Kolom

Yang Hidup itu Apa?

Oleh Hardi Hamzah

SUTAJI,  pemuda anak pedagang batik di Pasar Klewer itu, sakit-sakitan. Namanya kemudian diganti Gesang, yang dalam bahasa Kawi artinya hidup. Gesang kemudian benar-benar hidup melalui lagunya Bengawan Solo. Gesang kemudian menjadi legenda.

Hidup memang begitu berharga di dunia ini. Maka, begitu Socrates mangkat 16 Februari 399 sM. Dan, para filsuf mualaf terhenyak, setidaknya sebelum Plato mengambil peran untuk menghidupkn akademia dalam singkritisme Pusycoi, STOA, dan Pithagoras.

Hidup, juga terefleksi dalam kisah kisah kenabian (nubuah). Masih segar dalam ingatan ketika Nabi Zakaria AS berdoa di Mihrab Siti Maryam untuk meminta sang putra yang kemudian lahirlah Yahya. Nama yang langsung diberikan Sang Khaliq sebagaimana tersirat dalam Alquran Surat Ali Imron ayat 37-38. Yahya artinya “yang hidup”. Kita ketahui Yahya kemudian terbunuh dan sahid seperti juga umumnya para suhada. Suhada sesungguhnya tidak pernah mati.

Hidup sesungguhnya telah menjadi bagian dari siklus pusaran realitas dari komunitas yang satu ke komunitas yang lain. Dalam komunitas itu, seakan akan setiap personal mengais hidupnya sendiri. Kenyataannya tidak. Muncullah Covid-19. Setiap personal mengalami ambigu. Dari sisi yang lain mereka beranjak dari komunitasnya, ternyata di sisi yang lainnya lagi setiap personal berebut keluar dari komunitasnya.

Hitler, Musolini, dan Stalin adalah sosok yang akan keluar dari komunitas itu. Sementara, amirul mu’minun Umar bin Khatab dan gubernur di bawahnya, sebut saja Amar bin Ash, Umair bin Anas, dan yang lainnya, kesemua para sahabat ini mengkostruksi komunitas unt kehidupan personal (rakyat). Dus, bukan membayang-bayangi kehidupan dalam komunitas yang gelisah.

Itulah sebabnya era nubuah adalah era yang cemerlang untuk suatu kehidupan. Era mana tampil dalam bentuk mengayomi rakyat dlm komunitas yang telah dikonstruksi oleh kekuatan Kitab Suci (Alquran).

Berbeda dengan era Renaisance yang ibu kandungnya Bizantium. Meski Otoman pernah melewati garis batas itu, toh lahir pula Galele Galeleo, Kopernikus, Thomas Aquinas, Jhon Mynard Keynes sampai Adam Smith yang kini menekuk-nekuk kehidupan kita.

Kini hidup menjadi sampah kapitalisme dan merkantilisme. Tak pelak Suroyini penyair India itu agaknya benar. Ia berujar dalam hidup ada kebersamaan unt kesusahan. Agama agama di dunia pun mentasbihkn demikian, Namun, faktanya setiap komunitas dalam kehidupan selalu saja menafikan kebenaran.

Hari ini Alquran berkata tentang itu yang tersirat dalam Surat Yasin ayat 45 yang artinya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Takutlah kamu akan siksa yang dihadapanmu dan siksa yang akan datang supaya kamu mendapat rahmat”, (niscaya mereka berpaling). “

Dalam keberpalingan itu mereka terjebak dalam stigma yang lain. Bukan liberalis dan bukan pula kapitalis, melainkan komunitas yangg seakan tunduk dengan Alquran. Merekalah ISIS dan turunannya yang hidup dalam angan-angan. Padahal hidup itu fakta dan bercengkrama dengan sejarah yang gemilang sebagaimana dengan orang-orang yang telah mengukir sejarah di setiap bangsanya. Pun tidak terkecuali para founding father kita. Lalu, mengapa kita harus mencari hidup yang lain di luar eksistensi kepribadian kita. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top