Chairil Anwar

KEMATIAN, ternyata sama pentingnya dengan kelahiran dan kehidupan. Sebab, tiga peristiwa ini masing-masing hanya dialami sekali oleh seorang anak manusia dalam fase kehidupan di muka bumi.

Reinkarnasi? Sungguh! Saya tak percaya dengan kelahiran kembali ini.

Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang; tenggorokan kering sedikit mau basah

Begitu kata Chairil Anwar dalam sajaknya “Catetan Th 1946”. Nah, kalau sudah “mati berkalang tanah” tentu tak kan bisa mencatat diri sendiri.

Tapi, catatan (tertulis tentu saja!) yang pernah kita buat tentu akan bercerita kepada semua orang tentang sejarah penulisnya.

Kalau orang besar atau terkenal sih tentu banyak yang akan menuliskan obituariumnya. Tapi, bagaimana dengan orang-orang biasa, yang semasa hidupnya banyak berbuat kebaikan dan kebajikan?

Saya suka sedih menerima kabar kematian seorang wartawan/penulis yang terasa sepi karena si wartawan atau yang mengaku penulis, tetapi tidak meninggalkan catatan (tulisan).

Tapi, sebisanya, saya suka menuliskan riwayat seseorang yang mememenuhi panggilan Yang Mahakuasa, yang sempat memberi kesan tersendiri–setidaknya bagi diri saya–semasa hidupnya.

Di sisi lain saya tetap menganjurkan melakukan apa yang dikatakan Pram, “Kalau merasa tidak terkenal: Menulislah!”

Kelak tulisan Anda akan menjadi saksi bahwa Anda pernah hidup dan melakukan banyak hal yang tidak banyak diketahui orang.

Dan, apa yang dilakukan Chairil Anwar dengan puisinya adalah mencatat kematian, yang tentu dengan sendirinya membicarakan kehidupan, selain keakuan, eksistensi, daya juang. Puisi ini misalnya:

NISAN
untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta

Begitu pula puisi terakhirnya, berjudul “Derai-Derai Cemara”:

Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah

Chairil Anwar juga bicara tentang maut dan kematian dalam sajak-sajaknya: “Isa”, “Sorga”, “Diponegoro”, “Kepada Kawan”, “Prajurit Jaga Malam”, termasuk sajak yang paling sering dibaca dalam lomba, “Aku”.

Tentang kehidupan dan kematian ini, saya punya sajak sendiri:

TAK ADA KEMATIAN SIA-SIA

tak ada kematian sia-sia
tapi hidup harus diperjuangkan
walau kehidupan tak pernah dikehendaki
sebab kehidupan nyatanya lebih menyenangkan
dari yang pernah kita bayangkan

ah, hidup ternyata maut begitu dekat dengan kita
mengapa kita harus takut ketika ajal menjelang
sebab kehidupan nyatanya tak seindah
apa yang pernah kita pikirkan

tak ada kematian sia-sia
tapi hidup tak harus menunda kepergian

Tabik! []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top