Peace in Chaos!
Oleh Jajang R Kawentar
KREATIVITAS itu tidak dapat dibendung dan harus menemukan jalan keluarnya;memamerkan karya seniman Disabilitas (berkebutuhan khusus) Agus Yusuf (Madiun), Anfield Wibowo (Jakarta), Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan (Yogyakarta), Lala Nurlala (Bandung), Laksmayshita Khanza Larasati Carita (Sleman), Mochammad Yusuf Ahda Tisar (Lampung), Rofita Rahayu (Gunung Kidul), Wiji Astuti (Gunung Kidul), Winda Karunadhita (Keramas Gianyar Bali), Yuni Darlena (Bengkulu) pada pameran virtual.
Situasi kecemasan dirasakan banyak orang saat ini akibat pandemi Corona Virus 19 (Covid-19).Aktifitassosial dibatasi dan situasi ekonomi kian anjlok bahkan minus. Sementara kebutuhan sangat vital keluarga berupa pangan, tidak dapat tidak setiap hari harus tersedia dan tercukupi. Kalau harus tinggal di rumah, pergi ke luar dilarang dan dibatasi, jelas mengurangi penghasilan keluarga bahkan menutupnya. Peristiwa ini menciptakan kecemasan berlebihan, hal ini pula yang berakibat melemahkan mental.Selain dampaknya kelaparan, juga mudah memunculkan berbagai penyakit.
Cara damai dalam situasi kacau ini, berbagai kreativitas harus difasilitasi sebagai produktifitas baru menghadapi situasi. Banyak orang menyiasati kepakuman aktifitas sosial berkumpuldi luar rumah inidengan cara berkegiatan tanpa bertemu. Hanya mengandalkan media sosial atau handphone. Barangkali satu-satunya cara terbaik dalam komunikasi dan berkegiatan pada masa pandemi ini.
Dalam rangka menghindari wabah Covid-19dan menyiasati kegiatan kolektif, salah satu solusi bagi seniman adalah event virtual exhibition. Event ini bisa melibatkan banyak seniman dan video maker tanpa harus berhadapan langsung. Seniman tetap di rumah, tetap bisa menjaga jarak bahkan lockdown untuk menjaga kesehatannya. Tim event virtual exhibition berkerja di rumah mengolah data mempersiapkan penayangan secara online.
Seniman terus meningkatkan produktifitas berkaryanya sebagai upaya menghindari ketegangan berpikir yang diakibatkan dari kecurigaan karena setiap orang membawa bakal penularan virus. Situasi umum ini meneror terus menerus, melalui media yang terkadang dibumbui berita hoaxs. Sehingga keadaan pandemi terasa kian mencekam.Namun mereka berpikir positif, bekerja dan berkarya penuh keyakinan.Semogavirus segera berlalu.
Ketika Melukis Menjadi Pilihan Hidup
Seni tidak akan ada matinya. Kreatifitas seni terus memenuhi ruang dan waktu dalam kondisi dan situasi apapun. Ia hadir memberikan pencerahan, pandangan serta pemandangan segar, wawasan baru dan pengalaman baru bagi para pelaku dan penikmatnya. Berupa prosesnya atau karya yang dihasilkannya.
Ketika melukis menjadi pilihan hidup, tentu dalam situasi dan kondisi apapun akan tetap melukis. Namun bagaimana ketika melukis itu menjadi pilihan hidup bagi para penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus? Kekuatan, kesungguhan dan keyakinan yang telah teruji terhadap pilihannya itu.
Dengan berbagai kendala keterbatasannyaadalah kelemahan yang justru menjadi kekuatanmeyakinkan semua orang atas kemampuannya.Merekamampu melewatinya dengan keseriusan menyuguhkan karyanya. Meskipun itu bukan jalan hidupnya, setidaknya melukis menjadi pilihan hidupnya yang paling bersahabat dan ramah padanya.
Dalam berkarya, mereka tidak memaksa orang lain mengerti disabilitas yang ditanggungnya.Merekamenyadari sungguh dirinya bukanlah objek, tapi subjek seperti juga warga masyarakat lainnya. Mereka tidak meminta dipahami, karena mereka tahu orang yang peduli tidak butuh penjelasan itu.Tanpaharus meminta, dengan sendirinya akan meyerahkan segala sesutu yang dibutuhkannya. Seperti halnya mereka turut mendonasikan sebagian dari penjualan karyanya disisihkan bagi saudara-saudaranya yang terdampak Covid-19.
Betapa niat serta ketulusan berbagi dari apa yang ia dapat beri, berjalan lancar dan dimudahkan sesuai harapannya. Kebahagiaan dan kebersamaan seperti inilah yang merupakan semangat mendorong kegiatan ini mendapat jalan keluarnya.Semoga dari apa yang ia mampu beri menularkan virus kebaikan dan perdamaian.
Awal mula gagasan ini hanya mempresentasikan karya seniman dari kebiasaan kesukaannya mereka melukis. Tidak menawarkan sebuah tema khusus, karena ini pameran perdana yang merekrut seniman berkebutuhan khusus dari beberapa provinsi dibeberapa pulau di Indonesia:Aceh, Lampung, Bengkulu, Jakarta, Bandung-Jawa Barat,Madiun-Jawa Timur, Bali dan Yogyakarta.
Bermula kegiatan ini murni pameran biasa, dengan mendisplay karya di ruang gedung di Yogyakarta. Terkendala munculnya pandemi wabah covid-19 melalui proses panjang,maka putar haluan, menjadi pameran virtual. Menyajikan karya melalui media online, baik chanel youtube, facebook, instagram, tweeter, website dan media sosial lainnya. Pameran yang tadinya hanya mempresentasikan karya-karya seniman berkebutuhan khususuntuk apresiasipengkayaan wawasan, kemudian menjadi pameran sekaligus berkesempatan beramal.
Tentunya ini luar biasa, kerja yang tidak mudah. Hanya semangat dan kekuatan kebersamaan serta toleransi yang menjadikan gagasan ini terwujud. Kita bisa berkumpul dalam satu forum saling mendukung, dapat menghadiahkan yang bermanfaat bagi semua orang.
Keindahan Menjemput Damai
Dalam hiruk pikuk kecemasan mengahadapi virus, ada ruang kereasi yang damai dengan para pelukis. Mereka asyik mengoreskan kuas pada mimpi-mimpinya yang terbentang. Dengan penuh keyakinan dan keteguhan, mimpinya tertuang penuh warna pada kanvasnya. Mereka bukan tidak peduli pada lingkungan sekitar, namun mereka tidak ingin menjadi beban siapapun. Berkarya dengan tekun menjadi lebih bermakna dan jelas mendapatkan hasil. Selain ketenangan batinnya juga sedikit banyaknya harapan sudah terkembang. Menunjang keluarga dan membangun jiwanya.
Menikmati karya dari kepasrahan dan ketulusan penciptanya, ada rasa haru dan kagum tak terhingga. Begitulah karya yang dipamerkan sepuluhseniman berkebutuhan khususdalamPeace in Chaos Virtual Exhibition, yang digagas oleh Budi Dharma (Butong) koordinator pameran.
Para peserta pameran ini memiliki keterbatasan pisik yang berbeda, Agus Yusuf (Daksa), Anfield Wibowo (Rungu Wicara, Sindrom asperger), Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan (Rungu Wicara), Lala Nurlala (Asperger), Laksmayshita Khanza Larasati Carita (Rungu Wicara), Mochammad Yusuf Ahda Tisar (Rungu Wicara), Rofita Rahayu (Rungu Wicara), Wiji Astuti (Amputi tangan dan kaki), Winda Karunadhita (Muscular Distrophy), Yuni Darlena (Daksa).
Supaya lebih mengenal keterbatasan fisik mereka, sebaiknya kita faham dulu yang dimaksud Daksa itu suatu keadaan rusak akibat gangguan bentuk atau tambahan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Rungu Wicara itu ketidakmampuan dalam memproduksi suara dan berbahasa yang disebabkan keruksakan alat dan organ pendengaran sehingga tidak mengenal cara menggunakan organ bicara serta tidak mengenal konsep bahasa. Sindrom Aspergermereka cerdas dan mahir dalam berbahasa namun canggung saat berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang disekitarnya.Muscular Distrophy perkembangan tulang yang abnormal yang menyebabkan kelainan bentuk tulang, akibat memburuknya keadaan otot akhirnya tidak dapat bergerak.Setelah mengenali semoga bisa memahaminya.
Melihat proses mereka berkarya meskipun melalui beberapa photo dan video yang mereka rekam, kita akan faham keindahan maha pencipta dan apa yang diciptakannya. Baiklah kita mulai denganAgus Yusuf,tanpa kedua tangannya melukis dengan mengunakan mulut untuk menggerakkan kuasnya. Berapa lama ia meyakinkan kalau dirinya mampu melukis dengan indah. Ia betul-betul mahir melukiskan bentuk benda atau objek. Kemauan dan kesabarannya seperti telah menghadirkan kedua tangannya yang tiada itu. Dia memamerkan dua karya lukisan yangmampu merangsang orang ingin memiliki atau ingin mencicipinya seperti lukisan buah apel yang mulai memerah di batangnya diberi judul ‘Menggugah’, dan lukisan Merpati merpati putih berpasangan bertengger di pohon sedang memadu kasih, damainya meraka itu terasa seperti judulnya ‘Damai’.
Anfield Wibowo,memiliki banyak gagasan yang mengalir yang mendorongnya mengungkapkan pada ruang kosong.Diajuga pencatat atau perekam yang baik setiap momentumkeindahan yang sangat berarti baginya dan menyentuh hatinya.Sehingga ada beberapa variasi lukisan hasil eksplorasinya. Tiga karya ditampilkan pada pameran ini, ‘Menunggu Chinderella’dilukiskan suasana malam yang bertabur bintang, di tengah malam itu Chinderella belum pulang usai pesta. ‘Musim Gugur’dia merekam bagaimana moment ketika berkunjung ke luar negri ketika musim gugur.‘Smiling Budha’ terkait keyakinan, spiritual dan religiusitas.Ia mengatakan pada kita tentang segala sesuatu yang telah dialami dan ditemuinyanya dengan segala apa yang ia rasakannya, atau itulah pendapatnya.
Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan, karya-karyanya lebih tertata dengan teknik lukisnya yang mumpuni,bercerita sesuatu yang monumental, tema sosial dan pesan moral terselip di dalamnya. Suasana yang dibangun adalah kegembiraan, kebahagiaan dan damai. Seperti ‘Bermain ke Negeri Dongeng’ bagaimana anak-anak bermain penuh suka cita dengan berbagai permainan, dan warna-warna cerah disaputkan pada objek-objeknya. ‘Malioboro’menggambarkan suasana jalan Malioboro yang ramai dan padat gedung pertokoaan seperti berlomba menembus langit. Serta ditandai pula oleh pesatnya pembanguan gedung baru, dibeberapa tempat tampak alat derek.‘Toleransi Antar Umat Beragama’, ia ingin menyampaikan keberagaman beragama dalam bermasyarakat. Pentingnya saling menghargai dan menghormati terhadap pilihan agama, kepercayaan dan keyakinan masyarakat.
Lala Nurlala, menampilkan figur imajinatif yang ilustratif, dengan dipenuhi motif stilisasi tumbuhan.Dia lebih fokus pada garis dan karakter dari figurnya. Garis seperti sebuah strategi dalam membahasakan ketertarikannya pada sesuatu, meredam dan menyelesaikannya.Empat karya Seris Pandemic: Untitled #1-#4 diikutkan pada pameran kali ini. Figur tokoh pewayangan berkarakter pahlawan atau tokoh penyelamat yang diselimuti oleh motif berbentuk ukel membentuk asesoris, busana figurnya sampai pada backroundnya. Rumitnya motif yang mendominasi karya tersebut seperti rumitnya situasi Pandemi ini. Dalam satu tema itu mampu ratusan karya bersamaan yang dia ciptakan.
Laksmayshita Khanza Larasati Carita, ketertarikannya pada sesuatu yang sering dilihatnya, dekat dan dipahaminya mengarahkannya pada sebuah konsep seperti halnya pada titik dan garis. Titik-titiknya membentuk sesuatu yang dia bayangkannya. Bisa dilihat pada karya ‘Titik Terang’ dimana dia membuat titik-titik warna terang dengan backround warna hitam. Titik-titik itu membentuk sebuah motif dan dipisahkan dengan garis menjadi beberapa ruang.Begitupun pada karya ‘Kaktus’, dia mengutamakan titik-titik dan sedikit garis besar membentuk objeknya. Kesederhanaan antara titik dan garis ini seperti sebuah kesimpulan dari konsepnya melukis.
Mochammad Yusuf Ahda Tisar, dalam melukis memiliki kecenderungan pada arsitektur dan sesuatu yang alami dari kearifan lokal. Diaberusaha menjelaskan dengan teliti pemahamannya dari apa yang dia lihat dan dipikirkannya.Pengalamannya telah mengajarkan bagaimana prespektif cara berpikir dan cara meyakinkan kemampuannya, meskipun menggunakan alat dan media sederhana yang dimilikinya. Tiga karya diikutkan pada pameran ini, ‘Perlahan Tapi Pasti’, menunjukkan pandangan terhadap sikap atau cara menghadapi sesuatu dengan tenang begitu juga bekicot sedang merayap yang dia lukis dengan realis. ‘Islamic Center dan Bubu Penangkap Ikan’ melukiskan Bubu yang berukuran lebih besar dari gedung, dia seperti sedang merancang bangunan yang gagasannya dari Bubu penangkap ikan.Sebuah inspirasi bagi kita. ‘Rumah Panggung Lampung’ ini seperti memotret bentuk bangunan asli daerah Lampung. Rumah panggung yang kini tidak lagi dibangun di kampungnya.
Rofita Rahayu, dari keterbatasan dirinya, dia menyadari sepenuhnya. Semangat hidupnya dia manfaatkan untuk selalu mengolah rasa. Pertemuannya dengan media lukis menjadi sebuah perjuangan dalam mencitrakan dirinya, mewujudkan mimpi yang terus menerus dia coba menggapainya. Dua karyanya diikutkan dalam pameran kali ini ‘Tentang Harapan dan Kesunyian’, lukisan ini berusaha dibuat detail menggambarkan seorang putri bersayap berada di angkasa raya sedang memeluk dirinya sendiri.Satu lagi ‘Habibie’lukisan potret seorang teknokrat yang menjadi presiden Republik Indonesia ketiga,BJ. Habibie denganbentuk pesawat origami backroundnya merah putih. Pada visual karyanya itulah dia menaruh harapan dan menggapainya.
Wiji Astuti,perancang busana dari Gunung Kidul Yogyakarta berkarya batik di atas kain sebagai bahan busananya. batik kain yang dibuatnya bisa juga digunakan menghiasi dinding ruangan rumah, kantor atau hotel dengan dibingkai. Yang menarik dari batiknya adalah motifnya mengambil stilisasi tubuhan dan binatang yang kerap ia lihat disekitar kampungnya.Seperti pada karyanya ‘Kimpul Wungu’ yaitu stilisasi dari tumbuhan sejenis talas berwarna ungu dan bunganya, pada jaman revolusi umbinya itu menjadi makanan pengganti nasi dan sekarang sudah hampir punah. ‘Pupus Lumbu’ ini juga stilisasi motif sejenis talas berwarna hijau dan ‘Gareng Pung’ serangga sejenis Tonggeret yang biasanya di goreng menjadi lauk makan, karena saking banyaknya seperti wabah penyakit bagi pertanian penduduk. Motif yang diciptakannya ini kemudian bisa jadi ciri dari batik daerah Gunung Kidul.
Winda Karunadhita, memamerkan tiga karyanya yang sangat romantis, warna yang membangkitkan kebahagiaan dan rasa damai. Penguasaanmengolah warnanya membuat karyanya menjadi hidup dan komunikatif. Dia bercerita tentang kegundahan hatinya,seperti pada ‘Tujuh Bidadari’.Tujuh bidadari itu sedang mandi di sungai diintip pemuda desa, sebuah suasana yang ceria namun dramatik. Begitupun dengan ‘Beauty in The Dark’ bercerita tiga burung menclok di pohon yang rimbun bunga, dua burung menclok berdampingan dan satunya menclok di dahan bawahnya seperti mengajak dialog. Disitulah cerita burung itu dimulai, tergantung penafsiran yang melihatnya.Satu lagi ‘Forget Me Not Flower’, kisah dua kupu-kupu di taman bunga-bunga. Untuk menghasilkan karya yang indah itu,ia harus menopang tangan yang digunakannya melukis oleh tangan satunya selama menyelesaikan lukisannya. Karena tangannya tidak memiliki kekuatan.Kekuatannya bertumpu pada semangatnya, keteguhan, kesabaran dan keyakinan hatinyalah,ia kerahkannyadalam berkarya.Lalu berapa lama dan bagaimana ia belajar melukis selama ini?
Yuni Darlena, sangat terkesan dengan suasana alam yang indah dan budaya di daerahnya. Mengisyaratkan betapa ia ingin bertamasya ke lokasi-lokasi alam itu, keliling nusantara dan mengabadikannya pada setiap goresannya di kanvas. Suasana alam yang sejuk, aman dan nyaman.Dalamkesederhanaan realitas kesehariannya,terlukis kerinduan serta damainya alam itu. Selama ini dia hanya dapat membayangkan di atas kursi rodanya. Tiga karya yang dipamerkan, ‘Riak-riak di Kampung Nelayan’ menggambarkan suasana atau keadaan rumah nelayan di tepi laut. ‘Sawahku’ suasana petani pedesaan sedang memanen padinya dan ‘Lentera Bengkulu Tempo Dulu “Kala” Badai’ lukisan ini heroik menggambarkan bagaimana lentera di mercusuar bertahan dari deburan ombak karena badai, menjadi tanda arah bagi para nelayan atau perahu yang berlayar.
Demikianlah sedikit pandangan mengenai sepuluh Seniman berkebutuhan khusus yang tangguh menghadapi situasi pandemik dan bersaing dengan karya para pelukis umumnya. Kelemahan, kekurangan, kelebihan dan keunggulan itu kuasa Tuhan, sejauhmana kita bersyukur dan berusaha yang lebih baik. Para seniman berkebutuhan khusus ini telah menunjukkan kesungguhannya lebih-lebih, karena dia harus berdamai terlebih dahulu dengan kekuarangan fisiknya.Kita pun bisa berdalih dan katakan ‘Peace in Chaos!’
Selamat berpameran, sukses! []
——————
Jajang R Kawentar, kurator