Esai

Catatan atas Sayembara Esai Dewan Kesenian Lampung

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar

ESAI berasal dari essay dalam bahasa Prancis. Bahasa Inggris pun menyerapnya menjadi essay.  Mula-mula esai menurut Jakob Sumardjo (1984) merupakan karangan pendek tentang suatu pokok soal menurut pandangan pribadi penulisnya, dengan bahasa dan cara menarik. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986:41), esai adalah tinjauan dalam bentuk prosa yang dipergunakan pengarang untuk menampilkan pendapat pribadinya mengenai suatu masalah aktual atau manusiawi umum. Encyclopedia Americana (Volume 10, 1974:589) mendefinisikan esai sebagai “yang manapun yang secara nisbiah komposisi literer singkat perihal suatu topik yang terbatas” (any relatively brief literary composition).

Esai adalah salah satu dari pembagian-pembagian susastra yang terpenting – bersama-sama dengan puisi, drama, dan fiksi. Esai sebagai suatu genre sastra amat luas, mencakup banyak subform, suatu bentangan luas subyek, dan suatu keragaman gaya. Esai, ditempa secara artistik dan secara imajinatif karya nonfiksi yang berkembang, dapat menyingkapkan suatu kepribadian penulis, mengekspresikan spekulasi-spekulasinya tentang kehidupan atau peristiwa-peristiwa, atau membuat suatu pernyataan formal mengenai sikapnya terhadap suatu pokok-soal yang obyektif dan benar. Meskipun sebuah esai lazimnya ringkas, esai dapat juga menjadi suatu risalah formal yang diperluas, misalnya Essay Concerning Human Understanding (1690) dan Essay on Man Ernst Cassirer (1944). Sebuah esai biasanya dalam prosa, tetapi terdapat contoh-contoh dalam puisi, umpamanya Essay on Criticism (1711) dan Essay on Man (1733-1734) Alexandre Pope. Terma “esai” bermuasal pada abad ke-16 dengan Montaigne, yang menyebut tulisan-tulisannya essais – yakni, percobaan atau upaya dan karena itu tentatif ketimbang pernyataan-pernyataan final. Tetapi bentuk itu sebenarnya jauh lebih tua.

Esai pada dasarnya adalah ungkapan pribadi penulis tentang suatu masalah. Bentuknya tidak terlalu panjang. Biasanya pengarang menempatkan masalahnya dalam konteks yang lebih luas dan tidak hanya didekati dengan intelek belaka, sekalipun argumentasinya kuat dan runtun. Gayanya terpelihara.

  Di dalam perkembangannya kemudian, orang membedakan antara esai formal dan esai informal. Esai informal singkat, diskursif, pernyataan-pernyataan yang sangat personal dan individual yang untuk percakapan dalam suasana dan longgar dalam struktur.  Di lingkungan media cetak seperti suratkabar dan majalah lazim disebut “kolom”, berasal dari bahasa Inggris “column”. Dalam hal ini, kolom berarti tulisan yang mengisi kolom suratkabar atau majalah. Yang dimaksud dengan kolom suratkabar atau majalah adalah: (1) bagian vertikal pada halaman cetak yang dipisahkan oleh garis tebal atau ruang kosong (seperti di suratkabar); (2) bagian khusus yang utama di suratkabar atau majalah, misalnya kolom pendidikan, kolom berita. Penulisnya disebut kolomnis atau kolumnis. Dalam sejarah penulisan kolom di Indonesia, kita mengenal nama-nama kolumnis ternama seperti Ayip Bakar, Mahbub Djunaedi, MAW Brouwer, Sucipto Wirosarjono, Basri Singarimbun, Arif Budiman, Remy Sylado, Ariel Heryanto, Emha Ainun Nadjib, M. Sobari, Bre Redana, YB Mangunwijaya, Sutjipto Wirosardjono, Umar Kayam, Harry Roesli, Arswendo Atmowiloto, Putu Wijaya, St. Sularto, Goenawan Mohamad, Jakob Sumardjo, Julia Suryakusuma, Trias Kuncahyono, Sindhunata, dan Syu’bah Asa. Di Amerika terdapat kolumnis terkenal bernama Art Buchwald.

Esai formal lebih panjang, eksposisi-eksposisi yang diorganisasikan secara lebih ketat mengenai opini-opini atau sikap-sikap pribadi tentang pokok-pokok soal yang impersonal dan spesifik. Perbedaan-perbedaan lebih tajam daripada ini adalah arbitrer dan biasanya lebih berkenaan dengan pokok soal atau gaya ketimbang dengan bentuk literer. Kerapkali, tapi sama sekali tidak selalu, esai informal dianggap satu-satunya yang mungkin dianggap sebagai suatu tipe yang sungguh-sungguh literer.

Di dalam esai informal tekanan ditempatkan pada penyingkapan suatu aspek dari kepribadian penulis.  Esai-esai informal membentang dari pengamatan-pengamatan singkat – misalnya Maxims (1665) La Rochefoucauld, yang kadangkala hanya satu kalimat panjangnya – hingga perlakuan-perlakuan yang dikembangkan dan diperluas atas suatu pokok-soal – misalnya Walden (1854) Henry David Thoreau, sebuah buku utuh. Tetapi hampir semua esai informal dicirikan oleh suatu unsur personal yang menandai, sesuatu yang sugestif ketimbang perlakuan analitikal dan formal atas pokok-soal, suatu struktur informal, suatu gaya yang menarik yang tampak menjadi tanpa usaha yang serius, dan suatu upaya keras yang sadar terhadap efek literer. Esai informal sangat berkenaan dengan keanggunan gaya dan maju dalam bentuk-bentuk literer. Contoh-contoh terbaiknya adalah perenungan-perenungan menarik dari para insan jenaka, berpengetahuan, dan humor yang baik, menyajikan permainan yang terlatih baik, pikiran-pikiran spekulatif tentang peristiwa dan orang. Esai informal itu berusaha menyampaikan suatu suasana hati (mood) dan suatu sikap, untuk meyakinkan tanpa argumen dan untuk menghibur tanpa ketegangan. 

Suatu esai informal mungkin suatu naratif, suatu deskripsi, suatu anekdot, suatu refleksi, suatu impian, sepotong penuh dengan ekstrapolasi gagasan yang aneh, suatu model, atau yang manapun dari berbagai hal lain. Yang dibagikan jenis-jenis esai ini adalah kualitas personal yang hampir bersifat pengakuan. Yang penulisnya pikirkan adalah pokok-soal itu sendiri, dan bagaimana dia mengekspresikan sikap itu adalah inti dari seni penulisan esai informal.

Esai formal memiliki struktur logis, kewibawaan, dan keseriusan tujuan. Mungkin kritis, menguji dan memberikan keputusan tentang karya-karya seni atau peristiwa-peristiwa sejarah. Mungkin ilmiah, menyajikan hasil eksperimen atau observasi. Mungkin filosofis, berkenaan dengan isu-isu moral, keagamaan, pendidikan, sosial, atau politik. Di dalam arti yang amat terbatas, esai formal, seperti esai informal, mesti dibentuk oleh suatu sikap dan suatu sudut pandang khusus tetapi dengan mengurangi tekanan pada penulis dibanding di dalam esai informal. Misalnya, meskipun Charles Lamb tidak juga tersaji di dalam esai informalnya Essays of Elia (1823) dibanding Matthew Arnold di dalam esai formalnya Essays in Ciriticism (1865), Lamb dalam suatu arti adalah subyek dari esai-esainya, sedangkan Arnold bukanlah dirinya. Esai formal juga akan memiliki kewibawaan dan teba telaah yang lebih besar, organisasi yang lebih tegas, dan kesungguhan tujuan yang lebih besar. Terma “esai formal” sering diterapkan, meskipun dengan ketepatan yang diragukan, untuk memberikan penjelasan atau potongan-potongan deskriptif yang faktual dan obyektif – misalnya artikel majalah abad ke-20 – atau artikel yang menyajikan opini-opini yang beralasan – misalnya editorial.  

Dua sifat rupanya menjadi esensial untuk esai, entah yang formal atau yang informal: penyajian dari suatu sudut pandang personal dan upaya keras yang sadar terhadap keanggunan ekspresi.

Esai memiliki suatu prasejarah yang panjang jika Montaigne dipandang sebagai bapaknya. Perihal ini lebih jauh dapat dibaca dalam Encyclopedia Americana (Volume 10, 1974, hlm. 589-592). Di sini cukup disebutkan beberapa esais yang menulis esai formal misalnya Albert Camus, Vaclav Havel, Arundhati Roy, Amartya Sen, Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Yasraf Amir Piliang. 

Berbeda dengan bentuk cerita, sang esais berbicara secara tidak langsung kepada pembacanya, artinya tokoh-tokoh berbicara mewakili penulisnya. Dalam esai, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan penulisnyalah yang langsung kita tangkap. Dalam esai suara pribadi penulis tergambar dengan jelas dalam karangannya itu.  Membaca esai seperti mendengarkan penulisnya berbicara secara akrab dengan kita pembacanya. Esai selalu menyenangkan karena penulisnya seolah secara akrab dan simpatik berbicara pada kita, seperti kita mendengarkan seorang sahabat yang mengungkapkan pengalaman pribadinya. Inilah sebabnya esai selalu dengan tepat menggambarkan pribadi penulisnya. Kalau penulis esai seorang yang berpikiran jernih dan tajam, maka uraiannya juga akan bersifat demikian. Membaca esai dari penulis yang jenius dan pandai memang amat mengasyikkan seperti kita mendengarkan kawan bicara yang amat cerdas dan memesona. Mari kita baca, misalnya alinea pertama esai “Kepentingan Umum yang Lebih Besar” oleh Arundhati Roy yang menyita 90 halaman buku berukuran 12 x 18 cm via terjemahan Asnawi, yang menyoal proyek bendungan massal di India:

Saya berdiri di atas sebuah bukit dan tertawa keras-keras.

Saya telah menyeberangi Narmada dengan perahu dari Jalsindhi dan mendaki tanjung di tepian seberang sungai, dari sana saya dapat melihat, berjajar di puncak bukit-bukit rendah dan gundul, dusun-dusun kecil Adivasi yaitu Sikka, Surung, Neemgavan, dan Domkhedi. Saya dapat menyaksikan rumah-rumah mereka yang luas dan terbuka tetapi rapuh. Saya dapat memandang ladang-ladang dan hutan mereka di belakang rumah-rumah itu. Saya dapat melihat anak-anak kecil dengan kambing-kambing kecil berlarian tergesa-gesa di atas lanskap itu seperti kacang tanah bermotor. Saya tahu saya sedang memandangi sebuah peradaban yang lebih tua, dan Hinduisme – yang disetujui (oleh pengadilan tertinggi di negeri itu) – untuk digenangi musim hujan ini [1999], ketika air waduk Sardar Sarovar naik dan menenggelamkannya.

Mengapa saya tertawa.

Emha Ainun Nadjib juga sangat memperhitungkan daya pikat sebagai teknik buka dalam esainya. Misalnya dalam esai “Sang Garuda, Bebek, Ayam Horn” berikut ini:

Seluruh binatang di hutan pusing oleh kelakuan sang garuda, raja mereka. Yang tak pusing cuma sebagian kecil hewan yang dekat dengan sang garuda. Misalnya burung beo, cucakrawa, atau bunglon. Dulu musang yang pakai bulu ayam juga bikin pusing. Tapi, sekarang sudah berkurang – terutama karena bulu musang sendiri lama-lama menjadi terasa indah dan ternyata menyenangkan.

Kenapa pusing, pokok soalnya ialah kebijaksanaan sang garuda yang cenderung memperbanyak jumlah peternakan bebek dan ayam horn.

Esai itu ditulis Emha pada 1991 atau pada masa Soeharto dan rezim Orde Barunya yang berlumuran korupsi-kolusi-nepotisme sedang berada di panggung kekuasaan. Pembaca yang sadar tentu akan paham dan tertawa demi mengetahui siapa yang dimaksud Emha dengan sang garuda, burung beo, cucakrawa, bebek, bunglon, ayam horn, dan juga musang. Bagaimanapun juga, esei tersebut bukanlah fabel alias cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi pendidikan moral dan budi pekerti).

Esai dapat berbicara mengenai apa saja: negara, masyarakat, seni atau sastra, seorang tokoh, atau bahkan slilit (sisa makanan yang menyelip di sela gigi) seperti muncul dalam esai “Slilit Sang Kiai” Emha Ainun Nadjib atau juga soal adakah gunanya lampu lalu lintas yang terus menyala pada tengah malam seperti muncul dalam esai Gus Dur bertajuk “Menunggu Setan Lewat.” Kita pembaca tinggal mendengarkannya dan mengikuti penjelajahan uraiannya melalui pikirannya yang jernih dan cerdas. Jadi, esai lebih menitikberatkan pada unsur pemikiran. Hanya saja pemikiran dalam esai tidak usah sistematis seperti dalam karya ilmiah. Tidak ada aturan-aturannya dalam menulis esai. Semua bergantung pada penulisnya. Namun sebagai karya seni pembicaraanya harus merupakan suatu kesatuan masalah. Esai berbentuk lepas, merdeka dan longgar, tetapi harus menyenangkan.

Alkisah, Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung  pada 2021 menyelenggarakan Sayembara Esai bertema “Lampung dalam Keragaman Indonesia”. Sayembara diikuti oleh 31 peserta, baik dari esais yang bermukim di Provinsi Lampung maupun daerah-daerah lain semisal Jakarta dan Bandung. Muncul sebagai pemenang pertama adalah Yana Risdiana dengan esai “Pertahanan Subyek Lirik di Tengah Kematian Bahasa: Membaca Puisi ‘Epigram Cinta’ karya Ahmad Yulden Erwin”, pemenang kedua adalah Aan Arizandy dengan esai “Bebacaan, Modernitas, dan Tradisi Diskursif: Merawat dan Meruwat Warisan Tradisi Lisan Lampung yang Terabaikan” dan pemenang ketiga yakni Meurah Dani dengan esai “Peri Kecil di Sungai Nipah: Terorisme Negara Orde Baru dalam sebuah Prosa”. Ditambah dengan sejumlah esai peserta lainnya, kesemua esai tersebut diterbitkan dalam bentuk buku yang kini berada di tangan pembaca. 

Beberapa catatan dapat diberikan. Esai “Bebacaan, Modernitas, dan Tradisi Diskursif: Merawat dan Meruwat Warisan Tradisi Lisan Lampung yang Terabaikan” berpokok soal tentang mantra yang terdapat di dalam masyarakat Lampung Selatan dahulu kala. Bebacaan adalah sejenis mantra keselamatan, yaitu mantra untuk menjaga diri dari bahaya. Mantra dalam beberapa bebacaan yang dicontohkan dalam esai itu bercorak Islam, meskipun terkesan ada warna sinkretisme. Namun, sang esais menariknya hingga masa Kerajaan Sriwijaya. Meskipun menyebutkan islamisasi Sumatra, namun tidak secara khusus menandaskan pengaruh Kesultanan Banten yang membawa agama Islam ke Lampung. Padahal, periode Banten di Lampung tak kurang daripada 240 tahun (1568-1808).

Demikianlah, esai itu diawali dengan pernyataan, “Prasasti Palas Pasemah di Lampung Selatan merupakan bukti arkeologis bahwa secara historis Lampung masuk ke dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Meskipun isi prasasti itu memuat perjanjian sumpah setia sekaligus berisi kutukan bagi siapapun yang mengkhianatinya, prasasti yang ditulis pada abad ketujuh itu juga menyiratkan bahwa Lampung ialah wilayah sentral bagi kemasyhuran kerajaan Sriwijaya.”

Pada bagian lain dikatakan, “Selain itu, menarik juga menganalisis, mengapa larik pembuka dan penutup teks-teks bebacaan tersebut sangat kental nuansa Islam-nya, padahal teks bebacaan itu sama sekali tak ada kaitannya dengan agama? Bukankah secara historis kerajaan Sriwijaya dengan Buddha Mahayana sebagai agama resminya telah berabad-abad bercokol di bumi Nusantara, tapi mengapa tak tampak jejak-jejaknya? Berbeda dengan wilayah Jawa dimana jejak-jejak Hindu masih begitu kentara dalam tradisi, adat, budaya dan praktik keagamaan masyarakatnya. Tentu perlu telaah lebih jauh untuk menjawab serangkaian pertanyaan tersebut. Namun, yang jelas berdasarkan kajian yang diakukan oleh Michael Laffan (2015), menyebutkan bahwa pasca-kejatuhan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-14, Islamisasi di Sumatera terjadi begitu pesat. Puncaknya pada abad ke 15-17, semua wilayah di Sumatera dan sekitarnya telah berhasil diislamkan. Bahkan kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan Buddha terbesar sontak berubah menjadi wilayah kesultanan. Islamisasi yang masif juga berdampak pada akulturasi budaya dan aktivitas kreatif-intelektual lainnya dimana Islam adalah sumber inspirasinya.”

Esai “Peri Kecil di Sungai Nipah: Terorisme Negara Orde Baru dalam sebuah Prosa” sepanjang 13  halaman folio lebih cenderung kepada kritik sastra atau karya ilmiah. Meurah Dani menuliskannya kelewat sistematis seperti dalam karya ilmiah. Belum lagi, dengan basis teori analisis wacana yang digunakan sebagai metode pendekatannya untuk menganalisis novel karya Diyah Merta itu. Sistematikanya didahului dengan “Pendahuluan”, disusul dengan dua subjudul “Terorisme Negara dan Pembangunanisme Orde Baru” dan “Peminggiran Masyarakat Desa pada Masa Orde Baru” serta  diakhiri dengan “Kesimpulan”. Karuan, membacanya jadi terasa melelahkan. Bagaimanapun juga, seyogianya esai berbentuk lepas, merdeka dan longgar, tetapi harus menyenangkan.

Catatan juga perlu diberikan terhadap beberapa esai yang menyebut sastra dalam bahasa Lampung sebagai sastra lisan. Perkecualian muncul dalam esai “Sastra Lampung dan Sebentang Harapan” karya Kurnia Effendi yang merujuk kepada tulisan saya “Sastra Lampung bukan Sastra Lisan” yang terbit di harian Lampung Post pada 19 Desember 2010. Bagaimanapun juga, Lampung memiliki aksara yang disebut Had Lappung atau Ka-ga-Nga, dan orang Lampung dahulu kala sudah menuliskan karya sastranya, kuntara-kuntaranya (kitab hukum), atau untuk keperluan lain di dalam aksara tersebut, di samping aksara Latin dan Jawi. Paling tidak, sudah sejak 1630 terdapat sastra tulis Lampung dalam bentuk sebuah buku kulit kayu dalam aksara Lampung yang diberikan untuk Bodleian Library di Oxford oleh Jo. Trefusis pada tahun 1630. Selain itu, di British Library dan National Library Singapura, juga tersimpan manuskrip Lampung, yaitu Surat pantun cara Lampung, sebuah manuskrip kertas yang berisi kolom-kolom sejajar dari pantun Melayu dan kuatren-kuatren yang disebut wayak dalam bahasa dan huruf Lampung. Tertulis dalam huruf ka-ga-nga dan jawisecara berdampingan. Manuskrip setebal 24 halaman ini yang sudah terdapat dalam bentuk digitalisasi berisi puisi-puisi yang dipergunakan oleh orang muda di dalam masa bercumbu-cumbuan atau perkenalan. Manuskrip itu bertitimangsa 27 Maret 1812.

Aspek kebahasaan juga perlu diberikan catatan. Misalnya penggunaan kata “bila” dan “jika” bukan pada kalimat bersyarat. Padahal, fungsi kedua kata itu sebagai kata penghubung untuk menandai syarat (janji). Mestinya dipergunakan kata “bahwa”, yang berfungsi sebagai kata penghubung untuk mendahului anak kalimat yang menjadi pokok kalimat.

Penggunaan kata tanya bukan di dalam kalimat tanya juga perlu disoroti, seperti misalnya pemakaian kata tanya “di mana” dalam kutipan esai “Bebacaan …” di atas. Pertama, “Berbeda dengan wilayah Jawa dimana jejak-jejak Hindu …” Disarankan, kata “di mana” diganti dengan “tempat”. Kedua, “Islamisasi yang masif juga berdampak pada akulturasi budaya dan aktivitas kreatif-intelektual lainnya dimana Islam adalah sumber inspirasinya.” Disarankan, kata “di mana” diganti dengan “yang dalamnya”.

Kata “nuansa” juga kerap salah guna, dipersamakan dengan “suasana”. Padahal, “nuansa” yang merupakan kata serapan dari nuance dalam bahasa Inggris berarti 1. variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas, dsb); 2. kepekaan terhadap, kewaspadaan atas, atau kemampuan menyatakan adanya pergeseran yang kecil sekali (tentang makna, perasaan, atau nilai). Dalam bahasa Inggris nuance berarti ‘perbedaan yang amat kecil dalam arti perasaan, pendapat dan sebagainya.’ (Peter Salim 2007:973). The Concise Oxford Dictionary of Current English (1958:808) mengartikan nuance sebagai “delicate difference in or shade of meaning, feeling, opinion, colour, etc.” Sementara itu, “suasana” berarti ‘keadaan sekitar sesuatu atau di lingkungan sesuatu.’    

Di dalam salah satu esai disinggung mengenai penggunaan bahasa dalam puisi, “… meskipun pada beberapa penyair, begitu menyeruak semangat nasionalisme yang kental, sehingga memaksa ia menulis puisinya dengan menggunakan kata-kata bahasa Indonesia yang dibakukan … ” Hal ini segera mengingatkan kita terhadap penggunaan bahasa yang “baik & benar” yang dikampanyekan secara luas oleh Pusat Bahasa (kini Badan Bahasa). Terhadap hal ini, Alif Danya Munsyi yang lebih dikenal sebagai Remy Sylado (nama aslinya Japi Tambayong) dalam makalahnya bertajuk “Bahasa Kita bukan Hanya Diurus Sarjana Bahasa” (1996) menuliskan respons sebagai berikut, “Sebagai penulis karya-karya kreatif, saya harus memiliki perasaan estetik terhadap bahasa Indonesia, yang niscaya harus berbeda dan bahkan cenderung harus dikatakan secara sadar dan sengaja tak setia – untuk tidak berkata tak patuh – pada rambu-rambu bahasa baku di bawah ‘selera’ lembaga bahasa yang sering saya sebut sebagai Pusat Pembinasaan dan Pembingungan Bahasa Indonesia. Dasarnya, yang baku cenderung kaku lalu tak laku … Sebagai pengguna aktif bahasa Indonesia tulis, saya menghargai isyarat ‘baik & benar’ seperti yang diarahkan oleh Pusat Pembinasaan dan Pembingungan Bahasa Indonesia tersebut, tetapi, sekali lagi, secara sadar dan sengaja saya merasa tidak terpanggil untuk masuk ke dalam frustrasi para sarjana bahasa terhadap bahasa yang ‘baik & benar’  itu … Dalam membedakan pikiran dan perasaan terhadap isyarat-isyarat itu, saya memilih mencari dan menemukan model bahasa – khususnya dalam mengeja kata-kata tertentu – yang bisa mewakili isyarat-isyarat artistik dan estetik di satu pihak, dan isyarat-isyarat naturalistik dan realistik di lain pihak. Untuk itu saya tidak bicara soal ‘baik & benar’ dalam karya kesenian bahasa Indonesia, melainkan bahasa yang ‘indah & tepat’. Dengan kata ‘indah’ maka di dalamnya hendak diejawantahkan dorongan-dorongan estetik, dan dengan kata ‘tepat’ maka di dalamnya hendak diwujudkan pandangan-pandangan tentang akal-budi yang tidak mungkin dieksplorasi secara tuntas, melainkan harus diekspresikan dengan semaksimal mungkin. Dasar pikiran tersebut, antara lain, pengamatan terhadap bahasa baku yang terlalu kaku, bahasa yang cara mengeja kata-kata tertentu membingungkan, serta, katakanlah, membinasakan kata-kata lain yang hidup dan mewakili realitas sekaligus memenuhi idealitas keindahan dan ketepatan dalam bahasa kreatif karya-karya susastra.” 

Kemahiran berbahasa mutlak mesti dikuasai oleh seorang esais. Sebagai seorang penulis, sang esais jangan pernah enggan untuk merujuk kepada kamus. Bukan hanya mengandalkan pengetahuan bahasa dari ragam lisan terutama ragam bahasa cakapan. Seorang esais atau kolumnis, untuk meminjam pernyataan kolumnis terkenal mendiang Mahbub Djunaedi mesti mampu menguasai bahasa seolah-olah, “bahasa itu sudah seperti milik Om dan Tantenya sendiri …” []

—————–
Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan, Sekretaris Akademi Lampung, Juri Sayembara Menulis Esai Sastra Komite Sastra DKL 2021.

* Dimuat dalam buku Jalan Sastra Lampung: Kumpulan Esai (proses terbit).

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top