‘Curator’

: Kepada Yth. Bapak Kiyai Mustafa Ismail
Oleh Doddi Ahmad Fauji
DIBACANYA kurator. Artinya banyak. Ini adalah istilah dalam seni rupa untuk pekerjaan merawat, memperbaiki/restorasi, memberi makna, dan memamerkan karya seni rupa ke publik. Pada mulanya kurator hanya ada di museum atau galeri milik pemerintah. Namun, dengan berkembangnya private museum (museum pribadi) dan galeri komersial, maka jasa kurator pun dibutuhkan oleh museum dan geleri itu. Adanya kurator ini supaya apa yang dipromosikan oleh museum pribadi dan galeri komersial, mendapatkan stempel ‘sah’ menurut kaidah estetika.
Seiring dengan makin maraknya komersialisasi dan komodofikasi dalam kesenian, para penyetempel estetika pun bermunculan, hingga lahir istilah ‘kurator independen’. Istilah kurator independen, diperkenalkan oleh para kritikus seni rupa yang akhirnya juga menjadi promotor untuk mengangkat nama-nama seniman andalan para pebisnis seni rupa. Setelah 1998, istilah kurator independen mulai marak di Indonesia.
Rupanya, dalam dunia sastra, ada para pekerja sastra yang memiliki naluri berdagang dan berniaga, lebih tinggi daripada kemampuan dia dalam mencipta karya sastra. Mereka itulah yang kemudian meminjam istilah “kurator” ke dalam dunia sastr. Sekarang menjadi seakan lazim dalam aktivitas perbisnisan sastra, ada ada istilah kurator.
Sepengetahuan saya, yang pertama menggunakan istilah kurator dalam dunia sastra, terjadi pada sebuah even festival penyair antarpulau yang dikerjakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sekira tahun-tahun awal milenium ketiga, saat Komite Sastra DKJ diemban oleh Maman S. Mahayana, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, dan Helvy Tiana Rosa. Dalam even festival penyair antarpulau itu, diterbitkan beberapa puisi karya beberapa penyair tiap pulau, dan lukisan yang menjadi ilustrasi buku antologi puisi, karya Hanafi, ikut dipamerkan. Pameran lukisan ilustrasi cover buku itulah yang menjadi salah satu alasan untuk menyebut nama “kurator”.
Mungkin hanya kebetulan jika penyair Acep Zamzam Noor sering berujar, dulu tahun 1990-an, yang menyingkat nama di tengah, itu cenderung orang-orang bermasalah.
Sekarang, makna kurator itu mengandung konotasi sebagai sales promotion. dengan kata lain, tukang promosi perdagangan karya sastra.
Sekian festival sastra (puisi, prosa) atau penyusunan buku antologi saat ini, di hampir banyak tempat dan kesempatan, menggunakan label kurator sekaligus menjadi stempel untuk mengesahkan seseorang disebut penyair, atau mungkin cerpenis/novelis.
Sangat jarang, silakan amati, ada even pengumpulan karya cerpen, dan para pengumpulnya menyebut diri sebagai kurator. Sangat jarang ada festival cerpen. Kebanyakan yang berdegung sekarang adalah festivakl puisi, festival penyai atau antologi puisi.
Bila saya amati, semua festival puisi/penyair itu, tekanannya pada dua soal: promosi dan bisnis.
Sekarang, siapa pun dengan mudah bisa jadi penyair, asal siap membayar, meski hanya Rp100.000 untuk kontribusi ongkos cetak buku. Semakin banyak uang digelontorkan, seolah semakin dia berkilau sebagai penyair. Tapi, entah apa ya kebanggaan jadi penyair, ratu festival, atau apalah istilahnya.
Berkali-kali saya diajak hadir dalam acara sastra, misalnya pada 2012/2013 di Jambi. Tapi, saya tak pernah mau, kecuali saya dibayar, dan bukan malah harus membayar. Tampak seperti komersial. Tapi, saya katakan, di balik apa yang disebut festival itu, ujung-ujungnya adalah bisnis even organiser puisi. Namun, alasan paling kuat penolakan saya adalah sebetulnya apa hakikat dan manfaat semua even itu untuk kemajuan bangsa ini?
Tabik.[]
Doddi Ahmad Fauji, sastrawan, wartawan senior.
