Jangan Jadi Jarkoni
Oleh Gufron Aziz Fuadi
ADA satu video pendek yang menampilkan seorang ustadzah yang memberikan tausiyah kepada jamaah taklimnya. Dimana ustadzah tersebut menganjurkan kepada ibu ibu agar merelakan suaminya berpoligami dari pada para suami jajan atau TTM dengan cara yang tidak halal, sambil menyebutkan berbagai keutamaannya.
Kemudian saat tanya jawab ada ibu yang bertanya sekaligus menyampaikan terima kasih kepada ustsdzah, bahwa materi yang disampaikan sangat membuat hatinya lega.
Kemudian sambil tersenyum ustadzah mengatakan, saya turut senang bila tang saya sampaikan membuat hati ibu menjadi tenang. Jadi apa yang mau ibu sampaikan atau tanyakan?
Ibu tadi melanjutkan secara jujur, bahwa sudah setahun ini dirinya sudah menikah siri dengan suami ibu ustazah.
Mendengar apa yang disampaikan ibu tadi, kontan ustazah mendadak lemas dan akhirnya pingsan…
Dipoligami bagi seorang istri mungkin salah satu ujian berat. Makanya sekaliber ustadzah pun bisa sock. Sikap dalam tausiyah dengan sock ini sering disebut dengan istilah, jarkoni.
Kalau kita pernah tinggal di lingkungan masyarakat suku Jawa, pasti kita tidak asing dengan istilah ‘jarkoni”, yang merupakan akronim dari ‘iso ngajar/ujar tapi ora iso nglakoni‘.
Jarkoni ini disematkan kepada orang yanga hanya pandai mengajarkan kebaikan dan melarang melakukan keburukan kepada orang lain, tetapi dirinya tidak melaksanakan atau mengamalkan.
Perilaku jarkoni ini tidak hanya terjadi pada ustadz/ah dan guru, tetapi juga terjadi pada para pejabat yang sering berpidato agar masyarakat taat hukum, hidup sederhana atau agar mengencangkan ikat pinggang disaat harga berbagai kebutuhan melonjak naik.
Faktanya banyak diantara mereka yang mengakali hukum, hidup mewah dan mengendurkan ikat pinggang nya karena kekenyangan.
Perilaku jarkoni ini tak pelak membuat dakwah dan anjuran pejabat tidak berdampak dan tidak diikuti bahkan tidak jarang dianggap sebagai parodi.
Perbuatan jarkoni ini sangat dibenci Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat AshShaf: 2-3).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
Perkataan seorang dai dan pejabat seharusnya bukan seperti ucapan seorang komedian, tetapi ucapan yang berbobot atau qaulan tsaqila disertai dengan contoh pelaksanaannya. Dengan demikian apa yang diajarkan dan dianjurkan akan diikuti oleh umat. Sebaliknya bila jarkoni.
Dakwah, anjuran dan pembinaan akan mudah berhasil bila dilakukan dengan contoh.
Suatu waktu, datang sekelompok budak di kediaman imam Hasan al Basri. Para budak itu menyampaikan, “Majikan kami memperlakukan kami dengan buruk,” ujar mereka.
“Kami mohon agar saat khutbah Jum’at besok mendorong orang-orang agar membebaskan budaknya, supaya kami tidak mengalami perlakukan yang tidak sewenang-wenang lagi,” budak yang lain bicara lebih jelas.
Imam Hasan al-Bashri mengiyakan permintaan mereka.
Jumat demi Jumat berlalu, Imam Hasan al-Bashri tidak segera menyinggung pembebasan budak dalam khutbahnya. Setelah beberapa minggu, akhirnya beliau baru menyampaikan keutamaan membebaskan budak dalam khutbahnya.
Isi khutbah beliau memiliki pengaruh yang luar biasa. Segera orang yang memiliki budak tanpa fikir panjang membebaskan budaknya.
Beberapa hari kemudian, datang lagi para bekas budak yang pernah menyampaikan permohonan pada beliau. Mereka kini menjadi manusia merdeka berkat khutbah Imam Hasan al-Bashri. Mereka berkata serta menyampaikan maksud kedatangannya.
“Kami ke sini tidak untuk mengucapkan terima kasih. Tapi, kami datang untuk menumpahkan perasaan marah pada Anda,” ucap salah seorang sedikit kesal.
“Mengapa kalian marah padaku?” tanya Hasan al-Bashri.
“Kami dulu itu, mengharapkan Anda segera mungkin menyampaikan yang kami mohon kepada anda. Tapi, Anda justru menundanya hingga beberapa jumat. Kami sudah tidak sabar waktu itu,” jelasa salah satu dari mereka.
“Apakah kalian tahu, kenapa aku menunda menyampaikan permohonan yang kalian minta dalam khutbahku?” Hasan al-Bashri balik bertanya.
“Karena, lanjutnya, pada waktu itu aku belum pernah punya budak dan tidak punya uang untuk membeli budak. Baru setelah beberapa jumat Allah memberi ku rezeki untuk membeli budak yang langsung saya bebaskan didepan orang ramai di pasar budak. Baru setelah itu, aku bisa berkhutbah tentang keutamaan membebaskan budak. Karena aku tidak bisa menganjurkan sesuatu yang aku tidak pernah melakukannya.”
Dakwah dengan contoh dipercaya sebagai dakwah yang sangat efektif. Oleh karena itu dalam sirah nabawiyah banyak dikisahkan memberikan contoh kepada para sahabat dalam mengamalkan quran, sehingga beliau disebut ‘kana khuluquhul quran“, beliau berakhlak Alquran.
Satunya kata dan perbuatan nabi disamping menjadi contoh bagi sahabat untuk meningkatkan kualitas kejundiannya juga menjadi magnet bagi manusia untuk menjadi mualaf.
Maka, sebagai introspeksi, bila dakwah kita kurang menarik atau binaan kita tidak kunjung meningkat boleh jadi karena kita masih dilihat sebagai jarkoni alias belum banyak memberi keteladanan.
Wallahua’lam bi shawab. []