Antara Kehendak dan Rida Allah
Oleh Gufron Aziz Fuadi
DULU saat setelah pemilihan dan Si Fulan ditetapkan sebagai pemenang, para pendukungnya mengatakan bahwa Si Fulan sudah diridai Allah untuk menjadi pemimpin kita.
Kemarin di sebuah WAG, ada seorang tokoh yang mengatakan, jangan bingung ngurusin pilpres, siapa pun yang menang pasti baik karena dialah yang mendapatkan ridha Allah. Nggak mungkin menang kalau Allah nggak rida!
Memang ada pemahaman yang salah kaprah tentang kehendak dan ridha Allah, banyak yang menyamakan pengertian iradat (kehendak) dengan ridha.
Apa itu rida?
Menurut Kamus al-Munawwir, kata ridha ( رِضَا) berasal dari kata radhiya-yardha-ridwanan (رَضِيَ-يَرْضَي-رِضْوانًا) yang berarti senang, suka, rela, menyetujui, puas.
Beberapa ayat berikut bisa membantu kita dalam memahami iradat dan ridha. Saat Allah menetapkan adanya iradat (kehendak) bagi Allah swt diungkapan sebagai berikut :
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (Yasin: 82)
Dan ayat berikut:
قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ كَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“…Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Fath: 11)
Kedua kecenderungan pada pemaknaan ayat ayat ini menunjukkan bahwa apapun yang terjadi di alam semesta ini tiada lain karena iradat (kehendak) Allah, baik itu kejadian merusak ataupun kejadian yang baik dan bermanfaat. Seperti menangnya kefasikan atas kebaikan, berjayanya penjajah selama ratusan tahun atau suksesnya seseorang yang berhasil menikahi wanita cantik lagi kaya melalui guna guna atau sihir pelet.
Terkait dengan Ridho Allah tertuang dalam surat al-Zumar ayat 39 :
وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“… dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu…”
Dalam surat al-Taubah: 96 Allah berfirman:
يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ ۖ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَىٰ عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.”
Dari sini kita bisa memahami perbedaan Iradat dan Ridha, bahwa iradat Allah berkaitan dengan semua ciptakanNya dan meliputi semua yang dikerjakan oleh manusia baik atau buruk perbuatan itu.
Sementara rida Allah tidak berkaitan dengan seluruh urusan manusia, hanya sebagian saja yang diridhoi Allah, dan sebagian urusan manusia lainnya ada yang tidak diridai Allah.
Peristiwa keberhasilan Hajaj bin Yusuf ats Tsaqofi dalam menangkap seorang sahabat yang juga cucu Abu Bakar, Abdullah bin Zubair serta menghancurkan ka’bah dan masjidil Haram tentu atas kehendak Allah tetapi pasti bukan kemenangan yang diridhai Allah.
Al Hajaj juga berhasil membunuh beberapa ulama tabi’in yang tidak sepakat dengan pemerintah pada waktu itu seperti Asy Sya’t dan Said bin Jubair yang membuat ulama besar tabi’in Hasan al Bashri mendoakan kebinasaannya. Dan tiga hari kemudian setelah membunuh Said bin Jubair, Hajaj mati dengan perut membusuk dipenuhi belatung.
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh Hajaj tentu karena atas kehendak Allah, tetapi bukan sesuatu yang di ridai Allah.
Wallahua’lam bi shawab. []