Diskusi Akhir Tahun (2-Habis): Standar Koran, Redaktur Sastra, Selalu Gagal Bikin Puisi
Kenapa banyak orang bangga disebut penyair? Apa itu gelar yang luar biasa? Kenapa orang-orang enteng bener nyebut diri penyair. Saya inget pada sebuah acara ada pembaptisan tokoh sebagai penyair. Emang penyair harus dibaptis tah?
Sebenarnya bukan dibaptis. Cuma kan ada yang menilai puisi. Itu yang redaktur sastra kerjakan saat menyeleksi puisi-puisi dan cerpen yang akan dimuat koran. Sekali dimuat di koran yang digawanginya, seorang redaktur sastra langsung ingat dengan penulisnya. Kirim lagi, ya redakturnya akan melihat lagi bagaimana karyanya, apakah tambah bagus atau tambah jelek.
Biasanya, begitu dimuat di X, puisi ybs bakal dimuat juga oleh koran lainnya.
Julukan penyair ya orang lain yang memberikan.
O, iya Do? Jadi kalau puisi ini masuk surat kabar atau tembus koran X sudah pasti baiklah Do? Begitukah, Do? Ngeri juga standarnya ya!
Gak mesti juga. Tapi, untuk sampai menjadi redaktur sastra koran/majalah kan tidak sembarang juga. Di koran X misalnya, sejak dulu yang menjadi redaktur sastra kebetulan dikenal juga sebagai sastrawan.
Koran X dulu loh ya. Kalau sakarang Koran X gak punya redaktur sastra.
Sekarang di Lampung tidak ada lagi rubrik sastra yang dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya.
O, iya, Do. Paham saya sekarang.
…
Saya mau tanya soal kepenulisan saya ini. Apa yang perlu diasah lagi?
Coba-coba kirim ke medialah. Bisa juga ke email: redaksi@labrak.co. Cuma mohon maaf tidak kuat kasih honor untuk penulis.
Boleh komentari tulisan saya.
Saya tidak terlalu rajin memperhatikan teknis menulis seseorang.
Saya minta pendapat selarik ini saja dulu, Do.
(SP melampirkan sebuah puisi).
Saya nulis jarang pakai pola.
Hahaa…
Ketawa ini bahaya bener?
Ada cara yang enak. Bandingkan tulisan kita (puisi) dengan tulisan (puisi) orang lain. Di situ ditimbang-timbang dengan jujur. Boleh jadi kita bisa bisa bilang, ‘Dari berbagai segi, tulisan saya lebih dahsyat dari tulisan….’” (selengkapnya boleh baca buku Udo Z Karzi. 2013. Menulis Asyik).
Iya, Do. Siap. Makasih. Tapi sebelumnya saya minta kejujuran Udo soal tulisan saya di atas. Biar saya tahu apa yang perlu saya koreksi buat selanjutnya. Mohon bimbingannya. Kok orang gampang benar bilang, ‘Bagus!’ untuk tulisan saya.
Saya pun biasanya bilang bagus. Tapi, itu tidak membuatmu jadi belajar. Saya cuma bisa menyarankan perbanyak membaca (puisi) yang bagus dari penyair yang sudah matang. Banyaklah.
Kalau saya, jadi nggak produktif menulis puisi karena tahu alang bagusnya puisi-puisi karya penyair Indonesia dan dunia. Lalu, saat membaca puisi saya sendiri, wadau… saya selalu gagal bikin puisi. Hehee… []
————
* Mahap, foto seketemunya. Gak ada hubungan dengan diskusi di atas ya. Benaran, Novi Balga nggak nanya2 kek gitu.