Human

Kontribusi

Oleh Gufron Aziz Fuadi

ENTAH siapa yang memulai ungkapan, urip iku urup, tetapi ungkapan bijak ini sudah sangat lama dikenal, dipahami dan amalkan oleh masyarakat Jawa. Konon Raden Syahid Sunan Kalijaga sering menggunakan ungkapan ini dalam  memotivasi para binaannya untuk terus berbuat baik dan bermanfaat kepada orang lain, sebagaimana sabda

Nabi Muhammad saw:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberikan kemanfaatan bagi yang lainnya” (HR. Ahmad dan Ad-Daruquthni).

Urip iku urup, secara harfiah artinya, Hidup itu nyala. Dimana api yang nyala akan memberikan banyak manfaat kepada sekitarnya meskipun kadang membebani (membakar) dirinya sendiri. Dan api memang baru bermanfaat bila nyala, bisa menerangi sekitarnya, bisa untuk memasak makanan dan sebagainya.

Sehingga ungkapan ini memberikan dorongan agar hidup kita tidak sekedar untuk hidupnya diri kita sendiri, tetapi harus bermanfaat kepada orang lain sebagaimana hadits nabi di atas.

Sayyid Qutb mengingatkan, “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.”

Guru kami Ustaz Hilmi dulu sering mengingatkan, “Jadilah buku meskipun tanpa judul dan jangan punya judul tapi tidak ada catatan (buku)nya.”

Maknanya adalah agar kita punya manfaat, punya kontribusi meskipun kita tidak memiliki posisi atau kedudukan apapun. Sebaliknya jangan sampai kita mempunyai banyak judul sebagai ini sebagai itu dalam satu atau banyak organisasi tetapi tidak memberikan kontribusi yang layak dicatat,  alias nampang doang!

Nilai kita sangat tergantung dengan seberapa besar kontribusi yang kita berikan. Kontribusi bukan hanya uang atau harta, tetapi kemanfaatan apa saja bagi orang, masyarakat, organisasi atau bangsa.

Bila kita saat ini mengenal sebagian kecil nama sahabat nabi dari puluhan ribu sahabat, itu karena kontribusinya yang lebih dibanding yang lain.

Begitupun bila saat ini kita masih mengenal nama para wali songo, Sultan  Agung, pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Sukarno-Hatta dan para pahlawan lainnya, itu juga karena kontribusi mereka lebih banyak dibanding yang lain dimasanya.

Mereka yang namanya dikenang hingga kini adalah para manusia yang punya kontribusi lebih dalam hidupnya. Mereka bahkan terkadang rela mengorbankan kesenangan pribadi demi memperjuangkan kesenangan lebih banyak orang.

Bila kata-kata bijak, urip iku urup, ini dijadikan pegangan, maka kesedihan kita bukan ketika kita tidak ‘keduman’ (tidak mendapatkan bagian) tetapi saat ketika kita tidak dapat berkontribusi.

Dalam hal ini kita dapat mengambil teladan dari kisah seorang sahabat, Anas bin Nadhar radliyallahu ‘anhum.  Beliau tidak berkesempatan terlibat dalam perang Badar, sehingga hal itu membuatnya bersedih. Kesempatan mengikuti jihad perang Uhud disambutnya dengan penuh semangat dan suka cita. Hingga ia mengatakan kepada sahabatnya Sa’ad bin Muadz RA, “Wahai Abu ‘Amr, alangkah wanginya aroma surga. Aku akan mendapatkannya di balik bukit Uhud”. 

Anas bin Nadhar kemudian berperang habis-habisan, hingga kemudian ia ditemukan mati syahid dalam keadaan tubuhnya hampir-hampir tak dapat dikenali. Tidak kurang dari delapan puluh bekas tusukan dan tebasan pedang menghiasi tubuhnya. Jasadnya baru dapat dikenali oleh sepupunya dari ujung jarinya.

Sosok profil pejuang sejati inilah yang menjadi latar atau asbabunnuzul diturunkannya ayat:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا {23}

“Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merobah (janjinya).” (Al Ahzab: 23)

Agar hidup kita bisa selalu urup (hidup bermanfaat), maka kita harus terus berusaha memberi berkontribusi, sebagaimana ungkapan Ronggowarsito bahwa “Ilmu iku kelakone kanti laku” yang artinya Ilmu itu harus sampai pada pengamalannya.

Wallahua’lam bi shawab. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top