Ruang Ekspresi

Oleh Gufron Aziz Fuadi
DALAM pertemuan suatu sore ada seorang ayah yang bercerita, saya punya beberapa anak yang alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah anak anak saya bisa dibilang diatas rata rata teman teman nya. Tetapi ada satu hal yang yang membuatnya galau, ternyata anak anaknya lebih senang tinggal di rantau jauh dari orang tuanya dari pada tinggal di kampung halaman dekat dengan orang.
Umumnya orang tua, khususnya generasi baby boomer dan generasi X lebih senang kumpul kumpul bersama. Sesuai dengan ungkapan lama, Mangan ora mangan sing penting ngumpul.
Mengapa anak anak lebih senang merantau jauh dari orang tuanya?
Dari obrolan anak-anak, katanya, mereka pingin bebas berekspresi dan bereksplorasi tanpa bayang bayang dan intervensi orang tuanya. Selama ini, kata mereka, memiliki orang tua yang “cukup terkenal” sudah membuat mereka tertekan. Karena saat guru/dosennya, teman yang lebih senior bahkan teman sebayanya mengenal orang tuanya, itu sudah menjadi hambatan tersendiri untuk menunjukkan “Ini saya”.
Apalagi kalau ada yang mengatakan: Kamu anaknya Fulan kan? Kok begini?
Begitulah, karena ternyata tidak semua anak ingin dan senang mengatakan, inilah (anak) bapak saya!
Mereka ingin dikenal dan diapresiasi karena dirinya sendiri atau karena prestasinya. Karena nya dengan merantau, mereka berharap mempunyai ruang sendiri yang jauh dari gravitasi orang tuanya, untuk menunjukkan jatidirinya dan membangun reputasinya.
Sebagai orang tua, mungkin kita lupa bahwa sejak awal harus memberikan ruang ekspresi bagi anak anak. Sebuah ruang, dimana anak anak bisa bebas mengeluarkan ekspresinya, mengeksplorasi kemampuannya dan menemukan solusinya sendiri juga mendapatkan apresiasi yang tulus karena prestasinya.
Itulah yang saya maksud dengan ruang ekspresi, bukan ruangan seperti kamar tetapi lebih mirip seperti kelompok komunitas, tempat kerja, kelompok pergaulan yang bisa menjadi panggung.
Jadi, ruang ekspresi itu bisa diambil contoh seperti Citayam Fashion Week yang sedang trendy saat ini atau Lintas Melawai di era 90-an dan yang sejenisnya.
Ruang ekspresi ini tidak hanya dibutuhkan dalam suatu keluarga, tetapi juga institusi yang lebih luas/besar seperti organisasi dakwah atau bahkan partai.
Mungkin sudah saatnya kita mulai membenahi paradigma tentang anak sholeh atau anak yang sukses.
Selama ini kita, terutama ibu ibu, menganggap bahwa anak yang baik adalah anak yang sholih, dalam arti selalu nurut apa kata orang tua, tidak suka membuat rumah berantakan, tertib tidak pecicilan dan betah dirumah. Dan bukan anak yang baik, bila senang keluyuran keluar rumah, bergaul dengan sembarang orang dan sesekali bermasalah dengan orang lain diluar rumah.
Jadi paradigma ini mirip dengan tanaman subur, yang ditanam di rumah kaca. Tumbuh “sempurna” tanpa gangguan gulma dan hama penyakit tanaman.
Bukankah seharusnya tanaman yang baik adalah tanaman yang tahan terhadap gangguan hama dan penyakit tanaman serta bisa ditanam ditanah yang kurang subur sekalipun.
Begitu pun anak, seharusnya tetap shalih bahkan bisa mengajak kawan kawannya untuk berbuat baik (da’wah) ditengah tengah lingkungan yang heterogen, keras dan mengancam.
Dengan demikian anak anak akan tumbuh memjadi kuat dan tangguh karena perjuangan hidupnya, bukan kelihatan kekar (tapi nggak tangguh) karena nge-gym. Berotot tapi tidak tahan pukul.
Hal ini penting, karena sumber daya untuk hidup bukan sesuatu yang gratis, tetapi sesuatu yang perebutkan sebagaimana kursi DPR dan yang lainnya.
Sepertinya ini lebih dekat dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365)
Anak-anak sekarang, anak-anak yang lahir setelah tahun 1990 adalah generasi milenial yang mempunyai karakter sangat berbeda dengan kita, yang lahir tahun 60-an atau 70-an yang sering diplesetkan sebagai generasi kolonial.
Sebutan generasi kolonial, mungkin tidak tersebut begitu saja sebagai sebuah candaan. Tetapi boleh jadi muncul dari alam bawah sadar mereka bahwa kita sering memaksakan kehendak kita, termasuk dunia muda kita sebagai romantisme kehidupan yang baik dan perlu dicontoh oleh mereka. Heh, padahal dunia sudah jauh berubah. Bahkan, yang dulu cantik sekarang sudah banyak yang keriput.
Wallahua’lam bi shawab. []]
