Utang, Pelit, dan Hemat

Oleh Gufron Aziz Fuadi
BEBERAPA hari yang lalu pemerintah mengurangi subsidi BBM untuk rakyat. Alasannya, karena subsidi untuk BBM ternyata lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu daripada masyarakat miskin.
Ada yang mengatakan subsidinya dialihkan untuk membayar cicilan utang dan bunganya yang totalnya mencapai lebih Rp900 triliun.
Tentu kita tidak bisa serta merta menyalahkan pemerintah karena banyak utang. Memang solusi praktis bagi siapa pun yang kurang kreatif tapi pingin bergaya, ya utang.
Utang untuk sesuatu yang produktif itu wajar dan normal, wong rasulullah saja pernah beberapa kali berutang dalam hidupnya. Alquran dalam surat Al Baqarah ayat 282, juga mengatur tatacara utang piutang: “… Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”
Ayat ini sering dijadikan dalil tentang bolehnya berutang-piutang, baik utang individu, corporate maupun negara.
Para orang tua dulu sering mengingatkan, jangan berutang kecuali karena mendesak untuk konsumsi kebutuhan primer, atau kepentingan produktif yang bisa menghasilkan untung dan bisa menutupi utangnya. Tetapi hindarilah utang untuk pencitraan atau gaya-gayaan, sekadar untuk mendapat pujian.
Karena hutang yang bukan karena kebutuhan primer yang mendesak atau untuk produktif nantinya akan sangat membelenggu dan membuat perasaan terteror.
Dari Uqbah bin Amir, Rasulullah Saw bersabda: “Jangan kalian meneror diri kalian sendiri, padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman.’ Para sahabat bertanya, ‘Apakah itu, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Itulah utang!’” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Rasa terteror ini tidak hanya berlaku secara individu, tetapi juga berlaku bagi negara bila berutang.
Karena dalam jangka panjang akumulasi hutang luar negeri menjadi tanggung jawab negara dan menjadi beban rakyat, ini sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Contohnya ya salah satunya dengan mengurangi subsidi untuk rakyat.
Sebenarnya tujuan dari utang negara itu bagus, untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tapi, harus dikelola dengan baik dan bukan untuk gaya-gayaan.
Ada ungkapan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup itu sudah dijamin Allah pasti cukup. Bika kemudian ada orang orang yang tidak merasa tercukupi kemungkinannya adalah, pertama, hak orang tersebut diambil orang lain, apakah itu dicuri, dimanipulasi atau dikorupsi oleh orang lain. Kedua, kurang bersyukur dan kurang bersedekah.
Ketiga, besar pasak dari tiang karena kebanyakan gaya. Misalnya, seseorang sudah punya rumah yang layak dan cukup untuk ditinggal bersama satu istri dan beberapa orang anak, tetapi memaksakan diri berutang untuk membangun rumah baru yang lebih besar dan wah.
Suami atau pemimpin keluarga tersebut seolah olah nanti, saat dia meninggal, mewariskan rumah mewah dan mendapatkan decak kagum banyak orang. Padahal sesungguhnya yang diwariskan itu hutang yang berbunga.
Namun demikian, Islam juga tidak mengajarkan seseorang menjadi pelit atau kikir. Pelit atau kikir adalah sifat enggan untuk mengeluarkan atau membagi hartanya kepada orang lain. Bahkan, orang kikir ada yang sampai pada tingkat pelit kepada diri sendiri dan keluarganya.
Islam mengajarkan pola hidup hemat dan sederhana yaitu berhati-hati dalam membelanjakan uang, cermat dalam mengelola keuangan dan tidak ragu membagi mana yang wajib dikeluarkan seperti untuk kebutuhan keluarga (anak dan istri), berbakti kepada orang tua serta bersedekah untuk dakwah dan orang lain. Dia tahu bahwa nabi pernah bersabda: “Sedekah itu burhan (tanda/bukti keimanan).” (HR. Muslim)
Ada satu kisah, hiduplah seorang suami yang sederhana dengan istrinya, sebut saja Bunga, yang punya sifat kikir serta seorang ART, sebut saja Mintje.
Bunga seorang pekerja keras, sehingga usaha suami istri tersebut sangat berkembang dan mereka menjadi kaya dan banyak uang. Tetapi karena Bunga orangnya kikir, dia merasa sayang untuk menggunakan uangnya sekadar bersenang-senang seperti membeli pakaian dan perhiasan apalagi piknik.
Suatu saat Bu Bunga ini, mungkin karena kecapekan kerja, jatuh sakit. Tetapi karena sayang dengan uangnya dia milih berobat secara sederhana, dan akhirnya meninggal dunia.
Tak lama kemudian suami sederhana tadi menikahi Mintje dan mereka pun selayaknya pengantin baru, melakukan bulan madu mewah. Tentu ini surprise bagi Mintje, sehingga tanpa sadar dia bergumam, terimakasih Bu Bunga, ibu ternyata selama ini bekerja keras untuk saya.
Seorang ulama:
إِنَّ الْبَخِيْلَ يَعِيْشُ عَيْشَ الْفُقَرَاءِ وَيُحَاسَبُ حِسَابَ الْأَغْنِيَاءِ
“Orang (kaya) yang pelit itu gaya hidupnya gaya hidup orang miskin tetapi hisabnya hisab orang kaya.”
Menyedihkan!
Wallahua’lam bi shawab. []
