Sosok

Doktor Camat Lendra Yuspi J. Geasill: Menuntut Ilmu Tiada Henti

Oleh Mahli Zainuddin Tago

PONDOK Shabran-UMS, Makamhaji-Kartasura, Solo, medio 1986. Acara Masa kasih Sayang (MAKASA) bagi mahasiswa baru memasuki hari terakhir. Sebagai mahasiswa baru aku baru memasuki arena acara. Tentu sudah sangat terlambat. Aku memang diterima di Pondok Shabran pada menit terakhir. Maka ketika akhirnya bisa hadir di Shabran, tentu ini sebuah kebahagiaan bagiku. Ini juga menjadi kebahagiaan bagi salah satu instruktur pada acara MAKASA ini. Sang istruktur adalah kakak kelasku di Pondok Shbaran kini. Setahun sebelumnya dia meninggalkan kami di Jogja. Tahun ini kami bisa berkumpul lagi. Aku kini kembali menjadi adik kelasnya. Dalam perjalanan hidup kami memiliki banyak kesamaan nasib. Maka, menceritakan tentang dirinya seperti bercerita tentang diri sendiri. Dia adalah sahabat yang sudah melebihi kerabat. Dia menjadi ide ceritaku kali ini. Seorang camat yang baru saja meraih gelar doktor. Hari Rabu, 24 Agustus 2022, yang lalu.

Promosi Doktor Ilmu Sosial Program Pascasarjana Universitas Merdeka, Malang Dr. Drs. Lendra Yuspi, M.Si., 24/8/2022.

Sahabat yang aku ceritakan ini kini memiliki nama lengkap cukup panjang Dr. Drs. Lendra Yuspi J. Geasill, M.Si. Meski namanya panjang, aku lebih sering memanggilnya dengan Tigor, atau Gor saja. Demikian juga dia memanggil aku. Aku lupa sejak kapan persisnya kami saling memanggil seperti ini. Yang pasti ini panggilan akrab yang sejak lama kami pelihara. Sedangkan Geasill adalah nama fam di Liwa Lampung Barat, kampung halaman asal sahabatku ini. Konon ini singkatan dari Gedong Asin Liwa, Lampung. Sedangkan J adalah singkatan dari nama ayah kawanku ini yaitu Pak Jumairi. Drs adalah gelar yang dia diperoleh sebagai alumni Fakultas Ushuluddin UMS. M.Si. adalah gelar yang disandangnya setelah menyelesaikan studi S2 sambil menjadi lurah. Doktor adalah gelar yang berhasil diraihnya sambil menjadi camat. Dalam tulisan ini aku menyebutnya dengan Pak Camat saja. Sesuai dengan jabatan resminya kini.

Inspirasi Pak Camat

Perkenalanku pertamaku dengan Pak Camat dimulai pada 1983. Sebagai aktivis OSIS/IPM Ranting SMA Muhammadiyah-1 (Muhi) Jogja aku bergabung dengan IPM Daerah Kota Jogja. Para pengurus IPM Daerah ini berasal dari berbagai sekolah ‘lainnya di Jogja. Di antara mereka adalah Pak Camat. Dia berasal dari SMA Muhammadiyah-2 (Muha). Dia angkatan (lulus 1984) di atasku (lulus 1985). Di IPM Daerah Pak Camat menjadi pengurus harian. Aku sebagai yuniornya hanya anggota departemen. Meski demikian kami sangat akrab. Setamat dari SMA Muha pada 1984 Pak Camat tidak langsung kuliah S1. Setahun kemudian dia hijrah ke Solo karena diterima di Pondok Shabran. Pada tahun yang sama aku tamat dari SMA Muhi dan sempat bekerja selama satu tahun. Pada 1986 giliranku diterima di Pondok Shabran. Maka aku kembali berkumpul dengan Pak Camat. Kali ini kami menjalani petualangan baru menjadi mahasiswa di Solo.

Ketika kuliah di Pondok Shabran/FIAI UMS aku banyak terinspirasi oleh Pak Camat. Mengikuti jejaknya aku lebih banyak aktif di pers mahasiswa. Kami tidak memilih terlalu aktif di organisasi kemahasiswaan lainnya dari tingkat dasar. Pada masa SMA di Jogja kami kan sudah aktif sampai di tingkat Daerah. Kami juga bertemu dalam perkumpulan olahraga Shorinji Kempo dimana belakangan Pak Camat menjadi tokoh nya di Purwokerto. Sebagai kakak kelasku Pak Camat tentu lebih dulu berkiprah. Di dunia pers mahasiswa dia sudah menjadi angota redaksi ketika aku baru memulai menjadi reporter. Ketika dia menjadi pemimpin rumum PABELAN, majalah mahasiswa UMS, aku baru menjadi anggota dewan redkasi. Puncak karier Pak Camat adalah sebagai Pemimpin Umum Pabelan. Sedangkan puncak karierku pada periode berikutnya sebagai Pemimpin Redaksi Pabelan pada periode 1990-1991.

Bak pepatah lama untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak, sebuah cobaan hidup sangat berat menimpa Pak Camat. Pada suatu sore sepulang rapat PABELAN dia bersepeda di jalan raya padat depan kampus UMS. Dia tertabrak bis dan koma berbulan-bulan. Pak Camat menjalani operasi kepala di di Jogja. Aku lalu menghubungi kerabat dekatnya di Jogja. Selama dua semester berikutnya Pak Camat harus cuti kuliah. Dia menjalani masa recovery di rumah saudaranya di Jogja. Hebatnya, setahun kemudian dia kembali muncul di Pondok Shabran. Dia pulih, kembali menjalani kuliah, dan aktif di dunia pers mahasiswa. Musibah berat sebelumnya seakan tidak berbekas. Aktivitasnya makin giat. Pada masa ini PABELAN berkibar di dunia pers mahasiswa Indonesia. Beberapa acara nasional kami selenggarakan di UMS. Sehingga setengah bercanda Pak Jazman Rektor UMS kala itu berucap, “Kalau mau cerdas seperti Lendra ini, tabrakan dulu…”

Pada Agustus 1991 aku selesai kuliah di Pondok Shabran. Studiku lebih cepat selesai dari Pak Camat. Kecelakaan berat yang dialami membuat Pak Camat mundur beberapa semester. Aku lalu kembali ke Jogja menjalani masa pengabdian di PDM Kota Jogja. Belakangan nasib baik membawa aku diterima menjadi dosen di UMY. Tetapi rupanya taqdir masih mempertemukan aku dan Pak Camat. Kami masih bisa sering bersama. Pak Camat kembali masuk Jogja. Paska wisuda di UMS Pak Camat tidak kembali ke Muhammadiyah Wilayah Lampung yang mengirimnya studi ke Pondok Shabran. Selama kuliah Pak Camat dikenal menjadi orang dekat Pak Jazman, tokoh dan rektor UMS beberapa periode. Ketika Pak Jazman purna tugas dari UMS dan kembali ke Jogja,Pak Camat, bersama Kang Slamet Purwa alumni Shabran lainnya, diminta menjadi staf khusus Pak Jazman. Maka kami kembali sering bersama di Jogja kota tercinta.

Beberapa tahun kemudian Pak Camat hijrah ke Puwokerto. Beliau diterima menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Tetapi aku menduga kuat hijrah ini juga terkait dengan seorang gadis alumni Fakultas Psikologi UMS yang juga berasal dari Purwokerto. Belakangan Pak Camat diterima menjadi PNS di Departemen Penerangan. Ketika kemudian Departemen ini ditiadakan Pak Camat menjadi PNS di Pemkab Banyumas. Disini Pak Camat pernah menjadi Lurah. Pak Camat sempat menjadi pejabat di Dinas Perhubungan. Pada tahun-tahun terkahir ini Pak Camat menjadi Camat Kecamatan Patikraja. Uniknya ini adalah kampung halaman alumni Psikologi UMS yang kemudian menjadi istri Pak Camat. Meski sudah berbeda kota kami tetap saling berkomunikasi. Setiap ke Puwokerto aku berusaha menjalin kontak dengannya. Demikian juga ketika Pak Camat hadir di Jogja, kota yang tidak mungkin bisa dia lupakan.

Kecintaan Pak Camat pada Ilmu

Hal menarik dari Pak Camat ini adalah kecintaannya pada pada ilmu. Dia masih tetap suka mengoleksi buku. Dalam hal ini kami diam-diam saling berkompetisi. Saling memamerkan koleksi buku. Soal sudah dibaca atau belum itu urusan lain. Sebagai pejabat Pak Camat juga menyalurkan hobinya mengajar. Dia menjadi dosen tidak tetap di UMP dan PTS lainnya disana. Sebagai kader dai aktif di Muhammadiyah. Pak Camat yang ketika kuliah aktif sampai di DPP IMM, setelah tinggal di Puwokerto, pernah menjadi Ketua Majelis Pendidikan Kader. Pada periode lainnya dia menjadi ketua Lembaga Hikmah dan Politik PDM Banyumas. Sesuatu yang mengejutkan bagiku dia juga dikenal sebagai dai dengan banyak ummat. Baik ketika menjadi lurah, apalagi ketika belakangan menjadi camat. Dia sering naik panggung, menjadi mubalig maupun khatib Jumat. Ini sesuatu yang sulit aku bayangkan sebelumnya. Maklumlah kami kan alumni SMA. Bukan alumni Muallimin.

Kecintaan Pak Camat pada ilmu dibuktikan juga dengan terus sekolah. Ketika menjadi lurah Pak Camat mengambil S-2 dan memperoleh gelar M.Si. dari Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Pada tahun-tahun terakhir ini sambil menjadi camat, dia melanjutkan studi S-3 di Universitas Merdeka Malang. Pak Camat berhasil meraih gelar Doktor dengan IPK 3,91. Sebuah prestasi yang luar biasa. Apalagi mengingat sekitar setahun lagi Pak Camat akan memasuki pasa purna tugas sebagai SN. Untuk ini dia telah menjalani perjuangan yang tidak ringan. Dia harus menjalani kuliah akhir pekan menaklukkan jarak Purwokerto-Malang selama beberapa tahun masa studinya.

Belakangan ketahuan ternyata kami saling menginspirasi. Aku banyak terinspirasi ketika memilih bidang aktivitas saat kuliah dulu. Pak Camat terinspirasi untuk terus kuliah sampai S-3 karena aku telah lebih dulu menyelesaikan S-3. Dari awal merantau ke Jogja pada masa sekolah menengah kami memang memiliki semangat sekolah yang tinggi. Meski menyadari keterbatasan ekonomi keluarga. Keterbatasan ini membuat kami banyak mengikat kencang ikat pinggang ketika masa SMA. Kami pun sempat jeda satu tahun sebelum akhirnya bisa mencicipi bangku kuliah. Maka pada suatu waktu ketika sudah berada di masa depan. Kami bertemu di Jogja dan sengaja masuk sebuah RM Padang. Kami memesan dan makan makanan kesukaan sebanyak-banyaknya. Bukan balas dendam atas masa lalu. Lebih sebagai rasa syukur atas berbagai anugerah Allaah sejauh ini. Paska kekenyangan kami pun saling berebut untuk membayar ke kasir. Subhaanallaah…..

Jogja, Rabu 24 Agustus 2022. Hari masih pagi dan udara cerah. Aku baru saja mengantarkan istriku visitasi ke sebuah lembaga PAUD di Kulonprogro. Pada jam yang sama di Malang-Jatim, seorang sahabat sedang berjuang di tahap terakhir proses formalnya menuntut ilmu. Iya, Pak Camat sedang Ujian Terbuka untuk gelar Doktor di Universitas Merdeka Malang. Meski secara fisik berjauhan, pikiran dan perasaaku mebersamainya. Tentu aku yakin dia akan berhasil melampaui etape penting ini. Dia sudah lulus dari banyak etape dahsyat dalam sejarah hidup sebelumnya. Beberapa waktu kemudian, status medsos Pak Camat segera mewarnai beberapa grup. Pak Camat lulus dengan IPK 3,9. Sebuah presatasi yang luar biasa. “Selamat Gor. Tentu aku bangga dan bahagia. Ke depan medan kiprahmu tentu akan makin terbuka lebar. Pasca menjadi camat dunia perguruan tinggi menunggumu…” []

—————–
Mahli Zainuddin Tago, dosen Magister Studi Islam UMY, Bantul, Yogyakarta

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top